BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan
besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep
ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama
lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya
sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat
aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga
melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah
al-Muta’aliyah.
Aliran filsafat baru ini, disamping
memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara
pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana
biografi dari Mulla Sadra?
- Apa karya Mulla Sadra?
- Bagaimana filsafat Mulla Sandra?
- Bagaimana
pengaruh filsafat mulla shadra?
C. tujuan Penelitian
- Untuk
mengetahui biografi dari Mulla Sadra
- Untuk
mengetahui karya Mulla Sadra
- Untuk
mengetahui filsafat Mulla Sandra
- Untuk
menegtahui pengaruh filsafat mulla Shadra
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Mulla Shadra (1571-1640 M.)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih
popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan
murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz
sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh
dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami
al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat
sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan
yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.[1][1]
Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya
telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini.
Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para
sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode
pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada
zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari
tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah
bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar
fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir
Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof,
Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya
merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang
Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi)[2][2] . Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul,
filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik
Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah
melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah
yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis
(Hikmat al-Isyraq).
Setelah menyelesaikan pendidikan
formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit
terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua,
dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil
dekat Qum. Selama pereode ini, pengetahuan yang diperolehnya mengalami
kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah
kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada
pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan
menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya
pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk
menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis
-sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya
dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)[3][3]
Dengan demikian, sistem pemikiran
Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari
situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama
dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di
Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh
kalinya.
B. Karya Mulla
Sadra
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku,
32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum
opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah
al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama
kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang
soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III
menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan
nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang
Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal
epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap
filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar
terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj (tentang
psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam
(penciptaan Alam),Kasr Al-Asnam
Al-Jahiliyah Fi Daimni Al-Mutawasifin, kolq al-a’mal, Al-A’mal, Al-Lama’ah Al-
masyriqiyyah fi Al-funun Al-Mantiqiyyah (percikan cahaya illuminasionis
dalam seni logika), Al-mabda’ wa Al-Ma’ad
(permulaan dan pengembalian), mofatih
Al-Gaib (kunci alam gaib), Kitab Al-
masya’ir (kitab penembus metafisika), Al-Mizaj
(tentang prilaku perasaan), mutasyabihat
Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam al-quran), Al-qada wa Al-Qadar fi Af’ali Al-basyar (kada dan kadar dalam
perbuatan manusia), Asy-syawahid
Ar-Rububiyah fi Al-Manhij As –Suluqiyah (penyaksian illahi akan jalan
kearah kesederhanaan rohani), sarh-i
Safa, Sarh-i Hikmah Al-isra, Attihad Al-‘aqqu’il wa Al-ma’qul, Ittisaf
Al-Mahiyyah bil Wujud, at – tