Sabtu, 23 Maret 2013

KAJIAN TENTANG FILSAFAT DAKWAH ISLAM


BAB I
PENGERTIAN DAN TUJUAN FILSAFAT DAKWAH
 A.    Pengertian Filsafat Dakwah
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab “فلسفة”, yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.[1]
Menurut istilah, filsafat adalah ilmu istimewa yang menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud diluar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.[2] Dalam arti praktis filsafat mengandung arti alam berfikir/alam pikiran, sedangkan berfilsafah ialah berfikir secara mendalam atau radikal atau dengan sungguh–sungguh sampai keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran atau dengan kata lain berfilsafat mengandung arti mencari kebenaran atas sesuatu.[3]
Kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku) adalah da’I yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya . Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6), kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali.[4]
Definisi dakwah dari literature yang ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah[5]:
  1. Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
  2. Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
  3. Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath al-Bayanuni).
  4. Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A. Masykur Amin)
Dari defenisi para ahli di atas maka bisa kita simpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil orang muslim mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhirat. Singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan, adalah mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam.
Setelah kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi persuasive bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin) bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan pedang atau pun terror tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
Adapun pengertian filsafat dakwah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam tentang dakwah (tujuan dakwah, mengapa diperlukan proses komunikasi dan transformasi ajaran dan nilai-nilai islam dan untuk mengubah keyakinan, sikap dan perilaku seseorang khas islam) dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan mubalig, sehingga orang yang didakwahi dapat menjadi manusia-manusia yang baik dalam arti beriman, berakhlak mulia seperti yang diajarkan oleh islam.[6]
 Menurut Drs. Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 5 menyebutkan bahwa filsafat dakwah memiliki pengertian sebagai berikut:
  1. Pengertian filsafat dakwah dapat diturunkan dari al-Qur’an, yaitu “Hikmah” (an-Nahl: 125). Adapun pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan adalah:
  2. Pengertian hikmah menurut para pakar filsafat al-Qur’an
  1. Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an, dan injil.
  2. Ungkapan sesuatu untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yag utama, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan cermat dan teliti disebut hakim.
  3. Alhakim, yaitu orang yang cermat dalam segala urusan, atau orang yang bijak, yakni orang yang telah tertimpa berbagai pengalaman.
  4. Alhakam atau alhakim, yaitu penguasa dan hakim yang menghukumi dan memperbaiki sesuatu.
  5. Alhikmah, yaitu objek kebenaran (alhaq) yang didapat melalui ilmu dan akal.
  6. Mencegah perbuatan bodoh, membuat sesuatu menjadi baik dan mencegah sesuatu jangan sampai meleset dari yang dikehendaki.
  7. Mencegah orang dari perbuatan tercela.
  8. Mencegah kezholiman.
Para pakar filsafat al-Qur’an sebagai para pakar filsafat dakwah telah merumuskan pengertian hikmah ini tidak kurang dari 25 pengertian, antara lain:
  1. Validitas dalam perkatan dan perbuatan.
  2. Mengetahui yang benar dan mengamalkannya
  3. Meletakkan sesuatu pada tempatnya
  4. Menjawab segala sesuatu dengan tepat dan cepat
  5. Memperbaiki perkataan dan perbuatan
  6. Tepat dalam perkataan dan perbuatan serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.
  7. Takut kepada Allah SWT, mengamalkan ilmu, dan wara dalam agama
  8. Kenabian mengandung hikmah, karena nabi diberi hikmah, selalu dalam perkataan, keyakinan, dan bahkan dalam semua persoalan.
  9. Perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan batil.
Dari pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan dan pakar al-Qur’an tersebut, filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai “ketepatan perkataan, perbuatan, dan keyakinan serta meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dalam mendakwahi manusia menuju jalan Allah.”[7]
  1. Pengertian filsafat dakwah berdasarkan makna filsafat sebagai kegiatan berpikir sesuai dengan hukum berpikir, dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh tentang dakwah islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran islam di sepanjang jalan.
  2. Aktivitas pikiran yang teratur, selaras, dan terpadu dalam mencandra hakekat dakwah islam pada tataran konsep dan tataran realitas.
  3. Pengetahuan murni tentang proses internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi islam di sepanjang zaman.
  4. Analisis logis, radikal, objektif, dan proforsional dalam membahas term-term dakwah islam baik dari sisi teoritis maupun praktis.
 B.     Tujuan Filsafat Dakwah
Tujuan filsafat dakwah menurut Drs. Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 8 adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan landasan dan sekaligus menggerakkan proses dakwah islam yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara objektif-proforsional.
  2. Melakukan kritik dan koreksi proses dakwah islam dan sekaligus mengevaluasinya.
  3. Menegakkan kebenaran dan keadilan di atas dasar taihudullah dan tauhid risalah.
  4. Mensyukuri nikmat akal dengan menerangkannya sesuai fungsi peruntukkannya.
  5. Upaya penyempurnaan jiwa manusia baik dari sudut teoritis maupun praktis.
Tujuan filsafat dakwah adalah dapat meberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit ajaran islam secara mendalam, mendasar dan fradikal sampai keakar-akrnya, sehingga akhirnya dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki, kebenaran hakiki tersebut terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai seorang islam. Lebih jauh bertujuan memberikan kepuasan kepada sebahagian jiwa yang amat berharga juga mengantarkan seorang sampai kepada keprcayaan keagamaan yang benar, yang kalausebelumnya hanya diterima secara domatis dan absolute.maka pada akhirnya bukan hanya mitologis semata, tetapi juga diterima malaui kerangka fikirin yang rasional juaga akan memberi artinya penting dalam menyadari otoritas dirinya sebagai makhluk yang berdimensi dalam memahami diri.[8]
–oo0()0oo–
BAB II
KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH
 A.    Hakikat Dakwah
Pengertian dakwah bagi kalangan awam disalahartikan dengan pengertian yang sempit terbatas pada ceramah, khutbah atau pengajian saja. Pengertian dakwah bisa kita lihat dari segi bahasa dan istilah. Berikut akan dibahas pengertian dakwah secara etimologis dan pengertian dakwah secara terminologis.
  1. Pengertian dakwah secara etimologis
Kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku) adalah da’I yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya. Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6), kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali dengan makna yang berbeda-beda setidaknya ada 10 macam yaitu; mengajak dan menyeru; berdo’a; mendakwa (menuduh); mengadu; memanggil; eminta; engundang; malaikat Israfil; gelar; dan anak angkat.[9]
Dari makna yang berbeda tersebut sebenarnya semuanya tidak terlepas dari unsur aktifitas memanggil. Mengajak adalah memanggil seseorang untuk mengikuti kita, berdoa adalah memanggil Tuhan agar mendengarkan dan mengabulkan permohonan kita, mendakwa/menuduh adalah memanggil orang dengan anggapan tidak baik, mengadu adalah memanggil untuk menyampaikan keluh kesah, meminta hampir sama dengan berdoa hanya saja objeknya lebih umum bukan hanya tuhan, mengundang adalah memanggil seseorang untuk menghadiri acara, malaikat Israfil adalah yang memanggil manusia untuk berkumpul di padang Masyhar dengan tiupan Sangkakala, gelar adalah panggilan atau sebutan bagi seseorang, anak angkat adalah orang yang dipanggil sebagai anak kita walaupun bukan dari keturunan kita. Kata memanggil pun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia meliputi beberapa makna yang diberikan Al-Quran yaitu mengajak, meminta, menyeru, mengundang, menyebut dan menamakan. Maka bila digeneralkan makna dakwah adalah memanggil.
Sebagaimana telah disebutkan di Bab I, definisi dakwah dari literature yang ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah[10]:
  1. Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
  2. Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
  3. Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath al-Bayanuni).
  4. Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A. Masykur Amin)
Dari defenisi para ahli di atas maka bisa kita simpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil orang muslim mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhirat. Singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan adalah mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam.
Setelah kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi persuasive bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin) bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan pedang atau pun terror tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah menurut bahasa artinya mengajak, menyeru, dan memanggil. Menurut istilah, dakwah adalah suatu proses mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menngikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari berbuat jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat, melalui metode dan media tertentu. Bebtuk-bentuk dakwah adalah tabligh, irsyad, tadbir, dan tathwir. Adapun jenis-jenis dakwah adalah dakwah nafsiyah, fardiyah, fi’ah qalilah, dan hizbiyah.
 B.     Hakikat Manusia
1.  Pengertian Manusia
Menurut bahasa, manusia itu sendiri berasal dari kata “Nasia” yang artinya lupa. Maksudnya adalah bahwa manusia hakikatnya lupa akan perjanjian dengan Allah sewaktu di alam ruh. Dalam arti lain, hakikat manusia memang pelupa. Hadits Rasul menjelaskan bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam[11]. Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini[37], yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 35)
Manusia dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
2.   Tugas manusia
Tugas manusia di muka bumi berdasarkankan tuntunan Al-Qur’an setidaknya ada dua, yaitu sebagai khalifah dan sebagai ma’bud. Dari dua tugas tersebut, dalam perspektif filsafat dakwah, bisa ditarik suatu benang, bahwa tugas manusia adalah sebagai subjek dakwah (da’i) dan objek dakwah (mad’u). karena pada dasarnya da’i dan mad’u merupakan tugas manusia sebagai wujud dari perilaku ma’bud pula, sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya dan sabda Rasulullah saw yang pada intinya memerintahkan untuk melaksanakan dakwah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
3.  Subjek Dakwah (Da’i)
Da’i/muballigh adalah setiap orang yang mengajak, memerintahkan orang  di jalan Allah (fi-Sabiilillah), atau mengajak orang  untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah nabi Muhammad SAW. Berhasil tidaknya gerakan dakwah  sangan ditentukan oleh kompetensi seorang da’i, yang dimaksud dengan kompetensi da’i adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan prilaku serta keterampilan yang harus dimiliki oleh para da’i, oleh karena itu para da’i harus memilikinya, baik kompetensi substantif maupun kompetensi metodologis
3.  Objek Dakwah (Mad’u)
Objek dakwah (mad’u) ialah orang yang menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia, sebagaimana firman Allah SWT :
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainka kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. As-Saba’: 28)
 C.    Kebutuhan Manusia Terhadap Dakwah
  1. Teori kebutuhan manusia
Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai sarana untuk mencapai “spirituality progress”[12].
Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai tidaur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat. Ponsel yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarkat Indonesia bisa menjadi alat bantu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan melalui fitur-fitur spiritual.
Maraknya penggunaan fitur spiritual ini sebenarnya tak hanya merebak di Indonesia. Menurut Craig Warren Smith, Senior Advisor University of Washington’s Human Interface Technology Laboratory, spiritual computing telah ada di negara-negara lain, seperti penggunaan fitur spiritual untuk umat Budha. Menurut Craig, nantinya fitur spritual akan menjadi faktor penting dalam keagamaan.
Berdasarkan penelitian beberapa ahli dari Georgia Institute of Technology Atlanta dan Computer Science & Engineering, University of Washington tentang Sacred Imagery in Techno-Spiritual Design, biasanya orang memakai fitur spiritual semacam ini untuk mendukung aktivitas ibadah mereka. Misalnya Gospel Spectrum, sebuah sistem visualisasi informasi yang memungkinkan penggunanya mempelajari Bible secara visual. Belum lagi fitur spritual untuk umat Budha dan sebagainya.
Salah satu contoh fitur spiritual yang dekat dengan masyarakat Indonesia saat ini adalah Athan Time. Aplikasi ini mengingatkan penggunanya untuk menjalankan solat lima waktu. Ini merupakan salah satu fitur yang dibuat untuk mendukung praktik techno-spiritual secara efektif. Selain itu, fitur ini juga berfungsi menghubungkan orang dengan pengalaman religius mereka. Beberapa responden dari penelitian yang dilakukan oleh Susan P. Wyche, Kelly E. Caine, Benjamin K, Davison, Shwetak N. Patel, Michael Arteaga, dan Rebecca E. Grinter menyebutkan, penggunaan fitur spiritual Islami, membuat mereka “melihat dan merasakan” spiritualitas yang ada.
Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian manusia tertentu, yaitu yang disebut sebagai kebutuhan transcendental. Berbeda dengan kebutuhan lainnya yang bersifa horizontal (berkaitan hubungan antara manusia dengan manusia), maka kebutuhan transcendental lebih bersifat vertikal (berakaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Muthahhari, Seorang filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak karya filosofis berharga– pernah menyatakan bahwa manusia itu sejati dan senyatanya adalah sosok makhluk spiritual.[13]
Maka tak aneh kalau kemudian muncul istilah Spritual Quantient (SQ) yang membahas ‘siapa saya’. Istilah SQ menjadi populer melalui buku SQ: Spritual Quotient,The Ultimate Intelligence (London, 2000) karya Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University. SQ diklaim memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar neurosains pada tahun 1990-an menemukan adanya “Titik Tuhan” atau God Spot di dalam otak. Titik Tuhan ini adalah sekumpulan jaringan saraf yang terletak di daerah lobus temporal otak, bagian yang terletak di balik pelipis. Dari eksperimen yang menggunakan sensor magnetis ditemukan adanya korelasi antara aktivitas berpikir tentang hal sakral seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan dengan aktivitas magnet pada lobus temporal otak. Yang sangat sesuai dengan pembahasan dalammakalah ini adalah berkenaan dengan kebutuhan manusia terhadap spiritual
Berdasarkan kajian terhadap hakikat manusia, dapat dipahami secara filosofis alasan  manusia harus didakwahi. Manusia adalah makhluk yang mudah lupa (tempatnya salah dan lupa). Oleh karena itu, dakwah merupakan hal yang begitu penting bagi manusia, khususnya bagi mad’u sebagai media untuk mengingatkan dan meninjau atas hal-hal yang sering dilupakan manusia (ajaran agama). Tidak hanya untuk mad’u, tetapi penting pula bagi da’i sebagai bahan introsfeksi diri, mengingatkan kembali terhadap hal-hal yang ia lupakan.
  1. Ditinjau dari teori kebutuhan manusia
Dilihat dari teori kebutuhan manusia (kebutuhan spiritual), dapat dipahami pula bahwa manusia membutuhkan akan ketenangan jiwa. Salah satu caranya adalah melalui jalan ibadah. Manusia tidak akan mampu beribadah apabila tidak ada dakwah. Oleh karena itu, dakwah begitu penting bagi manusia.
Ada dua aspek makna pentingnya dakwah bagi manusia, yaitu:
a.  Memelihara dan mengembalikan martabat manusia
Dakwah adalah upaya para da’i agar manusia tetap menjadi makhluk yang baik, bersedia mengimani dan mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sehingga hidupnya menjadi baik, hak-hak asasinya terlindungi, harmonis, sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat terbebas dari siksaan dari api neraka dan memperoleh kenikmatan surga yang dijanjikan. Ketinggian martabat manusia itulah yang dikehendaki Allah SWT. Sehingga manusia dapat menjalakan fungsinya sesuai dengan tujuan penciftaan-Nya, yaitu sebagau khalifah-Nya. Bukannya makhluk yang selalu menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan oleh para malaikat.
Oleh sebab itu dakwah harus bertumpu pada tauhid, menjadikan Allah sebagai titik tolak dan sekaligus tujuan hidup manusia. Diatas keyakinan tauhid itulah manusia harus melakukan kewajiban menghambakan diri (mengabdi) kepada Allah yang wujudnya secara vertikal menyembah kepada Allah SWT., dan horizontal menjalankan sebuah risalah atau misi yaitu menata kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini karena dakwah adalah mengajak orang untuk hidup mengikuti ajaran Islam yang bertumpu pada tauhid. Diatas fondasi tauhid itulah Islam dibangun untuk dipedomani pemeluknya supaya hidupnya selalu baik dan tidak seperti binatang ternak atau makhluk yang lebih rendah dari binatang.
 b.  Membina akhlak dan memupuk semangat kemanusiaan
Dakwah juga penting dan sangat diperlukan oleh manusia karena tanpanya manusia akan sesat. Hidupnya menjadi tidak teratur dan kualitas kemanusiannya merosot. Akibatnya manusia akan kehilangan akhlak seperti nuraninya tertutup, egois, rakus, liar, akan saling menindas, saling “memakan” atau saling “memeras”, melakukan kerusakan diatas dunia, sehingga konstatasi malaikat bahwa manusia sebagai makhluk perusak di bumu dan penumpah darah akan menjadi kenyataan.
Tanpa adanya dakwah manusia akan kehilangan cinta kasih, rasa keadilan, hati nurani, kepedulian sosial dan lingkungan, karena manusia akan menjadi semakin egois, konsumeristis, dan hedonis. Manusia hanya akan mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memikirkan lingkungannya dan tidak peduli terhadap kesulitan dan penderitaan masyarakat lain. Manusia juga akan memanfaatkan apa saja untuk memuaskan hawa nafsunya.
Drs. Syukriadi Sambas, M.Si dalam bukunya memperinci kebutuhan manusia terhadap dakwah yaitu sebagai berikut[14]:
  1. Manusia telah bersyahadan ketika di alam roh bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Syahadah ini disebut dengan perjanjian ketuhanan (‘ahd Allah) dan fitrah Allah. Namun manusia menjadi lupaakan perjanjian itu setelah ruh bersatu dengan jasaddalam proses kjadian manusia lahir di alam dunia. Dakwah islamini diperlukan untuk mengaktualkan syahadah ilahiyah dalam kehidupan nyata
  2. Imam Syafi’i berkata:
Cahaya di dalamhati pluktuatif, kadang bertambah dan kadang berkurang”. Karena itu, dakwah diperlukan untuk mengantisifasi keadaan hati yang berkurang dan memposisikannya dalam keadaan bertambah.
  1. Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah, sebab sebelum datangnya dakwah yang dibawa Rasulullah manusia tidak akan mendapat azab. (pendapat ‘Asy’ariyah Bukhoro)
  2. Karakter agama Islam itu sendiri yang mengidentifikasikan dirinya sebagai penyebar kasih saying Tuhan bagi seluruh alam, dan wilayah kerasulan Rasul terakhir berlaku untuk seluruh jagat raya. Dalam halini, Alla berfirman:
 “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”. (QS. Al-Anbiya: 107-108)
Selanjutnya, dakwah itu harus dilakukan karena alasan sebagai berikut:
  1. Potensi baik dan buruk yang Allah berikan[15]
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT berfirman:
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. As-Syams: 8)
Dalam ayat di atas dapat difahami bahwa manusia itu mempunyai potensi untuk berbuar baik dan buruk. Maka setiap orang memerlukan nasihat dan pendidikan yang maksimal berupa dakwah untuk mengoptimalkan kebaikan yang ada. Sehingga setiap manusia akan condong kepada kebaikannya, dan keburukan akan terminimalisasi.
  1. Lingkungan keluarga sebagai pendidikan pertama[16]
Rasulullah saw pun bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang mengarahkannya menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, lingkungan keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak-anak dalam membentuk akhlak, moral, dan kepribadiannya. Pendidikan dalam hal ini bisa disebut dakwah.
 D.    Akibat Ketika Manusia tidak Didakwahi dan Tidak Melaksanakan Dakwah
Melihat dan mengingat pentingnya dakwah bagi manusia berdasarkan hakikat manusia, hakikat dakwah dan teori kebutuhan manusia, maka akibat yang akan diperoleh manusia apabila manusia tidak didakwahi atau dakwah tidak dilaksanakan adalah sebagai berikut:
  1. Karena manusia pada hakikatnya pelupa, maka manusia akan tetap dalam kebodohan terhadap akhlak dan moralitas sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyyah.
  2. Manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, yang memang sangat penting kebutuhan itu terpenuhi.
  3. Cahaya hati pada manusia selalu dalam keadaan berkurang
  4. Akal tidak akan dipandu oleh pengetahuan-pengetahuan agama (syari’at Islam), sehingga perilakunya cenderung mengikuti akal dan hawa nafsu.
  5. Eksistensi Tuhan tidak akan dikenal oleh manusia,karena melalui dakwah para utusan-Nya lah eksistensi Tuhan ada.
  6. Potensi baik pada manusia yang Allah anugrahkan tidak akan termaksimalkan, malahan potensi keburukan lah yang akan lebih menguasai, disebabkan oleh akal dan nafsu yang membimbingnya.
–oo0()0oo–
BAB III
PRINSIP DASAR DAN METODE BERPIKIR DALAM FILSAFAT ISAM

A.    Prinsip dasar metode berpikir yang diturunkan dari al-Quran
Prinsip dasar metode berpikir yang diturunkan dari al-Qur’an adalah sebagai berikut[17]:
  1. Berpegang teguh pada etika ulu al-bab yang terdiri dari enam belas prinsip, yaitu:
    • Bertakwa dan menegakan hak asasi manusia (Q.S. 2:179).
    • Mengambil pelajaran dari hikmah ibadah haji dan memperjuangkan bekal takwa dalam kehidupan (Q.S. 2;197).
    • Memahami ayat-ayat al-Quran baik yang mukhamat maupun yang mutasyabihat (Q.S. 3:7).
    • Menjadikan ruang angkasa, geografi, meteorology, dan geofisika sebagai objek piker (Q.S. 3:190).
    • Bias membedakan antara kebenaran dan kebukurukan, tidak tergoda oleh keburukan, dan selalu bertaqwa dalam mencari keberuntungan (Q.S. 5:100).
    • Mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para nabi dan rasul Allah (Q.S. 12:111).
    • Memahami dan memperjuangkan kebenaran mutlak yang datang dari Allah (Q.S. 13:19).
    • Meyakini keesaan Allah swt. Dan memberi peringatan kepada umat manusia dengan dasar al-Quran (Q.S. 14:52).
    • Mengambil kebaikan dan berkah yang banyak dengan mendalami kandungan al-Quran (Q.S. 38:29).
    • Mengambil pelajaran dari kisah nabi Zakaria as. Dan nabi Yusup as. Dengan menggunakan pendekatan sejarah (Q.S. 38:43).
    • Mensyukuri ilmu dengan sujud atau shalat pada waktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat Allah serta merasa takut terhadap adzabNya (Q.S. 39:9).
    • Menyeleksi informasi terbaik dengan tolak ukur hidayah dan norma Allah (Q.S. 39:18).
    • Menjadikan flora dan fauna (zoology dan botani) sebagai objek kajian (Q.S. 39:21).
    • Mengambil pelajaran dari kitab taurat yang dibawa oleh nabi Musa as. Yang diwariskan kepada orang Israel atau yahudi (Q.S. 40:54).
    • Beriman dan bertakwa kepada Allah, memiliki kesadaran tinggi, serta takut terhadap siksaaan-Nya yang dahsyat (Q.S. 65:10).
  2. Memikirkan, memahami, menghayati, dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah sebagai obyek pikir, baik ayat kauniyah dan segala hukumnya (realitas alam dan hukum alam) maupun ayat-ayat Qur’aniyah melalui petunjuk dan isyarat ayat-ayat al-qur’an tentang akal yang terdiri dari 49 kali penyebutan dalam lima bentuk yang kesemuanya diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi’il).[18]
Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber pengetahuan, sedangkan yang lainnya hanya memperkuat atau membantu member bahan-bahan pemikiran bagi akal. Akal tersebut terbagi menjadi dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis.
  1. Mengacu kepada 49 term ‘aql yang dimuat dalam al-Quran, maka ditemukan prinsip-prinsip pentingnya berpikir[19], yaitu:
  1. Salah satu ciri yang membedakan manusia dari hewan terletak pada potensi nalar (nathik), kegiatan nalar, atau kegiatan berpikir dalam merenungkan obyek pikir. Eksistensi dan fungsionalisasi akal dapat meningkatkan derajat dan status keberadaan manusia dalam menjalankan tugas sebagai pemegang amanat, ibadah, risalah, dan khilafah di muka bumi.
  2. Berpikir termasuk kegiatan bersyukur terhadap nikmat Allah, sedangkan mensyukuri nikmat Allah termasuk ketaatam yang bernilai ibadah. Jadi, berpikir itu pada hakekatnya adalah ibadah yang merupakan bagian dari amanat kemanusiaan.
  3. Al-quran mengecam orang-orang yang taqlid dan orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi indrawinya.
  4. Rasulullah, penerima al-quran yang pertama dalam sabdanya sering menerangkan kemulyaan orang-orang yang berilmu. Bahkan, nilai kerja seseorang yang lahir dari pemikiran dipandang lebih baik dari pada pekerjaan yang tidak berdasarkan pamikiran (ilmu).
  5. Bahwa berpikir itu sangat penting, apalagi mengetahi metodelogi berpikir yang akan menjadi penuntun kea rah berpikir benar dalam menegakan kebenaran yang sebenar-benarnya.
 B.     Langkah-Langkah Berpikir Filosofis Berdasarkan Al-Quran
Karena kedudukan dan peranan berpikir begitu penting, al-Quran tidak saja memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah metodelogis, serta teknis penggunaan akal dengan metode dan teknis yang lurus dan meluruskan kea rah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq). Jika kandungan al-quran diteliti dan dikaji, akan ditemukan langkah-langkah sebagai berikut[20]:
  1. Al-Taharrur min quyud al-Takhalush ‘an Aghlal al-Taqlid. Yaitu, upaya membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan (metode ilmiah).
  2. Al-Ta’ammul wa al Musyahadah. Yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah empiris.
  3. Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra. Yaitu langkah analisis, pertimbangan, dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran filosofis dari data-data empiric yang ditemukan.
  4. Al-Hukm mabni ‘ala al-Dalil wa al-Burhan. Yaitu langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan atas argument dan bukti ilmiah.
Al-Quran memberi tuntunan agar dalam kegiatan ilmiah digunakan ketiga potensi instrument untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara terpadu. Ketiga instrument itu adalah (1) ketajaman indra (al-khawas al-marhaqah), (2) analisis penalaran yang sistematis (al-aql al-bahis al-mundlam), (3) kejernihan nurani yang terilhami (al-wijdan –naqy al-mulham).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat digambarkan model berpikir filosofis dalam mengkaji hakekat dakwah sebagai berikut:
Agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir, al-quran meletakan kaidah-kaidah metodologis dalam menggunakan akal[21]. Antara lain:
  1. Tidak melampaui batas, dalam realitas yang dihadapi akal manusia terdapat persoalan yang tidak bias dipecahkan diluar jangkauannya, dan bahkan bukan wewenamgnya. Persoalan-persoalan itu hanya dapat dipahami secara hakiki melalui pernyataan wahyu al-Quran. (Q.S. 6:59 dan Q.S. 31:34).
  2. Membuat pikirandan penetapan (al-taqdir wa al-taqrir). Sebelum memutuskan suatu keputusan, terlebih dahulu dilakukan penetapan dan perkiraan tentang persoalan yang dipikirkan dengan tekun dan teliti, tidak tergesa-gesa. (Q.S. 49:6 dan Q.S. 75:16).
  3. Membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu diliar jangkauannya tanpa ada pembatasan. Begitu juga dalam kajian ilmiah.kajiannya dibatasi oleh objek kajian yang telah diketahui. Membicarakan suatu objek yang tidak diketahui bukanlah kajian ilmiah. (Q.S. 17:36)
  4. Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran. Jika suatu kegiatan ilmiah disertai dengan sikap seperti ini, kebenaran ilmiah yang hakikitidak akan teraih, bahkan akan merusak ukhuwah islamiyah. (Q.S. 6:7)
  5. Melakukan chek dan recheck. Dalam mencari kebenaran hakiki perlu dilakukan penelitian dan pengkajian ulang terhadap objek pikir secara cermat dan teliti.
  6. Berpegang teguh pada kebenaran hakiki. Akal mesti tunduk kepada kebenaranmutlak yang ditopang oleh dalil-dalil yang pasti, untuk kemudian mengimaninya dengan menyingkirkan kergu-raguan. (Q.S. 49:15 dan Q.S. 2:147)
  7. Menjauhkan diri dari tipu daya. Kepalsuan dan fatamorgana yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan memperdayakan dan menipu kejernihan bepikir.
Mengenai al-haq (kebenaran hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan dalam kegiatan berpikir filosofis. Kandungan al-haq diantaranya  sebagai berikut:
  1. Al-Haq adalah Allah SWT (Q.S. 23:71)
  2. Al-Haq adalah al-hikmah (Q.S. 46:3)
  3. Al-Haq adalah al-Islam (Q.S. 8:7)
  4. Al-Haq adalah al-Syari’ah (Q.S. 17:105)
  5. Al-Haq adalah Al-Qur’an (Q.S. 28:48, 34:43)
  6. Al-Haq adalah tanda kekuasaan Allah pada kisah nabi Musa (Q.S. 10:76)
  7. Al-Haq adalah ilmu shahih/al-ilm al-shahih (Q.S. 10:76)
  8. Al-Haq adalah keadilan/ al-adl (Q.S. 7:89)
  9. Al-Haq adalah kejujuran/al-shidiq (Q.S. 4:171)
  10. Al-Haq adalah pertolongan/al-nashr (Q.S. 9:48)
  11. Al-Haq adalah kebangkitan/al-ba’s (Q.S. 50:19)
  12. Al-Haq adalah hutang/al-dain (Q.S. 2:282)
Manusia mesti menyadari keterbatasan kemampuan akal dalam memikirkan objek pikir. Oleh karena itu kerap kali terjadi kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan berpikir.[22]
Adapun kesalahan berfikir bisa disebabkan oleh:
  1. Ketergesa-gesaan dalam membuat keputusan
  2. Menganggap mudah dalam mengajukan proposisi, tidak teliti dan tidak hati-hati
  3. Membangga-banggakan kemampuan pikir dan pendapat diri sendiri
  4. Tradisi yang keliru
  5. Mengikuti hawa nafsu
  6. Senang berselisih pendapat
  7. Haus pujian orang lain
Mazhab` berpikir yang sudah ada dan lazim digunakan dapat diiqtibas (adopsi) secara terpadu, tidak parsial dalam berpikir filosofis. Yang dimaksud mazhab berpikir adalah suatu aliran berpikir yang dianut oleh manusia dalam menggunakan potensi pikirnya. Beberapa mazhab berpikir, diantaranya:
  1. Empiricism (mazhab tazribi). Yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi indra lahir semata dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang dihasilkannya disebut pengetahuan indra.
  2. Rationalism (mazhab ‘aqli). Yaitu pengetahuaan yang didasarkan pada penggunaan akal semata. Akal mempunyai kemampuan memmahami, mengkaji, menetapkan, memikirkan,dan menyadari objek pikir.pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan rasional.
  3. Criticism (mazhab Naqd). Yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggabungan antara mazhabTazrib dan mazhab ‘Aqli dalam memikirkan objek pikir.
  4. Mysticism (mazhab Shufi). Yaitu pemikiran yang yang didasarkan pada oenggunaan potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan mistis.
Menggunakan metode filsafat islam yang sudah dikembangkan oleh para filosof muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian dari filsafat islam. Terdapat empat macam metode yang telah mereka gunakan dan dapat digunakan bagi filsafat dakwah, yaitu:
  1. Metode deduktif dari filsafat paripatetik (masyaiyah) secara eksklusif metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi (burhan).
  2. metode iliminasi (isyaraqiyah), metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan demonstrasi juga bersandar pada usaha penyucian jiwa (nafs) dalam menemukan realitas yang mendasari alam semesta.
  3. Metode pengembaraan dari ’irfan, metode ini bersandar semata pada penyucian jiwa berdasarkan konsep menempuh jalan menuju Tuhan dan mendekati Kebenaran. Metode ini berusaha bukan hanya menyingkap realitas tetapi mencapainya.
  4. Metode kalam, metode ini bersandar pada deduksi rasional disertai prinsip kelembutan (kaidah al-luthf) dan mendahulukan segala sesuatu yang lebih baik (wujub al-Ishlah).
Selain empat motade tersebut, terdapat empat metode pemikiran filsafat atau hikmah yang diajukan oleh Mulla Shadra, dalam filsafatnya yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al Muta ‘alaliyah (puncak kearifan), yaitu sebagai berikut:
  1. Kearifan deduktif, metode ini bersandar pada silogisme dan demonstrasi. Metode hanya berurusan dengan masalah hasil dan padannya besar dan kecil kontradiksi dan kebalikan dan yang sejenisnya,
  2. Kearifan dari pengalaman yang berkenaan bukan hanya dengan deduksi tapi juga dengan pengalaman, ilham dan pencerahan. Metode ini lebih mengutamakan ilham dari hati ilham dari tasio,
  3. Kearifan eksperimental, metode ini tidak menyangkut penalaran a-priori dan deduksi maupun hati dan ilhamnya. Tetapi metode ini berkaitan dengan indra, percobaan dan eksperimen yang mengambil priduk-produk sains, lalu lalu buah dari percobaan dan eksperimen dengan saling mengaitkannya dituangkan ke dalam bentuk kearifan dan filsafat,
  4. Kearifan polemical-deduktif, metode ini menggunganakan premis-premis dari pengetahuan yang umum, dari fakta-fakta yang diterima, dan dari aksioma pertama. Selanjutnya, deduksi yang berdasarkan pengetahuan yang berdasarkan aksioma disebut demonstrasi, deduksi yang berdasarkan pengetahuan umum disebut salah satu bentuk polemic (jidal). Dengan demikian, kearifan polemical adalah kearifan yang mendeduksi gagasan global dan universal dari pengetahuan umum (masyhurat).
Berkenaan dengan model pemikiran filosofis dakwah, menurut Amrullah Ahmad (1996), berangkat dari hakikat ilmu dakwah, yaitu ilmu membangunkan dan mengembalikan manusia pada fitri, meluruskan tujuan hidup manusia serta meneguhkan fungsi khilafah manusia menurut al-Quran dan sunnah. Selain itu, ia menegaskan bahwa ilmu dakwah ialah ilmu perjuangan bagi umat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan perdaban islam.
Metode pemikiran filsafat dakwah dibangun dengan berdasarkan pada konsep Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun aksiologi, epistemology, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu pada hukum-hukum berpikir dari ayat Qur’aniyah dan hukum-hukum yang terdapat dalam ayat kauniyah.[23] Mengacu pada pemikiran filosofis yang didasarkan pada konsep tauhid tersebut, Amrullah Ahmad mengajukan lima macam metode keilmuan dakwah:
  1. Pendekatan analisis system dakwah,
  2. Metode historis,
  3. Metode refektif,
  4. Metode riset dakwah partisipatif, dan
  5. Riset kecenderungan gerakan dakwah.
–oo0()0oo–
BAB IV
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FALSAFI DALAM DAKWAH ISLAM

A.    Periode Nubuat
Kegiatan dakwah pertama dari para nabi dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman dalam setiap lingkungan adalah menegakan keyakinan Tauhidullah dan beribadah hanya kepada-Nya yang menjadi tugas fitri kemanusiaan sebagai khalifah dan Abdi Allah dimuka bumi. Dan disampaikan pula pesan utama tentang perjalanan hidup manusia, yaitu al-mabda (asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan manusia di alam kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan tugas fitri kemanusiaan).
Adapun tugas-tugas kenabian dapat disimpulkan dalam tiga perkara. Pertama, seruan untuk beriman kepada Allah dan ke-Esaan-Nya. Kedua, iman kepada hari akhir dan balasan terhadap amal-amal pada hari itu. Ketiga, penjelasan hukum-hukum yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Berkenaan dengan missi para nabi dipusatkan dan diarahkan kepada pemberantasan berhala di masa-masa mereka, yang tercermin dalam bentuk penyembahan patung-patung, berhala-berhala dan orang-orang suci, baik orang yang masih hidup maupun sudah mati.
Seandainya akal manusia bertindak sendirian dalam memahami kebenaran-kebenaran ini, maka tidak akan dapat menjangkaunya, khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia dan pengetahuan tanpa wahyu yang disampaikan Allah kepada nabi-nabi.
Para filosof Yunani dan lainnya telah berusaha mempelajari ke-Tuhana-an, maka mereka pun mengemukakan pendapat-pendapat yang saling bertentangan sebagaimana para ulama di zaman ini berbeda pendapat dalam menafsirkan ke-Tuhana-an. Sementara para nabi datang membawa kepastian dalam penafsiran dan penentuan kekuatan Ilahi dengan pendapat yang menentramkan hati.
Dari 25 nabi yang disebutkan dalam Al-Quran ada yang diberi al-Kitab, Shuhuf (lembaran wahyu), dan Hikmah. Secara eksplisit nabi yang diberi hikmah selain al-kitab adalah nabi Daud a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad saw. selain para nabi, ada seorang hamba Allah swt yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran oleh Allah SWT diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan nama Luqman ini menjadi nama salah satu surah dalam mushhaf al-Quran yaitu surah Luqman surah ke 31. Dan dari surah Luqman inilah dapat dibangun secara spesifik struktur filsafat dakwah.[24]
Luqman al-Hakim hidup sezaman dengan nabi Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah swt. Luqman ini adalah bapak filsafat selain nabi, sebagai filosof pertama Yunani, yaitu Empedockles berguru kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras murid Empedockles, setelah itu secara berturut-turut menyusul Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kelima filosof ini hidup dalam rentangan kurun waktu antara nabi Daud a.s hingga sebelum nabi Isa a.s. dan salah seorang murid Aristoteles adalah Alexander (Iskandar Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles selama 20 tahun.
Maka jalur pemikiran hikmah (kefilsafatan) para filosof yang bukan nabi yaitu Luqman dan generasi yang berikutnya, maka menisbahkannya pemikiran filosofis itu kepada Hermes, dan rentangan waktu antara Hermes hingga awal hijrah nabi terakhir adalah  kurang lebih 3725 tahun (perhitungan menurut Abu Ma’syar).
 B.     Periode al-Khulafa al-Rasyidun
Estapeta aktivitas dakwah dalam tataran teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir Muhammad saw dilanjutkan oleh pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para pelanjut yang memperoleh dan melaksanakan Islam ingga bimbingan kehidupan). Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode naql dan aql secara seimbang orientasi utama pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu konsolidasi dan ekspansi Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya. Produk pemikiran dan aktivitas dakwah al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat, yang memuat khazanah Islam. Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn Khathab (634-644 M), Usman Ibn Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib (656-661 M)
Perlu diketahui, bahwa futuhat adalah proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke daerah-daerah yang dituju dengan tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah agamanya, mereka menerima dan memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas dasar pilihan dan kebebasan kehendaknya setelah mempertimbangkan secara obyektif-proposional terlebih dahulu.[25]
Adapun hikmah praktis telah diperoleh para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku, banyak mengamalkan ilmu dengan jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan kemahiran, strategi yang bijak, dan memahami sendi-sendi dakwah mereka memandang penting penggunaan akal dalam kehidupan, misalnya, berikut ini sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a dalam syair: “bila Tuhan menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan kepakaran orang itu. Pemberian Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya, karena tidak ada kebaikan yang sebaik akal. Dengan akal, seorang pemuda dapat hidup eksis di tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa rasional.
 C.    Periode Tabi’in
Bicara tentang tabi’in, Tabi’in adalah mereka yang hidup sesudah generasi sahabat nabi. Mereka adalah orang-orang yang mampu bersikap bijak dalam menyalurkan kewajiban dakwahnya. Tokoh pemikir dakwah (rijal al-dakwah) pada periode ini diantaranya adalah Said bin Musayab, Hasan bin Yaser al-Bashri, Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd al-Aziz adalah seorang khalifah pada zaman Daulah Bani Umayah.
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan oleh keempat tokoh pada periode ini adalah memulai dengan memperbaiki diri sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki umat, mengembangkan dakwah dengan surat, menanamkan perasaan takut kepada Allah, berpegang teguh pada agama Allah, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada zaman ini, metode pemikiran dakwah lebih banyak menggunakan penalaran metode muhaditsin, yang lebih banyak berorientasi pada naql ketimbang ‘Aql sebagaimana digunakan dalam penalaran metode mutakalimin.
D.    Periode Tabi al-Tabi’in
Sebutan Tabii al-tabiin adalah ditujukan bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang mendapat nilai keutamaan. Tokoh utama pada periode ini yang tergolong rijal al-dakwah Imam bin Anas, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Periode a dan b dapat dikategorikan pula sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf disebut periode Khalaf. Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan dakwah.[26]
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan hikmah praktis (2) bagian (a) yang telah dikemukakan. Namun dapat ditambahkan bahwa rijal al-dakwah pada periode ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah, yaitu berpikir sebelum menjawab dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak dan bertindak tegas dalam hal kebenaran.
Sedangkan hikmah teoritis yang dikembangkan pada periode tabii-al tabiin adalah metode penalaran mutakalimin dengan tidak mengabaikan metode penalaran muhaditsin.
 E.     Pasca Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada periode ini dapat dikategorikan sebagai periode khalaf, suatu periode dengan 300 tahun setelah zaman nubuwah. Hikmah teoritis dan hikmah praktis dikembangkan dengan metode penalaran yang pernah berkembang sebelumnya dengan ditandai munculnya berbagai corak pemikiran di dalam berbagai bidang kajian keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi antarbudaya dalam perjalanan aktivitas dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah (pemikiran filosofis dakwah)[27]
Dalam tataran hikmah teoritis dari segi metodologi pada periode khalaf ini dapat digolongkan kepada: Pertama, kelompok pengguna penalaran Isyraqi (iluminasionisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Plato dengan tidak mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna penalaran masya’I (peripatetisisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Aristoteles dengan tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung metode sebagaimana disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah dan  Syi’ah. Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan dakwah, konsep manusia dan konsep alam.
Dari kalangan sufi yang menggunakan metode irfan, pemikiran mereka lebih menekankan pada kontek dakwah nafsyiyah (internalisasi ajaran Islam pda tingkat intra individu), antar pribadi dan kelompok di atas dasar cinta kepada Tuhan dengan tidak mengabaikan dasar syariat yang lebih mengatur aspek perilaku lahiriyah.
 F.     Periode Modern
Periode modern merupakan era kebangkitan Islam yang ditandai adanya tokoh pejuang Islam berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power terhadap penjajahan Barat yang menguasai dunia Islam. Pada era ini diawal gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Abd al-Wahab dan para pendukungnya sejak tahun 1801 M hingga sekarang.
G.    Aktivitas Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dalam hal ini, penelusuran, pelacakan, dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah dapat pula dipandang sebagai aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan menggunakan alur berpikir kesejarahan. Dengan demikian, maka perkembangannya dapat distrukturkan ke dalam periodesasi.[28]
Periode klasik merupakan masa kemajuan Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi. Pada tahun 1000-1250 masehi merupakan masa disintegrasi. Pada periode berikutnya, yaitu periode pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M). yang selanjutnya adalah periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada tiga periode ini, pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah berlangsung, sebab jika kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula perkembangan kehidupan umat Islam di alam jagat raya ini.
–oo0()0oo–
BAB V
HAKEKAT MATERI DAN MEDIA DALAM DAKWAH

A.    Materi Dakwah Dan Sistematiknya
Materi dakwah adalah isi pesan atau materi pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u. dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri.
Secara umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok[29], yaitu:
1.  Masalah Akidah (keimanan)
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlak) manusia. Aqidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iamn. Di bidang akidah ini bukan saja pembahasannya tertuju pada maslah-masalah yang wajib diimani, akan tetapi materi dakwah meliputi juga masalah-masalah yang dilarang sebagai lawannya, misalnya syirik, ingkar dengan adanya Allah SWT dan sebagainya.
Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah atau keimanan. Akidah yang menjadi materi utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan kepercayaan agama lain, yaitu:
  • Keterbukaan melalui persaksian (syahadat)
  • Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah tuhan semesta alam, bukan tuhan kelompok atau bangsa tertentu.
  • Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dengan amal perbuatan.
Keyakinan demikian yang oleh Al-Quran disebut dengan iman. Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Iman juga erat kaitannya antara akal dan wahyu. Orang yang memiliki iman yang benar itu akan cenderung untuk berbuat baik, karena ia mengetahui bahwa perbuatannya itu adalah baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena dia tahu perbuatan jahat itu akan berkonsekuensi pada hal-hal yang buruk.
2.  Masalah Syariah
Hukum atau syariah sering disebut sebagai cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna, maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan syariah merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang melestarikan dan melindunginya dalam sejarah.
Syariah dalam Islam adalah berhubungan erat dengan amal lahir dalam rangka mentaati semua perbuatan atau hokum Allah guna mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya dan mengatur pergaulan hidup antara sesame manusia.
Materi dakwah yang bersifat syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan jantung yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan non-muslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan system dunia akan teratur dan sempurna.
Materi dakwah yang menyajikan unsur syariat harus dapat menggambarkan atau memberikan informasi yang jelas dibidang hukum dalam bentuk status hukum yang bersifat wajib, mubbah, dianjurka, makruh, dan haram.
 3.  Masalah Mu’amalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan mua’malah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Islam lebih banyak memerhatikan aspek kehidupan social daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam mua’malah disini diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Cakupan aspek mua’malah jauh lebih luas daripada ibadah. Statement ini dapat dipahami dengan alasan:
  • Dalam Al-Quran dan al-Hadis mencakup proporsi terbesar sumber hokum yang berkaitan dengan urusan mua’malah
  • Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Jika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kafarat-nya adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan mua’malah. Sebaliknya, jika orang tidsk baik dalam urusan mua’malah, maka urusan ibadah tidak dapat menutupinya.
  • Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
  • Masalah Akhlak
Secara etomologis, kata akhlaq berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai dan tingkah laku atau tabiat. Kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluk yang berarti yang diciptakannya.
Sedangkan secara terminologi, pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperature batin yang memengaruhi perilaku manusia. Ilmu akhlak bagi Al-farabi, tidak lain dari bahasan tentang keutamaan-keutamaan yang dapat menyampaikan manusia kepada tujuan hidupnya yang tertinggi, yaitu kebahagiaan, dan tentang berbagai kejahatan atau kekurangan yang dapat merintangi usaha pencapaian tujuan tersebut.
Maka ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Akhlak dalam Islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekumpulan etika yang terlepas dari kebaikan norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan criteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus dipenuhinya.
Materi akhlak ini diorientasikan untuk dapat menentukan baik dan buruk, akal, dan kalbu berupaya untuk menemukan standar umum melalui kebiasaan masyarakat. Karena ibadah dalam Islam sangat erat kaitannya dengan akhlak. Pemakaian akal dan pembinaan akhlak mulia merupakan ajaran Islam. Ibadah dalam Al-quran selalu dikaitkan dengan taqwa, berarti pelaksanaan perintah Allah SWT. Dan menjauhi larangan-Nya. Perintah Allah SWT. Selalu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan baik sedangkan larangan-Nya senantiasa berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Secara garis besar, syariat Islam terpusat pada tiga kemaslahatan,
  1. Menolak kerusakan demi memelihara agama jiwa, akal, keturunan, kehormatan diri dan harta.
  2. Mendatangkan berbagai kemaslahatan. Al-quran adalah pembawa kemaslahatan dan penangkal kerusakan
  3. Menerapkan akhlak mulia dan mentradisikan kebaikan. Al-quran menawarkan pemecahan segala problema yang tidak mampu diatasi manusia
 B.     Pengertian Media Dan Sistematiknya
Arti istilah media bila dilihat dari asal katanya (etimologis), berasal dari bahasa latin yaitu median, yang berarti alat perantara. Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median tersebut. Pengertian semantiknya media berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Wasilah dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada mad’u. untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah.  Dengan demikian media dakwah adalah alat segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat berupa barang, orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya.
Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, lukisan, audiovisual, dan akhlak.
  1. Lisan adalah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lisan dan suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
  2. Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar, surat menyurat, spanduk, dan sebagainya.
  3. Lukisan adalah media dakwah melalui gambar, karikatur, dan sebagainya
  4. Audiovisual adalah media dakwah yang dapat merangsang indera pendengaran, penglihatan, atau kedua-duanya, seperti televisi,  film slide, OHP, internet, dan sebagainya
  5. Akhlak adalah media dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkanajaran Islam yang secara langsung dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u
 C.    Hakikat Materi Dan Media Dakwah
  1. Hakekat Pesan Dakwah
Materi dakwah merupakan komponen dakwah sekaligus satu diantara jari cahaya hikamah. Da’I dituntut untuk memilah dan memilih materi secara hikmah agar dakwahnya berhasil dengan baik. Pemilahan materi yang hikmah akan enak didengar, mudah dimengerti dan dipatuhi oleh objek.
Persoalannya sekarang adalah apa dan bagaimana materi dakwah, secara filosofis ada tiga kelompok besar materi dakwah dengan urutan sebagai berikut:
  • Persoalan manusia
  • Persoalan ad-dinul Islam
  • Persoalan ibadah
Pesan dakwah adalah Islam atau syariat sebagai kebenaran hakiki yang dating dari Allah melalui malaikat Jibril kepada para nabi-Nya dan terakhir kepada Muhammad SAW . Pesan dakwah ini diungkapkan dalam surat An-Nahl ayat 125 disebut dengan sabili rabbika (jalan tuhanmu)
Al-Quran menyebutkan term Islam sebanyak 28 kali dalam bentuk kata kerja dan dalam bentuk kata sebanyak 110 kali, yang secara eksplisit dalam bentuk al-islam sebanyak 6 kali. Kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, ketundukan, dan tata aturan hidup bagi manusia, yaitu sebuah nama bagi al-din. Sedangkan kata din itu sendiri al-quran menyebut sebanyak 93 kali dalam 7 bentuk kata benda, dan satu kali dalam bentuk kata kerja.
Sumber utama ajaran Islam sebagai pesan dakwah adalah Al-Qur’an itu sendiri, yang memiliki maksud spesifik, paling tidak terdapat sepuluh maksud pesan Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam, yaitu :
  • Menjelaskan hakekat tiga rukun agama Islam, yaitu Iman,Islam, dan Ihsan.
  • Menjelaskan segala sesuatu yang belum diketahui oleh manusia tentang hakekat kenabian, risalah, dan tugas para Rasul Allah.
  • Menyempurnakan aspek psikologis manusia secara individu, kelompok, dan masyarakat.
  • Mereformasi kehidupan social kemasyarakatan dan social politik diatas nilai keagamaan.
  • Mengokohkan keistimewaan universalitas ajaran Islam dalam pembentukan kepribadian melalui kewajiban dan larangan.
  • Menjelaskan hokum Islam tentang kehidupan politik Negara.
  • Membimbing penggunaan urusan harta.
  • Mereformasi system peperangan guna mewujudkan dan kemashalahatan manusia.
  • Menjamin dan memberikan kedudukan yang layak bagi hak-hak kemanusiaan wanita dalam beragama dan berbudaya.
  • Membebaskan perbudakan.
Al-Qur’an menjelaskan Islam sebagai pesan dakwah memiliki karakteristik unik dan selalu masa kini, yaitu:
  • Islam sebagai agama fitrah (Qs. Ar-Ruum ayat 30)
  • Islam sebagai agama rasional dan pemikiran (Qs. Al-Baqarah ayat 164, Ali-Imran ayat 191, dan Ar-Ruum ayat 30).
  • Islam sebagai agama ilmiah, hikmah, dan fikriyah. (Qs Al- Baqarah ayat 266, Al-An’am ayat 25,35,98).
  • Islam sebagai agama argumentative (hujjah) dan demonsratif (burhan) (Qs. An-Nisa ayat 172)
  • Islam sebagai agama hati (qalb), kesadaran (wijdan), dan numi (dhamir) (Qs. Qaaf ayat 37)
  • Islam sebagai agama kebebasan (husriyah) dan kemerdekaan (istiqlal) (Qs. Al-Baqarah ayat 170,256)
  • Islam juga sebagai agama kedamaian dan kasih saying bagi seluruh alam (rahmatan al-alamin)
Murtadha Munthahari (1991) mengemukan karakteristik filosofis pandangan dunia Islam sebagai pesan dakwah yang dirumuskan pada proposisi-proposisi sebagai berikut:
  • Alam semesta ini memiliki sifat ilahiyah (divine nature);
  • Alam semesta yang realitasnya tergantung pada-Nya, dan yang diciptakan dalam zat-Nya juga diciptakan dalam artian temporal
  • Apapun yang nyata didunia ini, adalah tingkatan yang lebih rendah dari realitas yang termasuk dalam dunia lain yang disebut alam ghaib;
  • Alam semesta mempunyai tabiat kembali kepada-Nya
  • Alam semesta adalah suatu system sebab-akibat yang tetap;
  • System sebab-akibat tidak terbatas pada sebab dan akibat yang bersifat pada psikologis saja
  • Terdapat serangkaian tradisi (sunnah) dan hokum-hukum yang kokoh yang mengatur dunia dan esensial bagi system sebab dan akibat di alam semesta
  • Alam semesta adalah suatu realitas yang terbimbing dan perkembangan, alam semesta adalah perkembangan yang terbimbing
  • Dunia mengandung kebaikan dan kejahatan, keserasian, dan ketidakserasian, kemurahan dan kekikiran, cahaya dan kegelapan, gerakan dan diam; tetapi kebaikan, keserasian, kemurahan hati, cahaya dan gerakan mempunyai eksistensi yang asli, sementara kejahatan kontradiksi, kekikiran, kegelapan dan diam, mempunyai eksistensi yang bersifat parsitis dan sub-ordinate. Namun eksistensi yang parasitis dan subordinate itu memainkan peranan yang sangat penting dalam menciptakan kebaikan keserasian, kemurahan hati, cahaya, gerakan dan perkembangan.
  • Karena alam semesta merupakan kesatuan alam hidup, artinya karena alam semesta diatur oleh kekuatan-kekuatan yang cerdas (Qs. An-Naziat:5) maka ia adalah alam semesta aksi dan reaksi.
  • Sesudah kehidupan yang sekarang ini manusia akan mengalami kehidupan abadi dimana manusia akan diberi pahala atau hukuman sebagai hasil dari awal perbuatannya dalam kehidupan yang sekarang ini.
  • Ruh manusia adalah kenyataan yang abadi
  • Prinsif dasar dan dasar-dasar kehidupan , yakni prinsif-prinsif kehidupan moral dan manusiawi adalah abadi dan tetap
  • Kebenaran juga adalah abadi
  • Alam semesta, bumi dan langit dibangun dengan adil (Qs. Al-Ahqaf: 3)
  • Kehendak ilahi menggariskan kemenangannya kemenangan akhir kebenaran atas kebatilan (Qs. Shaf: 171-173)
  • Manusia diciptakan sederajat dan tak seorang pun mempunyai hak istimewa atas orang lain, karena rupa kejadiannya.
 D.    Peran Penting Media Dakwah
Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai alat bantu dakwah, atau yang popular didalam proses belajar mengajar disebut dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti media dakwah memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan. Artinya proses dakwah tanpa adanya media masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal mungkin.
Sebenarnya media dakwah ini bukan saja berperan sebagai alat Bantu dakwah, namun bila ditinjau dakwah sebagai suatu system, yang mana system ini terdiri dari beberapa komponen yang komponen satu dengan lainnya saling terkait mengait, Bantu membantu dalam mencapai tujuan. Maka dalam hal ini media dakwah mempunyai peranan dan kedudukan yang sama disbanding dengan komponen yang lain, seperti metode dakwah, objek dakwah yang memliki azaz efektifitas dan efisiensi, peranan media dakwah menjadi tampak jelas peranannya.
Hakekat dakwah adalah mempengaruhi dan mengajak manusia untuk mengikuti idiologi pengajaknya. Sedangkan pengajak sudah barang tentu memiliki tujuan yang hendak dicapainya. Proses dakwah tersebut agar mencapai tujuan yang efektif dan efisien, da’I harus mengorganisir komponen-komponen dakwah secara baik dan tepat. Salah satu komponen adalah media dakwah.
Proses untuk mengajak seseorang ataupun komunitas menuju arahan perilaku yang lebih baik dan menjauhi keburukan tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan. Semuanya harus melalui proses yang terencana dan terkonsep dengan baik. Disamping itu dibutuhkan pula media-media yang dapat membuat kegiatan dakwah menjadi lebih efektif dan efisien. Menyadari arti penting penggunaan media tersebut, sejak jaman dahulu para da’i telah mamanfaatkannya untuk kepentingan dakwah.
Arti penting sebuah media (wasilah) dalam proses dakwah tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahanya sekarang terletak pada kemauan dan kejelian para da’i dalam melihat media mana yang paling tepat dipakai berdasarkan kemampuanya sebagai da’i maupun spesifikasi mad’u yang menjadi lahan garapannya. Dalam hal ini Moh. Ali Azis menjelaskan bahwa pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Pemakaian media (terutama media massa) telah meningkatakan intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi yang dilakukan umat manusia teruta bila dibandingkan sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan sebagainya. Oleh karena itu sudah seyogyanya bagi para da’i memanfaatkan peluang ini dalam menyebarkan ajaran Islam.
–oo0()0oo–
BAB VI
HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI DA’I DAN MAD’U

A.    Hakikat manusia
Manusia adalah mahluk yang berarti sesuatu yang diciptakan secara logik dan riil, setiap yang diciptakan tentu ada penciptanya. Dalam islam, pencipta manusia disebut Allah SWT. Pernyataan manusia adalah mahluk dapat diterima oleh manusia dari latar belakang dan tingkat kecerdasan yang berbeda, mulai dari seorang propesor sampai tukang beca sekalipun. (Ki Moesa A. Machfoeld, 2004 : 53)
Dalam al-Quran menampilkan sebutan mahluk Allah SWT yang dibebani menjalankan agama islam sebagai hidayah bagi perjalanan hidupnya. Manusia merupakan mahluk individual yang memiliki kebebasan ikhtiar, kehendak dan tanggung jawab atas perbuatannya sesuai pilihannya. Manusia sebagai mahluk yang diberikan akal dan potensi untuk berbuat baik dan buruk. Manusia juga merupakan manusia yang lupa akan janji pengakuannya bahwa Allah tuhannya ketika dialam ruh sebelum ruh itu bersatu dengan jasad. Manusia merupakan jenis mahluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia juga merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan dalam mencapai tujuan hidup dan sebagai maahluk, berbudayua dan berpendidikan.
Manusia menjalani hidup dalam lima jaman atau alam, yaitu Alam ruh, Alam rahim, Alam dunia, Alam barzah, dan Alam akhirat. Kecuali manusia pertama tidak mengalami alam rahim.[30]
Manusia dibekali akal, qalb, ilahm takwa, ilham fujur dan agama islam. Dengan bekal ini manusia diberi amanat ibadah dan hilafah dimuka bumi ini. Dengan amanat ibadah manusia hanya dibenarkan menyembah dan beribadah kepada penciptanya, yaitu Allah SWT dan dengan amanat khilafah manusia bertugas merekayasa kehidupan, merekayasa alam bagi kepentingan manusia dan menegakan tata hubungan antara mahluk dimuka bumi atas dasar kasih sayang dan kedamaian dalam keanekaragaman budaya dan etnik. (Syukriadi Sambas, 1999: 42)
Manusia dengan potensi ruhani yang di milikinya dapat menerima dan menolak syariat islam yang diperuntukan bagi pengaturan dan pedoman kehidupannya sebagai hamba dan khalifah tuhan di muka bumi. Masing-masing aktivitas yang berupa penerimaan dan penolakan tersebut akan memperoleh akibat atau konsekwensi berupa balasan pahala untuk penerimaan dan berupa siksa untuk penolakan.
Manusia yang menerima islam dan memperjuangkannya agar diterima oleh orang lain diatas dasar kebebasan dan tanggung jawab adalah hakekat aktivitas dakwah islam di sepanjang zaman. Tanggung jawab atau amanah ini akan dihadapkan kepada pengadilan (mahkamah), baik tanggung jawab atau amanah. Jika mengacu kepada la-Quran antara lain surat al-Anfal ayat 27, at-Taubah :105.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.”(al- Anfal : 27)
“ Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (at- Taubah : 105)
Manusia memiliki dimensi kejiwaan, dan dalam kejiwaan itu memiliki aspek insting beserta prilaku dan kecendrungannya, dalam hal ini dakwah islam merupakan proses pendayagunaan aspek insting ke arah jiwa yang positif, baik dan benar menurut tuntunan ajaran.
Prilaku lahir manusia pada hakikatnya merupakan ekspresi dan aktualisasi dari prilaku potensi nafs yang dimilikinya, yang memposisikan manusia kearah posisi yang baik dan benar dan kearah posisi jelek dan salah.
Secara ekplisit, al-Quran menyebut adanya tiga jenis nafs[31]:
  1. Nafs muthmainnat, yaitu nafsu yang tenang, jauh dari segala keguncangan, selalu mendorong kepada berbuat kebajikan.
  2. Nafs ammarat, yaitu nafsu yang selalu mendorong berbuat kejahatan, tunduk kepada nafsu syahwat dan panggilan setan
  3. Nafs lawwamat, yaitu nafsu yang belum sempurna, selalu melawan kejahatan tapi suatu saat melakukan kejahatan hingga disesalinya.
Dalam Tarekat Qadariah – Naqsabandiyah ( TQN ), nafs ini ada tujuh jenis, yaitu Nafs Ammarah, Nafs Lawwamah, Nafs Mulhamah, Nafs Mutha’innah, Nafs Radhiyah, Nafs Mardhiyah, dan Nafs Kamilah
Proposisi-proposisi tentang nafs menurut paara filusuf sufi yang dihimpun oleh javad nurbakhsy sebagai berikut (Syukriadi Sambas, 1999 : 49-50):
  1. Setiap kali nafs ditekan, ia akan muncul ditempat lain
  2. Nafs bersifat bodoh
  3. Nafs sebagai sumber perangai tak bermoral dan tindakan tercela
  4. Kejahatan nafs timbul apabila dihasut atau menemukan tempat penyaluran
  5. Nafs merupakan sarana kemurkaan Allah
  6. Nafs seperti penyulut api
  7. Nafs adalah berhala
  8. Nafs merasa kedamaian hanya dalam kebohongan
  9. Daya tarik nafs adalah selubung paling rumit
  10. Nafs penghalang menuju Allah
  11. Dasar kekapiran terletak dalam pemenuhan hasrat nafs
  12. Jika rasa nafs dinikmati, maka nikmat kebaikan tidak akan pernah dirasakan
  13. Syrik terselubung adalah bahaya paling tinggi dari nafs
  14. Nafs tegak diatas pelanggaran etika
  15. Nafs merupakan tertuduh dari setiap kejahatan
  16. Nafs selalu menginginkan apa yang selalu dilarang
  17. Nafs adalah budak hawa nafsu
  18. Nafs bersifat munafik dan penuh kepura-puraan
  19. Kebohongan nafs tidak ada habisnya
  20. Nafs menganggap dirinya memiliki sifat ketuhanan
  21. Nafs bersifat bohong dan egosentris
  22. Nafs bersifat tamak, kikir dan tak bermoral
  23. Nafs bersifat serakah dan pemalas
Ciri umum dari nafs kualitas rendah menurut al-Quran ada empat :
  1. Mudah melanggar apa-apa yang dilarang Allah
  2. Menuruti dorongan hawa nafsu
  3. Menjalankan maksiat
  4. Tidak mau memenuhi panggilan kebenaran.
Dalam al-Quran terdapat empat kata atau istilah yang digunakan untuk menunjukan manusia.
  1. Ins/insan dan unas
  2. Basyar
  3. Bani adam
  4. Dzuriyat adam
Menurut Ahmad Mubarok desain kejiwaan manusia diciptakan tuhan dengan sangat sermpurna, berisi kapasitas-kapasitas kejiwaan, seperti berpikir, merasa dan berkehendak. Jiwa merupakan system yang terdiri dari sub system aql,qalb, basyar, syahwat dan hawa. Aql (akal) merupakan problem solving capacity, yang bisa berpikir dan membedakn yang buruk dan baik.Qalb (hati) merupakan perdana mentri dari system nafsani.Qalbu memiliki otoritas memutuskan suatu tindakan, oleh karena itu segala sesutau yang didasari oleh qalb berimplikasi kepada pahala dan dosa.Basyar adalah pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala.Basyar selalu konsisten kepada kebenaran dan kejujuran.Basyar adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati. Syahwat adalah motif kepada tingkah laku,  atau sesuatu yang manusiawi dan netral. Hawa adalah dorongan kepada objek yang rendah dan tercela. (faizah, dan lalu muchsin effendi, 2006: 56)
Dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lain manusia menurut islam memiliki kapasitas yang tinggi, memiliki kecendrungan untuk dekat kepada tuhan melalui kesadarannya tentang kehadiran tuhan yang terdapat jauh didalm alam tak sadarnya. Manusia juga merupakan mahluk yang dimuliakan tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingklan dengan mahluk yang lainnya.Al-Quran juga menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah sempuran kejadiannya tuhan menghembuskan kepadanya ruh yang diciptakannya.Seperti dalam al-Qur’an surat al-Muminuun:12-14.
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”  (QS. al-Muminuun:12-14)
Dimensi sepiritual atau ruh mengantar manusia untuk cendrung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan dan sebagainya.Ia mengantarkan manusia kepada suatu relitas yang maha sempurna yaitu realitas ilahiyah. Para filusuf yunani seperti plato dan aristoteles mengatakan, pada hakikatnya manusia adalah hewan yang dapat berbicara, berpikir dan mengerti. Yang membedakan manusia dari hewan yang lainnya adalah segi kejiwaan yang berupa akal dan pikiran. (faizah, dan lalu muchsin effendi, 2006 : 56)
 B.     Hakikat Manusia Sebagai Subjek Dan Objek Dakwah (Dai Dan Madu)
1.  Hakikat manusia sebagai subjek dakwah (Da’I)
Suatu gambaran pribadi yang unik dengan penataan resiko terencana untuk meraih masa depan bersama Allah dan Rasul-Nya. Inilah kafilah panjang, pembawa risalah kebenaran yang tak putus sampai ke suatu terminal akhir kebahagiaan surga penuh ridha Allah swt.
Setiap muslim adalah dai. Kalau bukan dai kepada Allah, berarti ia adalah dai kepada selain Allah, tidak ada pilihan ketiganya. sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam berarti hawa nafsu. Dan hidup di dunia adalah jenak-jenak dari bendul waktu yang tersedia untuk memilih secara merdeka, kemudian untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Rabbul insan kelak. Bagi muslim, dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak bisa hidup tanpanya. Aduhai, betapa agungnya agama Islam jika diemban oleh rijal (orang mulia).
2.  Hakikat manusia sebagai objek dakwah (madu)
Unsur dakwah yang kedua adalah mad’u, yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai indifidu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragam islam maupuntidak atau secara keseluruhan manusia, sesuai dengan firman Allah QS. Saba’ 28:
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS. Saba: 28)
Kepada manusia yang belum beragama islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama islam, sedangkan kepada orang-orang yang sudah beragama islam dakwah bertujuan meningkatkan kwalitas iman,islam,ihsan.
Mad’u (mitra dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, golongan mad’u sama dengan menggolongkan manusia itu terdiri, profesi, ekonomi dan seterusnya.
Muhammad abduh membagi mad’u menjadi tiga golongan yaitu:
  1. Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikir secara kritis, cepat menangakap persoalan.
  2. Golongan awam, yaitu, kebanyakan orang yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi
  3. Golongan yang berbeda dengan golongan diatas mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup mendalam benar
Mad’u juga dapat dilihat dari derajad pemikirannya sebagai berikut:
  1. umat yang berfikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu berfikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan padanya
  2. umat yang mudah di pengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru tanpa menimbang-nimbang secara mantapapa yang dikemukakan kepadanya.
  3. umat bertaklid, yaitu golongan fanatic, buta berpegang pada tradisi, dan kebiasaan turun-menurun tempat menyelidiki salah satu benar.
Jadi yang dikatakan mad’u adalah orang yang menjadi sasaran dakwah dimana mad’u terdiri dari berbagai macam keadaan yang harus disiasati oleh para pendakwah untuk sesuai memberikan dakwah sesaui dengan kemampuan mad’unya, maka seorang da’I harus tepat membaca mad’unya.
 3.  Kondisi manusia sebagai mad’u
Salah satu unsur dakwah adalah madu, yakni manusia yang merupakan individu atau bagian dari komunitas tertentu.Mempelajari tentang unsure ini merupakan suatu keniscayaan dalam keberhasilan suatu dakwah. (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2006: 70)
4.  Manusia sebagai individu
Individu merupakan sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas.Individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas dalam lingkungan sosialnya melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku yang sepesifik.Dala dirinya terkandung tiga aspek yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, yaitu aspek organic jasmaniah, psikis rohaniah, dan aspek social.
Dalam membentuk kepribadian seorang manusia, factor intern (bawaan) dan factor ekstern (lingkungan) saling mempengaruhi, pribadi terpengaruh lingkungan dan lingkungan di ubah oleh pribadi.Factor intern yang ada dalam diri manusia terus berkembang, dan hasil perkembangannya dipergunakan untuk mengembangkan pribadi tersebut lebih lanjut. Dengan demikaian jelaslah bagaimana uniknya pribadi tersebut, sebab tentu saja tidak ada pribadi yang sama, yang benar-benar identik dengan pribadi yang lain.
Secara psikologis, manusia sebagai objek dakwah dibedakan oleh berbagai aspek (faizah dan lalu muchsin effendi, 2006 : 70)
  • Sifat-sifat kepribadian  (personality traits) yaitu adanya sifat-sifat manusia yang penakut, pemarah, suka bergaul, peramah, sombong dan sebagainya.
  • Inteligensi yaitu aspek kecerdasan seseorang mencakup kewaspadaan, kemampuan belajar, kecepatan berpikir, kesanggupan untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat, kepandaian menangkap dan mengolah kesan-kesan atau masalah dan kemampuan mengambil kesimpulan.
  • Pengetahuan
  • Keterampilan
  • Nilai-nilai
  • Peranan
Ketika dakwah dilakukan kepada seorang individu, perubahan individu harus diwujudkan dalam satu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya itu menciptakan arus, gelombang atau paling tidak riak yang menyentih orang lain. Pembinaan individu harus dilakukan bebarengan dengan pembinaan masyarakat, pada saat yang sama masing-masing menunjang yang lain, pribadi-pribadi tersebut menunjang terciptanya masyarakat dan masyarakat pun mewarnaipribadi-pribadi itu dengan warna yang dimilikinya.
5.  Manusia sebagai anggota masyarakat
Manusia secara hakiki merupakan mahluk social, sejak ia dilahirkan ia memerlukan orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Pada tahap awal pertumbuhannya ia memerlukan orang tuanya atau keluarganya. Menginjak dewasa ia mulai terlibat kontak social dengan teman-teman sepermainannya, ia mulai mengerti bahwa dalam kelompok sepermainannya terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma social yang harus dipatuhi.Dengan demiakian sejak awal manusia sudah mengenal norma-norma, nilai-nilai yang ada pada masyarakat atau kelompok dimana ia hidup dan sejak dini juga telah tertanam dalam pribadi seorang anak, karenanya walaupun secara pribadi  manusia adalah unik namun tak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat dimana ia hidup.
Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah adalah salah satu unsure yang penting dalam system dakwah yang tidak kalah perannanya dibandingkan dengan unsure-unsur dakwah yang lain. Masyarakat dapat memiliki arti luas dan sempit.Dalamarti luas masyarakat adalah keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya.Dalam arti sempit yang dimaksud masyarakat adalah hubun gan sekelompok manusia yang dib atasi oleh aspek-aspek tertentu.
C.    Pengaruh Dakwah Islam Terhadap Individu dan Masyarakat
Islam sebagai agama yang universal sangat nenerhatikan manusia sebagai individu, karena individu merupakan dasar bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur yang berkeadilan dsn damai. Suatu masyarakat tidak akan sejahtera, damai ,aman dan berkeadilan, jika tidak di tanamkan sendini munngkin makna dari nilai-nilai kekedamaian, keadilan dan kesejahteraan kepada setiap indivdi masyarakat, karena m asyarakat pada hakikatnya adalah  komunitas yang terdiri dari andividu yang hidup di suatui daerah yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk saling dapat di memenuhib kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dan manusia tidak akan mampu bertahan hidup hanya dengan kesendirian (individu) tanpa bantuan yang lain. Karena itu, manusia oleh para sosiolog di anggap sebagai mahluk social.
Dalam islam, manusia secara individu di anjurkan untuk memperhatikan dan meningkatkan kualitas hidupnya, baik yang berkaitan dengan dunia yang ia jalani saat ini, atupun kehidupan akhirat yang akan di jalani kelak.
Hal ini telah di contohkan oleh Rosulullah kehidupan pribadinya yang berkaitan dengan keduniaan sebagi seorang pengembala dan pedagang di satu sisi, dan di sisi lain berkaitan dengan kehidupan akhikrat sebagai seoran g hamba yang sangat taat beribadah siang dan malam kepada Allah SWT. Sebagai bekal kelak di akhirat. Islam sebagi agama yang nmenmbawa syariat baru sebagi pelengkap syariat-syariat sebelumnya, juyga melandaskan ajarannya ada kemaslahatan (mashalih al-ibad) yang berarti bahawa ajaran islam di turunkan oleh Allah utuk memeberikan bimbingan-bimbingan arah-arahan demi kemaslahatan mnusia agar dapat mencapai individu-individu yang saleh dan beguna bagi diri sendiri dan masyaraakat. Shalt misalkan,di wajibkan oleh Allah sebagi penyuci jiwa dan raga sehingga dapat m,enghindarkan diri dari per buatan-perbuatan keji dan mungkar seperti dalam firman Allah surat Al-Ankabut ayat 45: yang artinya “ bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al-quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut al-sayyid sabiq, dakwah islam memberikan perhatian terhadap manusia sebagai individu dalam tiga hal, jasmani, akal, dan moral. Perhatian terhadap jasmani mencakup penjagaan terhadap kesehatan jasmani agar ia mempunyai raga yang kuat yang jauh dari penyakit, sehingga akan mampu menghadapi berbagai macam kesulitan. Sedangkan yang brekaitan dengan akal, islam mengajak agar setiap individu agar berpikir sehat dan jernih sehingga dapat mengambil keputusan berdasarkan kejujuran, keadilan dan mampu untuk memahami lingkungan yang mengelilingi dan dapat belajar dari perjalanan umat-umat yang terdahulu. Sedangkan moral berkaitan dengan ajakan untuk melatih hati agar mempunyai kecendrungan akan kebaikan dan menjauhi keburukan.
–oo0()0oo–
BAB VII
HAKIKAT PESAN DAKWAH

A.    Pengertian Hakekat Pesan dakwah
Pesan menurut  bahasa adalah   perintah,  nasehat,  permintaan, amanat, yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.  Dalam Ilmu Komunikasi, pesan mengandung arti keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan (tema) yang sebenarnya menjadi pengarah di dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan.
Dakwah secara etimologi adalah memanggil, mengundang, mengajak, menyeru, mendorong dan memohon.  Sedangkan secara terminology menurut pendapat Syeikh Ali makhpuz dalam kitabnya Hidayat al Mursyidin bahwa dakwah adalah mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hakikat pesan dakwah adalah Islam atau Syariat sebagai kebenaran hakiki yang datang dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada para nabi-Nya dan terakhir kepada Nabi Muhammad SAW. Pesan dakwah ini dalam al-Qur’an diungkapkan dengan term yang beraneka ragam yang menunjukan fungsi kandungan ajaran-Nya, misalnya dalam Q.S An-Nahl: 125 disebut dengan Sabili rabbika (jalan Tuhanmu).
Sumber utama ajaran Islam sebagai pesan dakwah adalah al-Qur’an itu sendiri, yang memiliki maksud spesifik, paling tidak terdapat sepuluh maksud pesan al-Qur’an sebagai sumber utama Islam, yaitu: (1) Menjelaskan hakekat tiga rukun agama Islam, yaitu Iman, Islam, Ihsan yang telah didakwahkan oleh para rasul dan nabi. (2) Menjelaskan segala sesuatu yang belum diketahui oleh manusia hakikat kenabian, risalah, dan tugas para Rasul Allah. (3)Menyempurnakan aspek psikologis manusia secara individu, kelompok dan masyarakat. (4) Mereformasi kehidupan social kemasyarakatan dan social politik diatas dasar kesaatuan nilai kedaimaian dan keselamatan dalam keagamaan. (5) Mengokohkan keistimewaan universalitas ajaran Islam dalam pembentukan kepribadian melalui kewajiban dan larangan.(6)Menjelaskan hukum Islam tentang kehidupan politik Negara.(7) Membimbing penggunaan urusan harta. (8)Mereformasi system peperangan guna mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan manusia dan mencegah dehumanisasi. (9) Menjamin dan memberikan kedudukan yang layak bagi hak- hak kemanusiaan wanita dalam beragama dan berbudaya. (10) Membebaskan perbudakan.[32]
Al-Qur’an menjelaskan Islam sebagai pesan dakwah memiliki karakteristik unik dan selalu masa kini, yaitu:
  1. Islam sebagai agama fitrah (Q.S Ar-rum:30)
  2. Islam sebagai agama rasional dan pemikiran (Q.S Al-Baqoroh :164, Ali-Imron: 191, dan Ar-rum: 8)
  3. Islam sebagai agama argumentative (hujjah), dan demonstrative (burhan), (Q.S An-nisa: 172, dan Al-an’am: 83)
  4. Islam sebagai agama hati (qalb), kesadaran (wijdan), dan nurani (dhamir). (Q.S Qaff: 37, Al-Syuara: 88-89, Ar-Ra’du: 70)
  5. Islam sebagai agama kebebasan (huriyah dan kemerdekaan (istiqlal) Q.S Al-Baqoroh 170, 256, dan Al-Maidah.
  6. Islam sebagai agama kebebasan (huriyah) dan kemerdekaan (istiqlal) Q.S Al-Baqarah 170, 256, dan Al-Maidah:107)
  7. Selain yang telah dikemukakan, islam juga sebagai agama kedamaian dan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan al-a’lamin)
Murtadha Muthahari (1991) mengemukakan karakteristik filosofis pandangan dunia Islam sebagai pesan dakwah yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi sebagai berikut:
  1. Alam semesta ini memiliki sifat ilahi (divine nature).
  2. Alam semesta yang realitasnya tergantung pada-Nya dan yang diciptakan dalam zat-Nya, juga diciptakan dalam artian temporal.
  3. Apapun yang nyata didunia ini, adalah tingkatan yang lebih rendah dari realitas yang termasuk dalam dunia lain yang disebut alam ghaib.
  4. Alam semesta mempunyai tabiat kembali kepada-Nya
  5. Alam semesta adalah suatu sistem sebab-akibat yang ketat.
  6. System sebab-akibat tidak terbatas pada sebab dan akibat yang bersifat psikologis saja;
  7. Terdapat serangkaian tradisi (sunnah) dan hukum-hukum yang kokoh yang menganut dunia dan esensial bagi sistem sebab dan akibat dialam semesta;
  8. Alam semesta adalah suatu realitas yang terbimbing dan perkembangan alam semesta adalah perkembangan yang terbimbing;
  9. Dunia mengandung kebaikan dan kejahatan keserasian dan ketidakserasian, kemurahan dan kekikiran, cahaya dan kegelapan, gerakan dan diam; tetapi kebaikan , keserasian, kemurahan hati, cahaya dan gerakan mempunyai eksistensi yang asli, sementara kejahatan, kontradiksi, kekikiran, kegelapan dan diam, mempunyai eksistensi yang bersifat parasitis dan sub-ordinate. Namun eksistensi yang parasitisdan subordinate itu memainkan peranan yang sangat penting dalam menciptakan kebaikan, keserasian, kemurahan hati, cahaya, gerakan dan perkembangan;
  10. Karena alam semesta merupakan kesatuan yang hidup, artinya, karena alam semesta diatur oleh kekuatan-kekuatan yang cerdas (Q.S Anl-Naziat:5), maka ia adalah alam semesta aksi dan reaksi. Alam semesta tidaklah acuh terhadap kebaikan dan kejahatan manusia, ada pahala dan hukuman, pertolongan dan pembalasan yang seimbang (Qishash) didunia ini, disamping yang akan datang diakhirat. Bersyukur dan berbuat kufur tidaklah sama (Q.S Ibrahim:7);
  11. Sesudah kehidupan yang sekarang ini, manusia akan mengalami kehidupan abadi dimana manusia akan diberi pahala atau hukuman sebagai hasil dari awal perbuatannya dal;am kehidupan yang sekarang ini;
  12. Ruh manusia adalah kenyataan yang abadi;
  13. Prinsip dasar dan dasar-dasar kehidupan, yakni prinsip- prinsip kehidupan moral dan manusiawi adalah abadi dan tetap;
  14. Kebenaran juga adalah abadi;
  15. Alam semesta, bumi dan langit dibangun dengan adil (Q.S al-Ahqaf:3);
  16. Kehendak ilahi menggariskan kemenangan akhir kebenaran atas kebatilan (Q.S Al- Syafat :171-173);
  17. Manusia diciptakan sederajat dan tak seorangpun mempunyai hak istimewa atass orang lain, karena rupa kejadiannya, sebab manusia hanya dibedakan menurut (a) Ilmunya (Q.S al-Zumar:9), (b) perjuangan keagamaan dan spiritualnya dijalan Tuhan (Q.S al-Nisa:95), dan (c) ketaqwaanya (Q.S al-Hujarat:13);
  18. Menurut tabeatnya, manusia memiliki serangkaian pembawaan moral dan religius;
  19. Karena setiap orang dilahirkan dengan membawa fitrah manusiawi, maa orang yang paling jahatpun kemampuan untuk menerima nasihat dan bertaubat;
  20. Meskipun manusia merupakan satu kesatuan yang riel, ia juga merupakan gabungan (dari unsure-unsur yang berbeda);
  21. Karena manusia memiliki esensi spiritual yang mandiri dan kehendak seseorang bersumber realitas spiritualnya, maka manusia adalah merdeka independent;
  22. Umat manusia, seperti halnya individu, adalah juga gabungan (dari unsure-unsur yang bertentangan) dan memiliki hukum-hukum, tradisi-tradisi (sunah) dan institusi-institusi, dan sebagai suatu keseluruhan sepanjang sejarahnya belum pernah tergantung pada kehendak satu orang manusia tertentu. Unsur-unsur bertentangan yang membentuk struktur masyarakat umat manusia, yaitu kelompok-kelompok intelektual, bisnis, politik, dan ekonomi sama sekali tidaklah kehilanagan identitas mereka;
  23. Tuhan tidak mengubah suatu nasib suatu kaum kecuali jika mereka sendiri mengubah diri mereka sendiri (terlebih dahulu) mengubah apa yang ada dalam diri mereka (Q.S al-Ra’d:11);
  24. Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta termasuk manusia, adalah Dzat Yang Maha Kaya, lengakap dalam segala aspek dan sempurna secara mutlak;
  25. Alam semesta memiliki ketetapan khusus, seperti keterpaduan organis diri suatu makhluk hidup, sebab ia berasal dari satu sumber (Tuhan) dan kembali kepada-Nya dalam jalan yang serasi.
Selanjutnya, Murtadha Muthahari (1991) merinci karakteristik utama ideology Islam sebagai pesan dakwah ini kedalam proposisi-proposisi[33] berikut:
  1. Salah satu kelebihan Islam dari agama-agama lain atau lebih tepatnya, salah satu kelebihan agama Tuhan dalam bentuknya yang sering meliput dari bentuk-bentuknya yang sebelumnya adalah kelengkapannya.
  2. Aplikabilitas metode ijtihad.
  3. Kemudahan dan keluwesan
  4. Orientasi kepada kehidupan
  5. Amar ma’ruf nahi munkar bersumber dan bertanggung jawab sosial.
  6. Hak dan kebebasan individu;
  7. Prioritas hak masyarakat atas hak individu;
  8. Prinsip musyawarah dalam membuat keputusan;
  9. Asas kemanfaatan;
  10. Penapian kerugian;
  11. Ketentuan transaksi bisnis haruslah bermanfaa’at;
  12. Jika modal tidak terlibat dalam penggunaan praktis, dan karenanya tidak terkena resiko kerugian atau kebangkrutan, yakni jika ia mengambil bentuk pinjaman kepada orang lain, maka ia menjadi mandul dan tak produktif, dan keuntungan apapunyang dihasilkannya melalui “Bunga”, adalah riba dan secara tegas “diharamkan”,
  13. Setiap penghasilan kekayaan harus dilakukan dengan kesadaran penuh dari kedua belah pihak, dan informasi yang diperlukan harus diperoleh sebalumnya sebab transaksi bisnis yang dilakukan dengan jalan resiko dan ketidaktahuan adalah hampa;
  14. Menentang ketidak masuk-akalan;
  15. Menentang hal-hal yang merintangi kemauan;
  16. Etos kerja yang memusuhi pengangguaran;
  17. Kesucian kerja dan propesi;
  18. Larangan pemerasan;
  19. Larangan penghamburan dan penyia-yiaan;
  20. Peningkatan kehidupan;
  21. Larangan menyuap;
  22. Larangan menimbun barang;
  23. Mempunyai penghasilan adalah dibenarkan selama penghasilan tersebut memberikan konstribusi kepada kesejahteraan masyarakat;
  24. Kewajiban membela hak-hak masyarakat, baik hak individu maupun hak social dan melawan aggressor (Q.S al-Nisa:148);
  25. Mengusahakan perbaikan dan terus menerus memerangi kejahatan;
  26. Tauhid landasan teori dan peraktik berfikirdan berperilaku;
  27. Tidak ada perantara dalam menyembah Allah;
  28. Hidup berdampingan dengan monotheisme yang lain;
  29. Persamaan derajat, tidak dibenarkan diskriminasi;
  30. Hak-hak kewajiban dan hukum dibedakan menurut jenis kelamin demi menegakan keadilan.
B.     Efektifitas Pesan Dakwah secara verbal (lisan)
Dakwah secara verbal (lisan) adalah penyampaian informasi / pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subjek dan objek dakwah). Yang dimaksud dengan efektifitas dakwah secara verbal (lisan) disini adalah apakah ceramah-ceramah agama yang dilakukan oleh para da’I itu mempunyai manfaat nyata atau hanya sekedar informasi verbal yang kurang memberi pengaruh terhadap mad’u. Dakwah secara verbal (lisan) dapat dinyatakan efektif bilamana :
  1. Berkaitan dengan acara-acara ritual seperti khutbah jum’at, khutbah hari raya. Dikatakan efektif karena ia merupakan dari “ibadah”, selagi isi dan sistematikanya menarik serta rentang waktunya ideal. Karena sering terjadi bila para mad’u bosan mendengar karena tidak terpenuhinya salah satu syarat diatas, mereka akan bubar meninggalkan khotib. Hal ini sering terjadi bila shalat jema’ah tersebut terbuka.
  2. Kajian materi yang disampaikan berupa tuntunan praktis dan disampaikan kepada mad’u yang terbatas baik jumlahnya maupun luas ruangan. Misalnya materi tentang perawatan jenazah, cara berwudhu, cara sholat yang benar dan sebagainya.
  3. Disampaikan dalam konteks sajian terprogram secara rutin dan memakai kitab-kitab sebagai sumber kajian. Dikatakan efektif karena bahannya dapat diperoleh dan dipelajari lebih dalam oleh mad’u. Dan sistem penyampaian maupun penyerapan materinya oleh mad’u secara bersambung, sekaligus menghindari duplikasi materi yang bisa berakibat membosankan mad’unya.
  4. Disampaikan dengan sistem dialog dan bukan monologis, sehingga mad’u dapat memahami materi dakwah secara tuntas, setidak-tidaknya metode ceramah masih dapat dikatakan efektif manakala diiringi tanya jawab dua arah. Manfaat lain disamping lebih komunikatif juga lebih semarak, lebih semangat dan lebih menarik.
Selanjutnya dakwah secara verbal (lisan) terasa kurang efektif, manakalanya penyampaian tidak mengacu kepada ketentuan-ketentuan tersebut. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa dakwah dirasakan kurang efektif antara lain:
  1. Diadakan secara rutin tapi tidak terprogram, disamping oleh orang yang berbeda-beda sehingga sering terjadi duplikasi materi dari orang yang sama maupun dari orang yang berbeda.
  2. Disampaikan secara insidentil, seperti pada hari-hari besar Islam, meskipun manfaatnya juga besar terutama dari sisi syiar Islam, namun hasil serapannya bagi mad’u kurang maksimal, terutama kalau tidak ada follow upnya, bahkan bisa jadi terkesan mubadzir. Sangat dimaklumi, bahwa tidak mudah merubah hal-hal rutin yang telah mentradisi, bisa menimbulkan gejolak / asumsi negative misalnya dianggap merusak syiar Islam dan sebagainya.
Didalam menentukan materi dakwah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1.  Memilih bahan yang tepat
Yang dimaksud dengan memilih bahan yang tepat ialah yang ada hubungannya dengan :
  • Bentuk acara yang sudah disediakan, agar lebih cepat memandang pemikiran si pendengar, karena acara tersebut sudah direncanakan. Akan terasa janggal dan asing bila materi pembahasan tidak ada kaitannya dengan acara yang dibicarakan.
  • Pekerjaan atau usaha, maksudnya dalam penyampaian materi dakwah seorang da’I dituntut dalam pembahasannya mempunyai hubungan dengan pekerjaan dan usaha dari masyarakatnya.
  • Jangkauan ilmu tentang bahan tersebut
Materi tabligh yang disampaikan oleh da’I yang bersangkutan betul-betul dapat menguasai bahan/materi dakwah. Apabila da’I tidak mempersiapkan materinya dengan seoptimal mungkin maka akibatnya akan fatal, sering ditemui para da’I yang tidak mempunyai persiapan maka akan menyebabkan timbulnya sifat ragu kaku, hilangnya konsentrasi, keluarnya keringat-keringat dingin, dan lain sebagainya. Oleh karena itu bila materi dan bahan dakwah belum dipersiapkan seoptimal mungkin, maka para da’I lebih baik tidak memberikan dakwahnya.
2.  Menyusun secara sistematis
Menyusun bahan tabligh secara sistematis memang sangat diperlukan oleh seorang da’I . Adapun susunannya adalah Judul, Pendahuluan, Isi, dan Penutup (kesimpulan dan saran)
3.  Menguasai bahan
Setelah judul dari suatu uraian sudah kita tetapkan dan kerangkanya pun sudah disiapkan, sehingga sudah jelas mau kemana si mad’u kita ajak. Maka tugas selanjutnya ialah menguasai bahan tersebut tahap demi tahap. Hal ini bukan menghafal teks atau kalimat demi kalimat akan tetapi menguasai dari kerangka tersebut mau kemana titik fokus uraian dari ayat-ayat dan hadist-hadist sebagai argumentasinya serta contoh-contoh yang akan mempercepat paham si mad’u.
Secara umum materi dakwah dapat diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok, yaitu:
1.  Masalah Akidah (Keimanan)
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiyah . Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlaq) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah / keimanan. Akidah yang menjadi materi utama dakwah ini mempunyai cirri-ciri yang membedakan dengan kepercayaan lain, yaitu :
  • Keterbukaan melalui persaksian(syahadat). Dengan demikian seorang muslim harus jelas identitasnya dan bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain.
  • Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan kelompok atau bangsa trtentu. Dan soal kemanusiaan juga diperkenalkan kesatuan asal usul manusia. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan bahwa seluruh ajjaran akidah baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami.
  • Ketahanan antara iman dan Islam atau antara Iman dan amal perbuatan. Dalam ibadah-ibadah pokok yang merupakan manifestasi dari iman dipadukan dengan segi-segi pengembangan diri dan kepribadian seseorang dengan kemaslahatan masyarakat yang menuju pada kesejahteraannya. Karena akidah memiliki keterlibatan dengan soal-soal kemasyarakatan.
  • Keyakinan demikian yang oleh Al-Qur’an disebut dengan iman . Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Iman juga erat kaitannya antara akal dan wahyu.
2.  Masalah Syariah
Hukum atau syariah sering disebut sebagai cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna, maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan syariah merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang melestarikan dan melindunginya dalam sejarah. Syariah inilah yang akan selalu menjadi kekuatan peradaban di kalangan kaum muslim.
Materi dakwah yang bersifat syariah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan jantung yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam antar lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan nonmuslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan system dunia akan teratur dan sempurna.
3.  Masalah Mu’amalah
Islam merupakan agama yang menekankan urusan mu’amalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Islam lebih banyak memerhatikan aspek kehidupan social daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini mesjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam mu’amalah di sini, diartikan sebagai ibadah yang mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT.
4.  Masalah Akhlak
Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaannya. Akhlak dalam Islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat diimplementasikan, dan bukan pula sekumpulan etika yang telepas dari kebaikan norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi materi akhlak dalam Islam adalah mengenai sifat dan criteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus dipenuhinya. Karena semua manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, maka Islam mengajarkan kriteria perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan.
 C.    Efektifitas Pesan Dakwah Secara Nonverbal (Hal)
Dakwah secara nonverbal (hal) adalah dakwah dengan perbuatan nyata seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, terbukti bahwa pertama kali tiba di madinah yang dilakukan adalah pembangunan Masjid Quba, mempersatukan kaum Ansor dan Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah dan seterusnya.
Ada beberapa ciri-ciri umum dalam dakwah nabi di Madinah yang dapat di identifikasi, yaitu:
  1. Menjaga kesinambungan tarbiyah dan tazkiyah bagi sahabat yang telah memeluk Islam. Program yang dilakukan adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk semua masyarakat, menyucikan jiwa dan mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-sunnah, membangun masjid dan mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin dan orang-orang ansar.
  2. Mendirikan daulah Islamiyyah. Daulah adalah sarana dakwah yang paling besar, dan mempunyai lembaga terpenting yang secara resmi menyuarakan nilai-nilai dakwah. Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”(Q.S Al-Hajj: 41).
Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembentukan daulah yang terdiri dari tiga syarat berikut:
  1. Adanya basis massa kaum muslimin yang solid.
  2. Adanya negeri yang layak dan memenuhi syarat.
  3. Tersedianya perangkat sistem yang jelas.
  4. Adanya keseriusan untuk menetapkan hukum syariat untuk seluruh lapisan masyarakat, baik sekala personal maupun jemaah. Seperti melaksanakan syiar-syiar Islam, menerapkan hudud dan memutuskan perkara diantara orang yang berselisih. Keseriusan penerapan syariat ini adalah dalam rangka menegakan hukum Allah dimuka bumi serta memberikan contoh nyata model masyarakat Islam yang layak untuk diikuti disetiap masa dan tempat.
  5. Hidup berdampingan dengan musuh islam yang menyatakan ingin hidup damai dan bermuamalah dengan mereka dengan aturan yang jelas. Toleransi ini disatu sisi bertujuan untuk mempertontonkan secara langsung kepada mereka indahnya model masyarakat Islam, dan disisi lain dapat menciptakan kestabilan hidup bernegara.
  6. Menghadapi secara tegas pihak yang memilih perang serta melakukan psy war (perang urat saraf) bagi kelompok yang selalu mengintai peluang atau menunggu kesempatan untuk menyerang daulah islamiyah dengan mengirim pasukan-pasukan kecil, serta melakukan persiapan kekuatan kesinambungan untuk menghadapi beberapa kemungkinan-kemungkinan tersebut. Allah berfirman:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuh mu dan orang-orang selain mereka yang tidak kamu mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya Apa yang kamu Nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S. Al-Anfal: 60).
  1. Merealisasikan universalitas dakwah islam dengan merambah seluruh kawasan dunia.
  2. Melalui surat, mengirim duta, mengirim rombongan, menerima utusan yang datang dan seterusnya.
Dakwah secara nonverbal (Hal) ini ternyata sangat efektif. “Lisanul Hali Afsohu min Lisanil Maqoli”. Akan tetapi sebagian umat Islam kurang memperhatikan efektifitas dakwah dengan cara ini, sehingga mereka lebih suka dakwah secara verbal (lisan). Padahal hasilnya tidak maksimal dan sangat lamban. Berbeda dengan dakwah secara nonverbal (hal) yang menghasilkan karya nyata yang mampu menjawab hajat hidup manusia, misalnya menyantuni yatim piatu, membayarkan SPP anak-anak kuranga mampu, memberikan pelayanan kesehatan, membagi-bagikan sembako, membantu korban bencana alam dan sebagainya.
Sebenarnya konsep dakwah nonverbal (hal) ini bersumber pada ajaran Islam yang dicontohkan langsung oleh Rasululah dan para sahabatnya, sehingga umat Islam yang seharusnya menjadi pelopor pelaksanaan dakwah ini. Namun kalau kita menengok sekeliling kita, ternyata para misionaris Kristen katolik yang mempraktekkannya, sedangkan dakwah Islam tetap terjebak pada nilai normalistik yang kaku, sehingga sering terjadi perpindahan agama khususnya dipelosok-pelosok yang kondisi ekonomi masyarakat Islamnya memprihatinkan. Bagi mereka (orang awam) yang terpenting bagaimana bisa bertahan hidup.
Kenyataan ini membuktikan betapa efektifnya dakwah secara nonverbal (hal) tanpa mengabaikan dakwah secara verbal (lisan), maka dakwah secara nonverbal (hal) seharusnya menjadi prioritas utama, sekaligus merupakan usaha preventif bagi umat Islam (dipelosok desa) agar tidak pindah agama.
–oo0()0oo–
BAB VIII
HAKIKAT UMMAT/MASYARAKAT SEBAGAI MAD’U

A.    Pengertian Ummat
1.  Pengertian Ummat Menurut Bahasa
Berdasarkan kamus Al-Munjid fi Al-Lughah Wa Aa’lam kata “ummah” memiliki tiga arti, yaitu:
  • Ath-thariqah berarti jalan atau suatu pola hidup.
  • Ummah sebagai kata jamak meskipun memilki bentuk jamak, yaitu, “umam” . dalam posisi ini, ummah berarti sekumpulan manusia, al-jayl (suatu generasi manusia), dan al-wathan (negara).
  • Al-Hiin/Al-Qamah, berarti batas waktu tertentu.
Dengan pengertian lughawi (etimologi) ini, ummah dapat dipahami sebagai sekelompok manusia yang hidup pada suatu batas tertentu, wilayah tertentu, atau memiliki pola hidup tertentu. Oleh karena itu kata ummah dapat disatukan dengan kata yang menggambarkan ketiga batasan tersebut, seperti “ummat islam” berarti sekelompok manusia yang berpola hidup islami atau yang beragama islam. “Ummat Muhammad” berarti sekelompok manusia sejak diutusnya nabi muhammad hingga berakhirnya keberlakuan risalahnya. Dapat pula dibatasi dengan suatu sifat dan pada posisi ini “umat”  berarti hanya sekelompok manusia.[34]
Artinya: Ummah = tanah air, jalan besar, masa suatu kurun (masa atau zaman) dari manusia. Setiap umat memiliki nabi yang diutus kepada mereka. Karena itu setiap umat selalu dikaitkan dengan seorang nabi, sehingga dikatakan umat nabi Nuh AS, umat nabi Ibrahim AS, umat nabi Isa AS, dan umat nabi Muhammad SAW. Diantara mereka ada yang ingkar dan ada pula yang beriman. Karena itu setiap generasi manusia yang kepada meraka diutus seorang nabi adalah umat yang satu. umat bisa juga berarti Al-Jama’ah (jamaah) yakni suatu generasi dari manusia atau Bangsa (Al-Watan).
Sumber lain mengartikannya a People (orang-orang, rakyat, sanak keluarga, kelompok atau kelastertentu), Nation (negara, bangsa) dan Sect (golongan agama, golongan kecil yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai prinsip politik, kepercayaan dan pendapat yang sama, golongan agama yang memisahkan diri dari gereja). Dalam bahasa Indonesia arti umat adalah para penganut suatu agama atau nabi (seperti umat islam dan umat kristen) atau orang banyak. Umat manusia berati sekalian (bangsa) manusia.[35]
Berhubungan dengan hal ini, kata manusia dalam Al-Qur’an disebutkan dengan menggunakan kata Unas,Insan,Annas[36] yang berarti jenis makhluk individual yang memiliki kebebasan ikhtiar, kehendak dan bertanggungjawab atas perbuatan sesuai pilihannya. Sebagai makhluk yang diberikan akal, dan potensi kemampuan berbuat baik dan berbuat tidak baik. Sebagai makhluk yang lupa akan janji pengakuannya bahwa Allah Tuhannya ketika di alam ruh sebelum ruh itu bersatu dengan jasad.
Dalam Al-Qur’an juga pengertian manusia ini disebutkan dengan kata Basyar, Basyirin, Tsaqolan, Anam[37] yang berarti jenis makhluk yang tidak hidup menyendiri tetapi membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk social yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan dalam mencapai tujuan hidupnya dan sebagai makhluk berbudaya dan berpendidikan.
Umat pada hakekatnya adalah individu insan yang berinteraksi dalam komunitas sebagai al-Basyar, yang membentuk struktur, fungsi dan peran masing-masing dalam menjalankan fungsi keabidan dan kekhalifahan di atas dasar kebebasan, penghambaan, kebebasan berakidah, kebebasan akal dan pendapat serta kebebasan berkehendak. Term al-Mala, al-Mustadafin.
2.  Pengertian Ummat Menurut Istilah
Kata ummat artinya Jamaah, yang berarti golongan. Dalam kamus Al-Munjid disebutkan bahwa istilah jamaah tidak hanya terbatas kepada manusia saja, akan tetapi istilah Jamaah juga digunakan untuk hewan. Maka berdasarkan penjesan ini, jelaslah bahwa kata ummat bermakna golongan atau sekumpulan apa saja, baik itu manusia ataupun hewan.
Menurut istilah kata ummat terdapat perbedaan pengertian diantara mufassirun, walaupun tidak sedikit juga diantara mereka yang memberi pengertian yang sama dengan arti harfiahnya, yaitu mengartikan ummat dengan jamaah (golongan), jadi pengertian ini sama dengan pengertin hafiah[38].
 B.     Hakikat Ummat
Kata “umat” pada hakekatnya adalah individu Insan yang berinteraksi dalam komunitas sebagai Al-Basyar, yang membentuk struktur, fungsi dan peran masing-masing dalam menjalankan fungsi keabidan dan kekhalifahan di atas dasar kebebasan, penghambaan, kebebasan berakidah, kebebasan akal dan pendapat serta kebebasan berkehendak. Term al-Mala, al-Mustadafin.[39]
Kebebasan individu dalam komunitas Al-Basyar akan berkaitan dengan problem kebebasan, individual, kekuatan social, tanggungjawab individual dan social, nilai dan norma individual dan sosial, hak dan kewajiban dalam upaya mencapai kebaikan dan kebenaran hidup insan yang berinteraksi dalam komunitas al-Basyar. Pencapaian tujuan ini hanya didapat melalui penegakan dakwah Islam dalam berbagai konteksnya. Situasi dan kondisi ketercapaiannya tujuan itu disebut khaira ummah. Dengan demikian umat merupakan medan terjadinya peristiwa aktifitas dakwah Islam diluar konteks dakwah nafsiyah (intra individu).
Komunitas ummah setelah datangnya dakwah Islam kepada mereka terbagi menjadi dua kategori, yaitu Umat Muslim dan umat muhamadiyah dan umat non muslim. Bagi yang pertama dicirikan dengan adanya interaksi kasih sayang diantara sesame, melakukan ruku dan sujud dalam mencapai Ridha Allah SWT. Berbarengan dengan itu mereka tidak terlibat dengan perbuatan pembangkangan terhadap kebenaran. Kemudian, jika dilihat dari sisi territorial, ummah dan komunitas itu terdiri dari Al-Islam dan Al-Harb.
Teori-teori tentang hakikat masyarakat yang berkembang dan dianut dunia pada umumnya adalah :
a.  Teori Atomistic
Pada periode masyarakat sebelum terbentuknya negara seperti yang kita kenal sekarang (pre social state) manusia sebagai pribadi adalah bebas dan independen. Dengan demikian masyarakat dibentuk atas dasar kehendak bersama, untuk tujuan bersama para individu, yang kemudian menjadi warga masyarakat itu.
Pribadi manusia sebagai individu memiliki kebebasan, kemerdekaan dan persamaan diantara manusia lainnya. Karena didorong oleh kesadaran tertentu, mereka secara sukarela membentuk masyarakat, dan masyarakat dalam bentuknya yang formal ialah negara. Oleh sebab itu masyarakat adalah perwujudan kontrak sosial, perjanjian bersama warga masyarakat itu. Berdasarkan asas pandangan atomisme ini penghargaan kepada pribadi manusia adalah prinsip utama. Artinya setiap praktek tentang kehidupan di dalam masyarakat selalu diarahkan bagi pembianaan hak-hak asasi manusia, demi martabat manusia.
b.  Teori Organisme
Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dan berkembang di dalam masyarakat. Manusia lahir dalam wujud yang serba lemah, lahir dan bathin. Keadaannya dan perkembangannya amat tergantung (dependent) kepada orang lain, minimal kepada keluarganya. Kenyataan ini tidak hanya pada masa bayi dan masa kanak-kanak, bahkan di dalam perkembangan menuju kedewasaan seseorang individu masih memerlukan bantuan orang lain. Misalnya dalam penyesuaian kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu manusia saling membutuhkan sesamanya demi kelanjutan hidup dan kesejahteraannya.
Prinsip pelaksanaan pola-pola kehidupan di dalam masyarakat menurut teori organisme ialah:
  1. Bahwa kekuasaan dan kehendak masyarakat sebagai lembaga di atas hak, kepentingan, keinginan, cita-cita dan kekuasaan individu.
  2. Lembaga masyarakat yang meliputi seluruh bangsa, secara nasional, bersifat totalitas, pendidikan berfungsi mewujudkan warga negara yang ideal, dan bukan manusia sebagai individu yang idea.
c.  Teori Integralistik
Menurut teori ini meskipun masyarakat sebagai satu lembaga yang mencerminkan kebersamaan sebagai satu totalitas, namun tidak dapat diingkari realita manusia sebagai pribadi. Sebaliknya manusia sebagai pribadi selalu ada dan hidup di dalam kebersamaan di dalam masyarakat. Jelas bahwa pribadi manusia adalah suatu realita di dalam masyarakat, seperti halnya masyarakat pun adalah realita diantara bangsa-bangsa di dunia ini dan komplementatif. Masyarakat ada karena terdiri dari pada individu-individu warga masyarakat. Dan pribadi manusia, individu-individu dalam masyarakat itu berkembang dan dipengaruhi oleh masyarakat.
Perwujudan masyarakat sebagai lembaga kehidupan sosial tiada bedanya dengan kehidupan suatu keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga adalah warga yang sadar tentang status dirinya di dalam keluarga itu, sebagaimana ia menyadari tanggung jawab dan kewajibannya atas integritas keluarga tersebut. Sewajarnya tidak bertentangan dengan kepentingan dan terutama kehormatan dan martabat keluarga. Bahkan kehormatan keluarga adalah kehormatan anggota keluarga, demikian pula sebaliknya.
Pelaksanaan asas-asas menurut teori integralistik yang dapat penulis samakan dengan teori kekeluargaan adalah berdasarkan keseimbangan antara hak-hak (asasi) dan kewajiban-kewajiban (asasi). Praktek tata kehidupan sosial berdasarkan kesadaran nilai-nilai, norma-norma sosial yang berlaku dan dijunjung bersama baik oleh individu sebagai pribadi, maupun oleh masyarakat sebagai lembaga. Kepentingan dan tujuan hidup individu meskipun amat bersifat pribadi, tak dapat dipertentangkan dengan kepentingan dan tujuan sosial. Sebab tiap individu menyadari hak dan kewajibannya masing-masing. Ini berarti bahwa kebebasan (kemerdekaan) dan hak-hak individu dengan sendirinya dibatasi oleh kemerdekaan dan hak-hak individu lain di dalam masyarakat. Kesadaran atas nilai-nilai asasi demikian berarti merupakan dasar bagi tiap individu untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara maksimal.
Kesadaran atas hak-hak asasi dan kewajiban dalam antar hubungan manusia sudah pasti berdasarkan nilai-nilai sosial yang berlaku berdasarkan norma-norma nilai tertentu. Nilai-nilai itulah sebagai asas normatif. Asas normatif merupakan dasar terwujudnya harmonis di dalam masyarakat. Tetapi, pelaksanaan asas normatif ini sudah tentu berbeda dengan yang berlaku di dalam masyarakat yang berlatar belakang pandangan filosofis atomisme atau organisme. Dalam masyarakat menurut teori integralistik, asas kekeluargaan menjadi prinsip kehidupan bersama demi kesejahteraan bersama, baik individu maupun keseluruhan. Walaupun pada hakekatnya yang diutamakan adalah keseluruhan warga masyarakat, namun pandangan integralistik tak mengabaikan individu. Karena realitas yang wajar ialah menghormati pribadi sama dengan menghormati keseluruhan masyarakat sebagai satu totalitas.
C.      Mengenal Strata Mad’u
Objek dakwah atau lebih dekenal dengan sebutan  adalah seluruh manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani menjalankan agama islam dan diberi kebebasan untuk berikhtiar, kehendak dan bertanggung jawab atas perbuatan sesuai dengan pilihannya, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, masa, dan ummat manusia seluruhnya. Sebagai makhluk Allah yang dineri akal dan potensi kemampuan berbuat baik dan berbuat buruk, sebagai makhluk yang terkena sifat lupa akan janji dan pengakuannya bahwa Allah adalah Tuhannya ketika dialam ruh sebelum ruh tersebut bersatu dengan jasad.[40]
Manusia sebagai makhluk yang tidak hidup menyendiri tetapi membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai makhluk social yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan dalam mencapai tujuan hidupnya dan sebagai makhluk berbudaya. Kemudian, manusia dengan potensi ruhani yang dimilikinya dapat menerima dan menolak Syariat Islam yang diperuntukan dan berfungsi sebagai aturan dan pedoman kehidupannya baik sebagai hamba maupun sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi. Perilaku manusia baik penolakan maupun penerimaan terhadap ajaran Islam pada dasarnya merupakan ekspresi dan akumulasi potensi nafs (jiwa) yang dimilikinya.
Potensi nafs yang dimiliki manusia ini akan membawa posisi manusia yang baik dan benar, dan bisa juga membawa manusia pada possisi buruk dan salah. Potensi manusia itu dalam penjelasan Al-Qur’an terbagi pada empat macam, yaitu: Nafs Mutmainah, Nafs Mulhamah Sufiah, Nafs Amarah, Nafs Lawwamah[41]. Nafs-nafs tessebut senantiasa mempengaruhi akal budi manusia, nafs mutmainah misalnya, akan mempengaruhi aktivitas akal budi manusia untuk selalu bergerak kearah kemuliaan, kesucian, mendekat kearah lahut. Sedangkan tiga nafs lainnya akan mempengaruhi kearah kecelakaan, kerendahan, dan menjauh dari alam lahut.
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah. Disaat terjun ke sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seseorang mad’u, dai’ yang baik terlebih dahulu harus memepelajari data riil tentang komunitas atau pribadi yang bersangkutan.
  1. Di awal surat Al-Baqarah, mad’u dikelompokan dalam tiga rumpun, yaitu: mu’min, kafir dan munafik.
  2. Secara umum mad’u menurut imam Habib Abdulah Haddad dapat dikelompokkan dalam delapan rumpun, yaitu:
    • Para Ulama
    • Ahli Zuhud dan Ahli Ibadah
    • Penguasa dan Pemerinrah
    • Kelompok Ahli Perniagaan, Industri dsb
    • Fakir Miskin dan Orang Lemah
    • Anak, Istri dan Kaum Hamba
    • Orang Awam yang Taat dan Berbuat Maksiat
    • Orang yang tidak Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
  3. Abdul Karim Zaidan dalam Usul Dakwah mengelmpokan mad’u dalam empat rumpun, yaitu: Al-Mala (penguasa), Jumhur Al-Anas (mayoritas masyarakat), Munafikun dan Ahli Maksiat.
  4. M. Bahri Ghazali mengelompokkan mad’u berdasarkan tipologi dan klasifikasi masyarakat[42].
Berdasarkan tipologi, masyarakat dibagi dalam lima tipe, yaitu:
  1. Tipe Innovator, yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena social yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan antisifatif dalam setiap langkah.
  2. Tipe Pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan yang positif.
  3. c.    Tipe Pengikut Dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya adalah kelompok kelas dua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas kemasyrakatan.
  4. Tipe Pengikut Akhir, masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptic terhadap sikap pembaharuan.
  5. Tipe Kolot, cirri-cirinya, tidak mau menerrima pembaharun sebelum mereka benar-benar terdesak lingkungannya.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi, masyarakat dapat dihampiri dengan sua pendekatan, yaitu:
  1. Pendekatan kondisi sosial budaya yang terbagi dalam masyarakat kota dan desa.
  2. Pendekatan tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok, yaitu: kelompok masyarakat maju (industrI), dan kelompok masyrakat terbelakang.
Berdasarkan data-data rumpun mad’u diatas, dapat dikelompokkan dengan lima tinjauan, yaitu:
a)      Mad’u ditinjau dari segi penerimaan dan penolakan ajaran islam, terbagi dua, yaitu muslim dan non muslim.
b)      Mad’u ditinjau dari segi tingkat pengalaman ajaran agamanya, terbagi tiga, dzalimun linafsih, muktasyidh dan sabikun bil khairat.
c)      Mad’u ditinjau dari segi pengetahuan agamanya terbagi tiga, ulama, pembelajar dan awam.
d)     Mad’u ditinjau dari segi struktur sosialnya, terbagi tiga, pemerintah, masyarakat maju dan terbelakang.
e)      Mad’u ditinjau dari prioritas dakwah, dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan seterusnya.
Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika kelahiran Perancis yang mendapat hadiah Nobel mengungkapkan seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, “Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungan-nya dengan alam sekitar[43].”
Untuk memahami hakikat manusia, beberapa sarjana merumuskan beberapa pendekatan. Pertama, mempelajari dan menyelidiki manusia dalam hakikatnya yang murni dan esensial. Pendekatan ini lebih banyak dilakukan oleh para psikolog, filsuf, dan teolog. Kedua, melalui pendekatan ideologis dan spiritual yang mengatur  tindakan manusia yang mempengaruhi dan membentuk personalitasnya, ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh ahli moral, tasawuf, dan sosiologi. Ketiga, mengambil konsep tentang manusia dari penyelidikan tentang lembaga-lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari pengalaman-pengalaman sejarah yang dihormati, oleh karena lembaga-lembaga tersebut telah dapat melindungi manusia, pendekatan ini dilakukan oleh ahli hukum dan sejarah.
1.  Kedudukan Nafs dan Struktur Kepribadian Manusia.
Menurut Achmad Mubarok, kata nafs dalam Al-Qur’an mempunyai beberapa makna;
  1. Nafs sebagai diri atau seseorng, seperti dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 61.
  2. Nafs sebagai diri Tuhan, seperti dalam surat al-an’am ayat 54.
  3. Nafs sebagai person tertentu, seperti dalam surat al-furqan ayat 3.
  4. Nafs sebagai ruh, seperti dalam surat al-an’am ayat 93.
  5. Nafs sebagai jiwa, seperti dalam surat asy-syam ayat 7 dan al-fajr ayat 27.
  6. Nafs sebagai totalitas manusia, seperti dalam surat al-Maidah ayat 32.
  7. Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku, seperti dalam surat ar-Rad ayat 11.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Rad: 11)
Nafs sebagai totalitas manusia mengisyaratkan bahwa manusia memilki dua dimensi, dimensi jiwa dan dimensi raga. Kedua dimensi ini harus ada dalam diri setiap manusia, jasad tanpa jiwa dengan fungsi-fungsinya dipandang tidak sempurna, begitu juga jiwa tanpa jasad maka jiwa itu tidak akan dapat menjalankan fungsi-fungsinya[44].
2.  Segi Positif dan Negatif Manusia
Dalam kepribadian manusia terkandung berbagai sifat hewani yang tercermin dalam berbagai kebutuhan  fisik yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidup dirinya. Selain itu, dalam kepribadian manusia juga terkandung berbagai sifat malaikat yang tercermin dalam kerinduan spiritualnya untuk mengenal Allah SWT.
Al-Qur’an membagi tingkatan nafs pada dua kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang bertaqwa, yag takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sedangkan nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya, serta orang-orang yang sesat yang cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.
Secara eksplisit, Al-Qur’an menyebut adanya tiga jenis nafs, yaitu :
1)      Nafs Mutmainnat[45], yaitu nafsu yang tenang, jauh dari segala keguncangan, selalu mendorong berbuat kebajikan.
2)      Nafs Ammarat[46], yaitu nafsu yang selalu mendorong berbuat kejahatan, tunduk kepada nafsu syahwat dan panggilan setan.
3)      Nafs Lawwamat[47], yaitu nafsu yang belum sempurna, selalu melawan kejahatan tapi suatu saat melakukan kejahatan hingga disesalinya.
Ciri umum dari nafs kualitas rendah menurut Al-Qur’an ada empat :
1)      Mudah melanggar apa-apa yang dilarang Allah.
2)      Menuruti dorongan hawa nafsu.
3)      Menjalankan maksiat.
4)      Tidak mau memenuhi panggilan kebenaran.
 D.      Mad’u (Objek Dakwah) dan Kondisinya
Pendekatan sistem adalah pendekatan yang dipergunakan dalam aktivitas dakwah. Artinya aktivitas dakwah tidak akan sukses tanpa adanya suatu unsure atau faktot tertentu. Ketika dakwah dilakukan terhadap seorang individu, perubahan individu harus di wujudkan dalam satu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya menciptakan arus, gelombang atau paling tidak riak yang menyentuh orang lain.
Masyarakat sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah adalah salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang tidak kalah perannya dibandingkan dengan unsure-unsur dakwah yang lain. Masyarakat yang merupakan sasaran dakwah (objek dakwah) tersebut meliputi masyarakat yang dilihat dari berbagai segi :
  1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat di lihat dari sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
  2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah, dan keluarga.
  3. Sasaran yang berupa kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiokultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terletak dalam masyarakat Jawa.
–oo0()0oo–

BAB IX
HAKIKAT STRUKTUR DAN FUBGSI DAKWAH
SEBAGAI SEBUAH SISTEM
 A.    Sistem Dakwah
Sebelum membahas lebih jauh mengenai sistem dakwah, perlu kita renungi kembali makna dari sistem dan dakwah itu sendiri. Adapun sistem berasal dari kata systeem  (Belanda),  systeme  (Perancis) dan Systema (yunani-latin). Sistem adalah sebuah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait (interrelasi) dan saling bergantung (interedepedensi) untuk mencapai tujuan.[48] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘sistem’ berarti : perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sedangkan dakwah dapat diartikan sebagai suatu kewajiban mengajak manusia kepada jalan Tuhan dengan cara hikmah, mauidzah hasanah, dan mujalah dengan ahsan. Aktivitas ini dalam prosesnya akan melibatkan unsur-unsur pokok dalam dakwah, yaitu: (1)da’i, (2) mad’u, (3) pesan, (4) metode, (5)media, dan (6) tujuan, dimensi ruang dan waktu.[49]
Adapun system dakwah yang dimaksud ialah, sejumlah unsur dan perangkat dalam kegiatan dakwah yang saling terkait (integral) untuk mencapai tujuan dan target dakwah. Beberapa unsur penting dalam kegiatan dakwah sebagai berikut:
1.  Da’i (subjek Dakwah)
Da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung melalui lisan, tulisan atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran islam atau menyebarluaskan ajaran islam, melakukan upaya perubahan ke arah kondisi yang lebih baik menurut ajaran islam. Da’i dalam posisi ini disebut subjek dakwah, yaitu pelaku dakwah yang senantiasa aktif menyebarluaskan ajaran islam.
2.  Maudhu (Pesan Dakwah)
Maudhu atau pesan-pesan dakwah adalah pesan-pesan, materi atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh da’i (subjek dakwah) kepada mad’u (objek dakwah), yaitu keseluruhan ajaran islam yang ada di dalam Al-Quran dan hadits.
3.  Uslub (Metode Dakwah)
Metode dakwah adalah suatu cara dalam melaksanakan dakwah, menghilangkan rintangan atau kendala-kendala dakwah agar mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien.
4.  Media Dakwah (Wasilah Al-dakwah)
Yaitu alat objektif yang menjadi saluran yang dapat menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan irat nadi dalam totalitas dakwah yang keberadaannya sangat urgen dalam menetukan perjalanan dakwah.
5.  Mad’u
Mad;u atau sasaran objek adalah seluruh manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani menjalankan agama islam dan diberi kebebasan untuk berikhtiar, berkehendak dan bertanggungjawab atas perbuatan sesuai dengan pilihannya, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, masa dan umat manusia seluruhnya.
6.  Tujuan Dakwah
Adalah nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh keseluruhan tindakan dakwah.
B.     Hakikat Struktur Dakwah
Dalam kamus besar bahasa indonesia, struktur dapat diartikan suatu cara sesuatu disusun dengan pola tertentu; dapat pula berarti pengaturan unsur-unsur atau bagian dari suatu benda atau wujud.[50] Hakikat struktur dakwah dapat diartikan sebagai pengaturan atau penyusunan unsur-unsur dakwah dengan pola tertentu. Dilihat dari segi pelakunya, terdapat lima struktur dalam dakwah islam, yaitu sebagai berikut:
1.  Struktur Dakwah Allah
Dakwah Allah dapat pula dikatakan sebagai dakwah ilahiyyah. Dalam struktur dakwah ilahiyah ini, Allah merupakan Da’i pertama  dalam proses berdakwah  sebagaimana tersirat dalam definisi tanzil Al-Quran, yaitu: “firman Allah yang diturunkan oleh malaikat jibril kedalam qalbu utusan Allah, Muhammad ibnu Abdullah dengan kata-kata berbahasa arab dengan maknanya, agar menjadi argumen atas kerasulan Muhammad sebagai tuntunan hidup manusia, membacanya menjadi ibadah, yang ditulis dalam mushaf yang diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas yang sampai kepada kita secara mutawatir baik tulisan maupun penuturannya dari satu generasi ke generasi yang lain yang tetap terjaga dari perubahan dan berlaku sepanjang masa.”
Dengan demikian, berdasarkan  proses tanzil Al-Quran tersebut maka dalam perspektif dakwah terdapat unsur-unsur dakwah apalagi jika kita kaitkan dan kita bandingkan dengan paradigma komunikasi sebagai berikut:
  1. Allah sebagai Da’i pertama, yaitu sebagai penyampai dakwah (subjek).
  2. Al-Quran sebagai Maudhu al-da’wah atau pesan dakwah.
  3. Malaikat jibril sebagai washilah al-da’wah atau media dakwah.
  4. Penampakan langsung atau tidaknya malaikat jibril sebagai ushlub al-da’wah atau metode dakwah.
  5. Nabi Muhammad SAW sebagai mad’u atau objek dakwah (dalam tataran proses dakwah kepada sesama manusia, Nabi Muhammad SAW sebagai da’i kedua). [51]
Selain berdasarkan proses tanzil Al-quran sebagaimana disebutkan diatas, juga didasarkan pada firman Allah SWT Qs. Yunus: 25 sebagai berikut:
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)[685].
Mengacu pada ayat tersebut, dapat ditemukan prinsip-prinsip dakwah Ilahiyah, yaitu sebagai berikut:[52]
  1. Dakwah Allah bersifat tanazuli (vertikal)
  2. Pesan dakwah Allah berupa shirath mustaqim (jalan kehidupan yang lurus)
  3. Tujuan dakwah Allah adalah dar as-salam (situasi dan kondisi kehidupan yang damai, sejahtera dan selamat)
  4. Metode dakwah Allah adalah hidayah
  5. Menggunakan media malak jibril dan muqarabiin dan dapat pula langsung tanpa media
  6. Mad’u dakwah Allah adalah makhluknya
  7. Hidayah sebagai metode dalam dakwah Allah. Dalam pemahaman rasyid Ridha (Endang Saifudin Ansori (1986: 56) mendefinisikan  hidayah sebagai petunjuk halus yang memudahkan sesuatu sampai pada tujuan.[53] lebih lanjut lagi Ibnu Al-qayim menyebutkan 10 macam atau peringkat/(martabat) hidayah sebagai bentuk aktualisasi Metode dakwah Ilahiyah, yaitu sebagai berikut:
  8. Martabat Li takliim, yaitu Berfirman langsung pada hamba-Nya dalam keadaan bangun tanpa perantara.
  9. Martabat Lil Wahyu, yaitu Wahyu khusus kepada para nabi.
  10. Martabatu lil Irsyadul Malaikat yaitu Mengutus malaikat kepada manusia yang di pilih menjadi rasul-Nya dengan mewahyukan segala perintah dan larangannya dari  Allah swt.
  11. Maratabat li tahdits yaitu Percakapan transcendental di luar konteks wahyu (Al-tahdits).
  12. Maratabat lil fahmi, yaitu Memberikan kemampuan ketajaman pemahaman tentang segala persoalan melalui daya nalar (AL-ifham).
  13. Memberikan penjelasan umum tentang kebenaran melalui bukti-bukti fenomena hukum alam yang teramati (al-ayat al-masyudah al-maiyah) dan penuturan symbol bahasa (al-masmu’ah al-matluah) .
  14. Martabat lil Bayan , yaitu Memberikan penjelasan khusus melalui pemberian kemampuan penyesuaian prilaku diri dengan ajaran.
  15. Martabat Lil isma’, yaitu Memperdengarkan sesuatu kepada potensi pendengaran telinga, hati, dan damir manusia.
  16.  Martabat Ilham, yaitu Memberikan inspirasi dan intuisi tanpa di dahului oleh usaha manusia untuk memperolehnya (Al-ilham).
  17. Martabat al-Ruyah shalihat, yaitu Mentransmisikan informasi melalui mimpi yang valid (Al-ru’yah al-shadiqah).
2.  Struktur Dakwah Nabi
Adanya dakwah ini dapat dilihat dari kerangka epistemologinya, yaitu Qs. Al-Ahzab: 43-45, Qs. An-Nahl: 44 dan Qs. Al-Jumuah: 2. Mengacu pada kerangka epistemolgi dakwah nabi ini, maka dapat diturunkan prinsip-prinsip dakwah Nabi dan Rasul Sebagai berikut:
  • Nabi adalah pembawa informasi ilahiyah kepada orang lain (umatnya) agar hanya dapat beribadah kepada Allah SWT, dan Rasul adalah pembawa atau utusan Allah kepada manusia (umat-Nya) dengan membawa pesan (risalah) agar manusia hanya beribadah kepada Allah SWT.
  • Dakwah Nabi berlangsung secara linier atau horizontal.
  • Pesan nubuat dan risalah di sampaikan kepada manusia dengan metode :
1)        Tasyid, pembuktian dengan argumentasi dan perbuatan
2)        Tabsyir, penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakannbagi orang-orang yang mengikuti dakwah.[55]
3)        Tandzir atau indzar yaitu penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akherat dengan segala konsekuensinya. [56]
4)        Dakwah, yaitu seruan dan ajakan;
5)        Sirajammunira, yaitu penyuluhan dan penerangan;
6)        Tilawah, yaitu membaca sambil memahami;
7)        Tazkiyah, yaitu membersihkan jiwa dan nafsu negative;
8)        Ta’lim yaitu dengan  memberikan pengajaran;
9)        Khitabah, menuuliskan pesan; atau dapat diartikan pula sebagai upaya sosialisasi nilai-nilai islam melalui media lisan, baik yang terkait langsung dengan pelaksanaan ibadah mahdah maupun yang tidak terkait dengan ibadah mahdah;[57]
10)    Hikmah, yaitu menempatkan berbagai persoalan sesuai peran, fungsi dan tempatnya;
11)    Tabyin, yaitu penjelasan dengan lisan dan perbuatan.
  • Media yang digunakan dalam  menyalurkan pesan nubuah dan risalah adalah bahasa lisan dan tulisan dari instrument lisan dan amal badan (uswatun hasanah)
  • Mad’u penerima pesan nubuah dan risalah adalah individu (nafsiyah), keluarga (fardiyah), kelompok  (hizbiyah) dan komunitas (ummah);
  • Respon mad’u terhadap pesan nabi dan Rasul, ada yang menerima (sami’nawaath’na) dan ada yang menolak (sami’nawaash’ina).
3.  Struktur Dakwah Umat Nabi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “umat” diartikan sebagai (1). Para penganut atau pengikut suatu agama, (2). Makhluk manusia. Lebih lanjut lagi para pakar bahasa Al-Quran dalam buku Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, menjelaskan bahwa kata umat didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun uleh sesuatu, seperti agama, waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.[58]
Kerangka epistemologi dakwah umat Nabi ini dapat dilihat dari Qs. AL-imran (3):104, 110, 112, dan Qs. An- Nahl (16):125. Mengacu kepada beberapa ayat ini dapat diturunkan prinsip-prinsip dakwah umat Nabi dan Rasul sebagai dakwah Islam, sebagai berikut (Shalih Al-Mursyid, 1989):
  • Da’I adalah laki-laki dan wanita yang akil baligh mampu mengendalikan nafsnegatifnya dan menguasa iserta mengamalkan pesan dakwah terlebih dahulu.
  • Pesan dakwah yang terkandung dalam dakwah umat nabi  adalah al-Islam itu sendiri yang  memiliki konsep biologis dan pandangan duniab ersumber kepada  al-Qur’an, sunnah dan ijtihad serta sejarah peradaban Islam di sepanjang zaman.
  • Metode yang dipakai dalam dakwah umat Nabi adalah melalui metode al-Quwah (kekuasaan), al-qaul (bahasa lisan, tulisan), dan al Sairah al-hasanah (perbuatan )seperti jihad menegakan agama Islam, menegakkan keadilan mewujudkan keamanan dan kemerdekaan dan mengelola sumber daya manusia dan alam. Semua meyode tersebut merupakan upaya merealisasikan interaksidengan Tuhan, manusia dan alam.
  • Pesan dakwah di salurkan melalui media lingkungan, keluarga, lingkungan, sekolah, berbagai karya tulis dan media elektronik.
  • Mad’u dalam dakwah umat Nabi adalah seluruh manusia yang berbeda suku, bahasa dan bangsa. Jika manusia itusu dah menerima Islam, maka dakwah bagi mereka berupa intensifikasi, sedangkan jika manusia itu belum menerima Islam, maka dakwah bagi mereka berupa ekstensifikasi (futuhat).
  • Dakwah Islam berproses diatas dasar rasional (al-aqliyah), kebebasan (al-huriah) dan perjuangan (al-jihad), dalam konteks nafsiyah, fardiyah, fiah, hizbiyah/Jemaah, ummah dan syu’ubiyah (antarbudaya).
Respon mad’u terhadap da’I dan pesan dakwah berlaku hukum taqabul (pasangan yang berlawanan), yaitu : menerima dan menolak sebagai ekspresi dari kebebasan yang di miliki mad’u sebagai manusia.
4.  Struktur Dakwah Kafir
Adanya dakwah kafir dapat dilihat dari kerangka epistemologinya yaitu Qs. Al-Baqarah (2):221, yunus (10): 66, dan al-qashash (28):41. Mengacu kepada beberapa ayat teresbut dapat  di turunkan prinsip-prinsip dakwah kafir atau non muslim sebagai tantangan dakwah Islam (gazw al-da’wah), yaitu:
  • Dakwah kafir atau non muslim sebagai ekspresi nafs yang mengikuti kecenderungan (hawahu) dan bergerak kearah bawah yakni mengikuti nafsu amarah.
  • Pesan dakwah kafir atau non muslim adalah tatanan hidup produk akal yang di dominasi oleh hawahuzhulumat(kegelapan).
  • Metode dakwah yang di gunakan adalah bujukan lisan, bujukan materi dan bujukan perbuatan yang antara lain lewat perkawinan silang.
  • Media dakwah yang di gunakan adalah  instrument lisan, badan, media cetak, dan elektronik (abad modern).
  • Mad’u dakwah ini adalah orang muslim dan non muslim lagi.
  • Respon mad’u dakwah kafir dan non muslim ada yang menerima dan ada yang menolak, bagi yang menerima berarti murtad dan bagi yang menolak tetap menjadi muslim yang lulus ujian.
5.  Struktur Dakwah Syaithan
Adanya dakwah ini di isyaratkan oleh Al-qur’an, antara lain dalam Qs. al-maidah (5): 91-92, luqman (31): 21, an-Nasr:1-6. Dakwah syaithan merupakan ajakan syaithan kepada manusia  menuju jalan kesesatan. Dari beberapa ayat teresbut dapat di turunkan beberapa prinsip dakwah syaithan sebagai berikut:
  1. Da’i dalam Dakwah ini adalah jin kafir dan manusia kafir  yang  terdominasi oleh hawa nafsunya dan di tujukan kepada manusia muslim sebagai lawan Islam (gazw al-da’wah).
  2. Pesan dakwah ini antara lain berupa fahsya, munkar, khamar (minumanterlarang) maisir (jud)i, anshab (berkorban untuk berhala), azlam (mengundi nasib dengan panah dan sejenisnya), adawah (permusuhan), baghdha (kebencian), shadu ‘an zikrillah (menghalangi mengingat Allah), dan shadu ‘an shalah (menghalangi shalat).
  3. Metode dakwah ini melalui penggunaan nafs amarah, nafs lawwamah, nafs mulhamah, nafs mardiyah dan nafs kamilah[59] dalam bentuk yuwaswisu fisudurinnas (membisikan kejahatan didalam nafs)
  4. Media dakwah ini melalui penggunaan energy yang di miliki jin kafir. Energi disini maksudnya energi negatif yang ditujukan kepada manusia untuk berbuat maksiat.
  5. Mad’u dakwah ini adalah muslim yang taat menjalankan ajaran islam dengan ujuan zhulumat dan naar (kegelapan kehidupan dan kecelakaan )
  6. Mad’u merespon dakwah ini ada yang merespon positif (menerima) dan ada yang menolak, bagi yang menerima ia akan menjadikan al-An’am bal hum adhalun (bagaikan binatang bahkan lebih sesat dan jahat), dan bagi yang menolak, ia merupakan muslim yang lulus ujian.
 C.    Hakekat Fungsi Dakwah
  1. Menuntun keyakinan umat manusia sesuai dengan fitrahnya, yaitu tauhidullah (memiliki keyakinan kepada Allah SWT).
  2. Membangun keimanan umat manusia yang senantiasa pluktuatif (bertambah dan berkurang) agar senantiasa stabil (kokoh) dalam beriman dan beramal shaleh dibawah landasan karena Allah
  3. Dakwah merupakan penuntun akal manusia dalam mencari dan menjalankan kebenaran.
  4. Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah.
  5. Merealisasikan Islam sebagai rahmatan li al-alamin (menebar kasih sayang Tuhan dan keselamatan bagi seluruh alam).
Dilihat dari segi fungsinya, dakwah Islam dengan mengacu kepada kitab Al-Qur’an sebagai kitab dakwah, antara lain dapat di rumuskan sebagai berikut:[60]
  1. Merupakan upaya mengeluarkan manusia dari kegelapan hidup (zhulumat) kepada cahaya kehidupan yang terang (nur).
  2. Upaya menegakkan fitrah insaniyah.
  3. Mengestapetkan tugas kenabian dan kerasulan .
  4. Upaya menegakan aktualisi pemeliharaan agama, jiwa, akal, generasi, dan sasaran hidup
  5. Perjuangan memenangkan ilham taqwa atas ilham fujur dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok, dan komunitas manusia.
–oo0()0oo–
BAB X
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER INSFIRASI
FILSAFAT DAKWAH

A.    Konsep Dakwah Dalam Al quran
Dalam perspektif dakwah, al-quran dipandang sebagai kitab dakwah yang merupakan rujukan pertama dan utama. Al-quran memperkenalkan sejumlah istilah kunci yang melahirkan konsep dasar dakwah. Dalam al-quran, istilah-istilah dakwah tersebut selalu diekspresikan dalam konteks bagaimana kedudukan, fungsi,dan peran manusia sebagai mukhatab utamanya dalam kaitan dengan hak dan kewajibannya terhadap tiga dimensi hubungannya vertikal dan horizontalnya,yakni habl min Allah, habl min al-nas dan habl ma’a al-alam. Isyarat ayat-ayat yang berkenaan dengan hal itu menegaskan keberadaan gagasan, visis,misi, dan prinsip dakwah dalam wawasan al-Quran.
Istilah-istilah dakwah dalam al-Quran yang dipandang paling popular adalah ‘yad’una ila al-khayr, ya’muruna bi al-ma’ruf dan yanhauna ‘an al-munkar. Dalam konteks ini, seorang muslim secara khusus, mempunyai tanggung jawab moral untuk hadir di tengah-tengah kehidupan social masyaraktnya sebagai figure bukti dan saksi kehidupan islami (syuhadaa ‘ala al-nas), umat pilihan (khoero ummah) yang mampu merealisasikan nilai-nilai illahi, yaitu menyatakan dan menyerukan al-khayar sebagai kebenaran prinsipil dan universal (yad’uuna ila al-khaer), melaksanakan dan menganjurkan al ma’ruf, yaitu nilai-nilai kebenaran cultural (ya’muruuna bi al ma’ruf), serta menjauhi dan mencegah kemunkaran (yanhauna ani al-munkar). Di samoing istilah tersebut tersebut dalam al-Quran mengenalkan istilah-istilah lain yang dipandang berkaitan dengan tema umum dakwah, seperti tabligh (penyampaian berita gembira), tandzir (penyampaian ancaman), tawsiyah (nasehat), tadzkir dan tanbih (peringatan). Substansi istilah-istilah itu adalah adanya pesan moral dan misi suci tentang nilai kebenaran, kebaikan, dan kesucian sebagai hidayah illahi yang perlu terus menerus diperjuangkan.
            Ketika berbicara tentang ontology dakwah, al-quran memperkenalkan sejumlah istilah atau konsep dasar dakwah yang lebih banyak di ekspresikan dalam bentuk kata kerja transitif (fi’il muta’adi). Bahkan, ada yang secara tegas menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr). Hal ini mengisyaratkan bahwa kegiatan dakwah perlu dilakukan secara sistematis, serius, professional, dan proporsional.
Secara profesional, al-Quran mengisyaratkan bahwa di antara orang-orang islam perlu ada sekelompok orang (tha’ifah) yang secara khusus mendalami ilmu pengetahuan (tafaqquh fi al-din) yang perlu di proyeksikan sebagai pencerahan, pembawa angin segar kehidupan, peringatan dan motivator bagi pembangunan masyarakatnya. Sehingga, tampillah para pemimpin umat yang berperan membawa masyaraktnya ke arah pembinaan dan perbaikan masa depannya.
Ketika berbicara tentang epistemology dakwah, alquran mengenalkan gagasan dan visi dakwah yang akan melahirkan prinsip dakwah Qur’ani. Hal ini diturunkan dari cara pandang al-Quran tentang tiga hal yang berhubungan secara horizontal dan vertical dengan manusia sebagai objek (mukhatab) utama al-quran, yaitu qur’am menjabarkan nilai-nilai uluhiyyah, mulkiyah, milukiyyah dan rububiyah dalam prilaku kehidupan pribadi dan masyarakat. Cara pandang ini akan melahirkan pesan normal yang mendasar, yaitu : pertama dakwah yang berwawasan kemanusiaan dan cultural (perspektif sosiologis-amtropologis), kedua, dakwah berwawasan lingkungan (prinsip ekologis), dan ketiga, dakwah yang berwawasan moral ketuhanan (perspektif teologis).
Prinsip-prinsip dakwah Qur’ani di atas melahirkan kaidah-kaidah dakwah, antara lain;pertama, menghargai kebebasan dan menghormati hak asasi masing-masing individu dan masyarakt,kedua menhgindati kesulitan,kesempitan,dan kepicikan, ketiga menghindari kemudaratan dan kerusakan, keempat, bertahap, gradual,dan mengikuti  proses (al tadarry). Kaidah tersebut melahirkan karakter atau watak dakwah qurani yang mengacu pada pesan universal kehadiran rasul dan ajaran islam, yaitu rahmah li al-alamin yang merefleksikan kemaslahatan,kemanfaatan,kesejahteraan, dan kegunaan bagi semua pihak. Dengan demikian, iklim yang dibangun dalam dakwah adalah pencerahan fikir, penyejuk hati nurani, kedamaian serta kterhindar dari cara kasar dan kekerasan.
Selanjutnya yang ketiga itu adalah tentang aksiologi dakwah, alquran menegaskan suatu misi dan tujuan sebagai pesan moral utamanya. Adalah khilafah dan risalah. Hal itu diwujudkan dalam wujud penghayatan (internalisasi), penyebaran (tyransmisi) dan perubahan atau pembangunan (tranpormasi) nilai-nilai kebaikan (al birr) dan kebenaran serta kesucian sebagai hidayah illahi yang perlu ditegakkan dalam kehidupan social budaya dari masa ke masa, sesuai denagn makna serta tugas nabi dan rosul sebagai pembawa kabar gembira dan penyampai pesan risalah illahi.
Tegasnya, tujuan dakwah qurani dapat dikategorikan ke dalam empat bentuk : pertama, tujuan ideal. Ialah terciptanya situasi dan kondisi dar al salam atau al-nur. Kedua, tujuan institusional yaitu tegaknya tata aturan ibadah dan muamalah sesuai dengan ajaran islam, keempat, tujuan opresaional adalah tegaknya al-birr dan al haqq yang dorefleksikan dalam wujud akhlak mulia.
 B.     Konstruksi Keilmuan Filsafat Dakwah  dalam Al Quran
Dengan bahasan singkat mengenai pandangan  al-Quran sebagaimana diuraikan di atas, yang dijadikan pondasi dalam membangun epistemology dakwah Islam dapat diketahui bahwa epistemology dakwah dalam visi al-Quran harus didasarkan pada sumber pengetahuan, yakni Allah SWT melalui kitab yang mengandung segala hikmah (al-Quran) dengan menggunakan segenap potensi manusia (QS.16:78).
Pendekatan seperti ini sering disebut sebagai pendekatan holistik. Dalam pendekatan holistik ini, menurut Nursamad dikutip oleh Enjang As (1990), tidak mempersoalkan apakah potensi inderawi, akal budi ataukah intuisi yang menjadi andalan pengetahuannya, tetapi yang penting adalah kejernihan dan kepastian dalam setiap pengetahuan, baik dalam bentuk inderawi, rasional maupun intuitif. Kejernihan dan kepastian itupun tidak dapat diperoleh kecuali dengan cara ‘membersihkan jiwa (tazkiyah bi alnafs) yang menjadi wadah potensi-potensi pengetahuan dari segala macam noda dan penyakit yang dapat menghalangi tercapainya kebenaran hakiki, apapun bentuk dan jenis pengetahuan tersebut.
Lebih lanjut, Nursamad mengatakan bahwa : “prinsip-prinsip epistemology dalam al-hikmah (filsafat), didasarkan kepada wahyu dan keimanan”. Dengan alasan : (1) karena tanpa wahyu niscaya manusia mengalami keputusasaan untuk mecapai kebenaran yang pasti; (2) wahyu dianggap sebagai stimulant bagi potensi-potensi intelektual ibarat air hujan menyuburkan tanah kering; (3) berdasarkan hubungan dan keterikatan interaksi antar wahyu dengan potensi pengetahuan, integritas dan harmonisasi pengetahuan-pengetahuan empiric, rasional, dan intuitif dapat terjalin dengan baik; (4) pengetahuan yang diperkenalkan melalui al-hikmah adalah pengetahuan berdimensi intelektual dan moral. Dalam tarap inderawi, manusia menyerap pesan-pesan wahyu yangkemudian terobsesi melakukan observasi (perenungan dan pengamatan) dalam tarap rasional manusia yang kemudian meletakkan dasar-dasar keilmuan bagi kegiatan perenungan tersebut, dan dalam tarap intuisi manusia menghayati penemuannya dan (5) seluruh proses pengetahuan dan al-hikmah ditentukan oleh kegiatan pembersihan diri karena bentuk dan jenis pengetahuan apapun yang tercapai, kiranya merupakan gejala jiwa yangpada dasarnya tidak terlepas dari tiga macam kecenderungan, yaitu; ego, hawa nafsu (termasuk godaan syetan), dan bisikan ilahi.
Sebagai suatu disiplin, ilmu da’wah dalam menjalankan fungsi keilmuannya dengan berdasarkan pada kajian tersebut – paling tidak – melaui tiga metode, yaitu (1) metode istinbath, (2) iqtibas, dan (3) istiqra. Definisi masing-masing “dapat” dirumuskan sebagai berikut :
Metode istinbath adalah proses penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah dengan mengacu pada al-Quran, sunah, dan produk ijtihad ulama dalam memahami keduanya. Produk metode ini menjadi teori utama dalam dakwah.
Metode Iqtibas adalah proses penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah dengan mengambil pelajaran dari teori ilmu social dan filsafat manusia. Hal ini dapat dilakukan mengingat objek material ilmu dakwah bersentuhan dengan objek material ilmu social dan filsafaat manusia yang mengkaji fenomena perilaku manusia, dengan catatan hal-hal yang secara substansial bertentangan dengan sumber utama dakwah, yaitu al-Quran dan al-Sunah. Produk metode kedua ini menajdi “teori menengah” atau middle theory dalam ilmu dakwah.
Metode istiqra adalah proses penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah melalui kegiatan penelitian pada tataran konsep dan pada tataran realitas macam-macam aktivitas dakwah dengan cara kerja ilmiah. Produk metode ketiga ini menjadi teori ketiga dalam ilmu dakwah.
Selanjutnya dalam permasalahan verifikasi (pengujian), pada tahap verifikasi ini karena disadari bahwa Tuhan (Allah Swt) menurunkan ayat-ayat-Nya (ayat Kauniyah dan Qauliyah) semuanya untuk dijadikan pelajaran dan sekaligus petunjuk (Haudan li al-nas) untuk mencapai kebenaran yang didalamnya tidak ada pertentangan diantara keduanya maka proses verifikasi pada suatu penyelidikan, diadakan lanhkah-langkah pembenaran (konfirmasi dan justifikasi) satu dengan lainnya untuk mendapatkan hasil penyelidikan yang didalamnya tidak terjadi pertentangan antara pengujian terhadap ayat kauniyah dengan ayat qauliyah.
 C.    Hikmah dalam Al-qur’an  dan Kegiatan Dakwah
Dalam surat Al-Baqoroh ayat 269 Allah swt berfirman:
Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqoroh ayat 269)
Dapat disimpulkan  bahwa hikmah adalah “ kemampuan rohani yang diberikan Allah kepada manusia yang di kehendaki Nya”. Orang yang diberi hikmah akan memperoleh banyak kebaikan dan berbuat kebajikan untuk kepentingan dirinya maupun masyarakat. Allah adalah pemilik dan pemberi hikmah bagi manusia,karena Allah mempunyai nama/sifat al-hakim. Istilah hakim mengingatkan orang kepada lembaga pengadilan yang berfungsi sebagai pemberi keadilan. Allah sebagai Hakim memang mempunyai sifat Maha Adil.
Adil adalah memberikan (termasuk melakukan dan memutuskan ) sesuatu kepada orang lain yang nilainya sesuai dengan yang diharaplan jika pemberi diberi orang lain. Dalam hal ini terkandung sifat empati dan pemberi,sehingga dia merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dalam sifat adil terkandung sifat tepo seliro karena seseorang tidak memberi sesuatu kepada orang lain apa yang bagi dirinya sendiri tidak senang kalau orang lain melakukan kepada dirinya.
Dalam kaitannya dengan dakwah da’I yang mempunyai hikmah seharusnya adil dalam perbuatannya,baik untuk dirinya maupun untuk orang lain ,ia juga harus adil ketika berdakwah  maupun dalam kehidupan di luar dakwah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adil merupakan manifestasi dan adanya hikmah. Sifat hikmah pada seorang da’I terpancar dari perbuatan adilnya. Karena itu dakwah tidak akan sukses jika da’I tidak memiliki sifat adil atau hikmah .
Dari perspektif etika, adil termasuk sikap batin yang di dalamnya terkandung getaran yang disebut prasangka baik (khusnu dzon) artinya orang yang adil tidak akan berprasangka jelek (Su’udzon) terhadap orang lain, sama hal nya kita tidak berharap orang lain berprasangka jelek kepada kita. Prasangka baik sebagai pancaran dari sifat adil harus di tumbuh kembangkan dalam kehidupan sehari hari dan dalam kegiatan dakwah. Hikmah itu adalah cahaya ( karunia Allah ) yang berselubung kaca, kaca yang menyatu dengan cahaya itu membuat cahanya semakin dan terang menembus ke luar kaca menyinari objek dakwah. Kaca selubung itu berupa sifat adil dan berprasangka baik. Pada diri da’I ,hakikat hikmah diketahui dari sikap, tutur kata dan perilakunya, dan jika hal ini sudah nampak pada diri da’I maka objek dakwah akan menerima diri dan dakwahnya dengan simpati. Dengan begitu da’I akan sukses apabila da’I mempunyai sikap ,tutur kata yang baik dan perilaku yang adil serta berprasangka baik terhadap objek dakwahnya .
Hikmah dengan jari–jari sinarnya menembus kaca selubung (adil dan prasangka baik) menerangi objek dakwah ,sehingga mereka mudah kembali ke jalan Allah yaitu Addin Islam.
Dengan demikian tutur kata yang baik kepada objek dakwah harus didasarkan atas etika dai 9adil dan berprasangka baik )sebagai pancaran hikmah. Demikian  juga sesuatu (diskusi ) yang lebih baikharus dilakukan dengan adil dan prasangka baik termasuk dalam menyusun dab memilih materi ,metode dan sistematika dakwah serta penggunaan sarana dan media.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hikmah itu:
  1. Hikmah menjadi hakikat atau prinsip dasar dari metode dan semua perangkat dakwah .
  2. Semua perangkat dakwah harus di jiwai dan diacukan kepda prinsip prinsip dasar atau hakikat (hikmah) tersebut agar dakwah sukses,hikmah harus menjadi dasar dalam pemilihan metode,teknik dan model dakwah,begitu juga dengan hikmah dalam pengenalan kondisi dan profil objek ,pemilihan materi ,waktu,media dan sarana serta tutur kata.
  3. Dengan demikian hikmah dalam dakwah dapat diartikan sebagai “seperangkat kemampuan yang di miliki dai yang diperoleh dari pemahaman terhadap Al-qur’an ,Al-Hadist dan sejarah dakwah ,guna memahami,memilih dan menerapkan  perangkat dakwah secara tepat dan benar.
 D.    Pancaran Adil dan Hikmah Dalam Dakwah
Dari perspektif etika ,adil termasuk sikap batin yang di dalamnya terkandung getaran yang disebut prasangka baik.(khusnu dzon )artinya orang yang adil tidak akan berprasangka jelek (Su’udzon ) terhadap orang lain ,sama hal nya kita tidak berharap orang lain berprasangka jelek kepada kita. Prasangka baik sebagai pancaran dari sifat adil harus di tumbuh kembangkan dalam kehidupan sehari hari dan dalam kegiatan dakwah. Hikmah itu adalah cahaya (karunia Allah ) yang berselubung kaca ,kaca yang menyatu dengan cahaya itu membuat cahanya semakin dan terang menembus ke luar kaca menyinari objek dakwah. Kaca selubung itu berupa sifat adil dan berprasangka baik. Pada diri da’I ,hakikat hikmah diketahui dari sikap ,tutur kata dan perilakunya,dan jika hal ini sudah Nampak pada diri da’I maka objek dakwah akan menerima diri dan dakwahnya dengan simpati. Dengan begitu da’I akan sukses apabila da’I mempunyai sikap ,tutur kata yang baik dan perilaku yang adil serta berprasangka baik terhadap objek dakwahnya .
Hikmah dengan jari-jari sinarnya menembus kaca selubung (adil dan prasangka baik) menerangi objek dakwah ,sehingga mereka mudah kembali ke jalan Allah yaitu Addin Islam. Dengan demikian tutur kata yang baik kepada objek dakwah harus didasarkan atas etika da’i adil dan berprasangka baik sebagai pancaran hikmah. Demikian juga sesuatu (diskusi) yang lebih baikharus dilakukan dengan adil dan prasangka baik termasuk dalam menyusun dab memilih materi ,metode dan sistematika dakwah serta penggunaan sarana dan media.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan:
  1. Hikmah menjadi hakikat atau prinsip dasar dari metode dan semua perangkat dakwah .
  2. Semua perangkat dakwah harus di jiwai dan diacukan kepda prinsip prinsip dasar atau hakikat (hikmah ) tersebut agar dakwah sukses,hikmah harus menjadi dasar dalam pemilihan metode,teknik dan model dakwah,begitu juga dengan hikmah dalam pengenalan kondisi dan profil objek ,pemilihan materi, waktu, media dan sarana serta tutur kata.
  3. Dengan demikian hikmah dalam dakwah dapat diartikan sebagai “seperangkat kemampuan yang di miliki dai yang diperoleh dari pemahaman terhadap Al-qur’an, Al-Hadist dan sejarah dakwah ,guna memahami,memilih dan menerapkan  perangkat dakwah secara tepat dan benar.
 E.     Al-Quran Sebagai Sumber Inspirasi Dakwah
Pada dasarnya Al-quran itu sendiri merupakan dakwah bagi pengembangan Islam karena Al-quran mencakup cerita orang-orang yang terdahulu dan syariat-syariatnya serta hukum-hukumnya. Al-quran juga mencakup antropologi dan membicarakan  tentang seruan untuk mengkaji alam semseta. Sebagian lagi, Al-quran membicarakan keimanan. Oleh karena itu, Al-quran telah cukup untuk dakwah asalkan pandai menjelaskannya.
Jika Weda kitabnya Budha telah mampu mengajak dan menyentuh kalbu setiap penganutnya, mengapa Al-quran tidak menyentuh kalbu setiap orang. Al-quran lebih segalanya daripada kitab weda itu.
Para ulama memahami dan mempelajari dasar-dasar hokum Al-quran. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika pada permulaan islam para ulama persi telah memahami Al-quran. Banyak murid para sahabat yang berasal dari kalangan bangsa persi yang mempelajari Al-quran, demikian  pula orang-orang selain mereka yang masuk islam pada masa sahabat dan masa-masa berikutnya.
Sesungguhnya bacaan Al-quran yang dilakukan para sahabat pada negeri yang mereka masukinya dapat menyentuh kalbu pihak penduduk karena keindahan dengan Bahasa Arab, serta kemerduan bacaanya. Maka al-quran itu sendiri bisa menjadi dai bagi islam.
Al-Quran yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun sejak manuia mengenal tulis lima ribu tahun yang lalu. Yang dapat menandingi Al-quran Al-karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Al-quran sebagai inspirasi filsafat dakwah karena al-quran sendiri mempunyai tujuan sebagai berikut:
  1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konep teologi, tetapi falsafah hidup.
  2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manuia merupakan suatu umat yang seharunya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
  3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman dan rasio, kesatuan kebenaran dan kesatuan keperibadian manusia, kesatuan sosial poloitik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah suatu keesaan, yaitu keesaan Allah.
  4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
  5. Untuk membasmi kemiskinan material dan  spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup, pemerasan manusia,dalam bidang soisal, ekonomi, politik dan juga agama.
  6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan  rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial ebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia.
  7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dan falsafah kolektif skemunkaran.
  8. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
 F.     Alasan Al-Qur’an menjadi sumber insfirasi dalam Filsafat Dakwah
Ada beberapa alas an mengapa al-Qur’an dijadikan sumber insfirasi dalam filsafat dakwah[61], yaitu:
  1. Alqur’an adalah kitab dakwah yang juga merupakan pesan dakwah Allah swt, sebab Allah menerangkan kemaujudan-Nya melalui dakwah. Al-Qur’an menjelaskan secara eksflisit adanya aktivitas dakwah sebagai sesuatu yang diperintahkan, yang diantara modelnya adalah hikmah.
  2. Al-Qur’an menjelaskan salah satu identitas kediriannya sebagai “kitab hikmah” dan “al-Qur’anul karim”, yaitu buku dan bacaan hikmah yang berarti kearifan, ilmu dan kebijaksanaan yang sepadan dengan arti filsafat, yaitu cinta ilmu dan kebijaksanaan.
  3. Terdapat ayat-ayat yang menerangkan tentang hikmah, seperti menyatakan bahwa Allah telah memberikan “Hikmah” kepada Lukman dan lain sebagainya.
  4. Intinya, al-Qur’an telah mengisyaratkan keberadaan filsafat dalam al-Qur’an dengan kalimat “hikmah”. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa filsafat dakwah adalah filsafat al-Qur’an dan filsafat al-Qur’an adalah filsafat dakwah.
–oo0()0oo–
DAFTAR PUSTAKA

Alwisral, Iman Zaidallah, Drs. 2005. Strategi Dakwah. Jakarta: Kalam Mulia
Al-Qahthani, Said Bin Ali. 1994. Da’wah Islam Da’wah Bijak. Jakarta: Insani Press.
Amrullah, Ahmad.1985. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Bandung: PT Bina Ilmu.
Arifin, HM. 2004. Psikologi Dakwah. Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin, Isep Zaenal. 2009. Bimbingan Penyuluhan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Azis, Moh. Ali. 2004. Ilmu Dakwah. Jakarta. Kencana.
Enjang dan Aliyudin. 2009. Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Effendi, Utsman. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa.
Faizah dan Lalu Muchsin Efendi. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenada Media.
Hafidhuddin, Didin. 1998. Dakwah Aktual. Jakarta: PT Gema Insani Press.
Kusnawan, Aep. 2004. ILMU DAKWAH (Kajian Berbagai Aspek), Jakarta: Pustaka Bani Qur’ani.
Machfoeld, Musa. A. 2004. Filsafat Dakwah Ilmu Dakwah dan Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhtadi, Asep Saeful . 2007. Pedoman Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal. Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Muhyidin, Asep dan Safei Agus Ahmad. 2002. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.
Munir, M. 2009. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nasution, Harun. Prof. Dr.. 1982. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-PRESS.
Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID.
Sambas, Sukriyadi. 2009. H. Drs. M.Si., Mantik (Kaidah Berpikir Islami). Bandung: Rosda.
________________, 2004. Pohon Ilmu Dakwah Islam. Bandung: KP HADID.
________________, 2004. Dasar-Dasar Bimbingan (Irsyad) dalam Dakwah Islam. Bandung: KP HADID.
Siti Muriah,Dra.2000. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra
Suparta, Munzier. 2009. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Surjadi, A. 1989. Dakwah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju.
Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. Bandung: Rosda karya Pustaka.
Tasmara, Toto.1998. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media.
Zahrah, Abu. 1994. Dakwah Islamiah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
–oo0()0oo–
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat#Etimologi. Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:25
[2] Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Bandung: PT Bina Ilmu. Hal. 80
[3] http://lets-belajar.blogspot.com/2007/09/apengertian-filsafat. Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:55
[4] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah. Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:59
[5] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah. Tgl.03 November 2010 pkl. 21:14
[6] Machfoeld, Ki Musa A. 2004. Filsafat Dakwah. Jakarta: PT Bulan Bintang. Hal. xv
[7] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 7
[8] http://firdausbinmusa.blogspot.com/2009/05/filsafat-dakwah. Tgl. 03 November 2010 Pkl. 21:53
[9] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah. Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:59
[10] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah. Tgl.03 November 2010 pkl. 21:14
[11] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hlm 41
[12] http://susipurwati.blogspot.com/2010/10/perkembangan-aspek-spiritual-remaja. Tgl 05 November 2010 pkl. 19:27
[13] http://rson-r-son.blogspot.com/2009/07/tingkat-tingkat-kebutuhan-manusia. tgl. 05 November 2010 pkl. 20:00
[14] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 11
[15] Nurrohman. 2009. Laporan Penelitian Psikologi Agama. Hal. 27
[16] Nurrohman. 2009. Laporan Penelitian Psikologi Agama. Hal. 29
[17] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 14
[18] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 15
[19] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 16
[20] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 19
[21] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 20
[22] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 23
[23] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 27
[24] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 31
[25] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 34
[26] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 35
[27] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 36
[28] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 38
[29] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 55
[30] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 41
[31] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 44
[32] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 56
[33] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 57
[34] Shihab, Quraisy., Dr. M. M.A. 1998. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. Hal 319
[35] Sirojudin, Drs. 2003. Ensiklopedi Islam 5. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi. Hal.129
[36] Sambas, Sukriyadi., H. Drs. M.Si. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID.  Hal 41
[37] Sambas, Sukriyadi., H. Drs. M.Si. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal 41
[38] http://www.scribd.com/Pengertian-Ummat/d/2911007. Tgl 09 november pkl. 16:15
[39] Kusnawan, Aep, M. Ag., 2004. Ilmu Dakwah (Kajian Berbagai Aspek). Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Hal 45
[40] Suparta, Munzier., Drs. H. M.A. Hefni Harjani, H. Lc. M. A. 2006. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 105
[41] Enjang, AS, Drs. M.Ag. M.Si., Aliyudin, S.Ag. M.Ag., 2009. Dasar- Dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjajaran
[42] Suparta, Munzier., Drs. H. M.A. Hefni Harjani, H. Lc. M. A. 2006. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 107-108
[43] Shihab, Quraisy., Dr. M. M.A. 1998. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. Hal. 320
[44] Faizah., M.A. H. Effendi Muchsin, Lc., M.A. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal 70-74
[45] Q.S Al-Fajr ayat 27-28
[46] Q.S Yusuf ayat 53
[47] Q.S Al-Qiyamah ayat 2
[48] Ki Moesa A. Machfoeld, FILSAFAT DAKWAH ilmu dakwah dan penerapannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004. Cet ke-2), hlm. 51
[49] Drs. H. Isep Zaenal Arifi, M.Ag, Bimbingan Penyuluhan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008) hlm. 240
[50]Departemen Pendidikan  Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1996, Cet. Ke-7), hlm. 965
[51] Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si., Aliyudin, M.Ag, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah (Bandung: Widya Padjadjaran,  2009), hlm. 46
[52] Drs.  H. Syukriyadi Sambas,op. Cit., hlm.67
[53] Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag, Op. Cit, hlm. 122
[54] Abdul Mujib, handout matakuliah dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Islam, (bandung:2009)
[55]M. Munir, S.Ag, MA, dkk, Metode Dakwah, (Jakarta: kencana, 2003, Cet. Ke-3), Hlm. 257
[56] Ibid.
[57] Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si., Aliyudin, M.Ag, Op. Cit. Hlm. 59
[58] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran , (Bandung: Mizan, 1996) Hlm. 326
[59] Drs. H. Isep Zaenal Arifi, M.Ag, Op. Cit. Hlm. 143
[60] Drs.  H. Syukriyadi Sambas,op. Cit., hlm .74
[61] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 2-3

0 komentar:

Posting Komentar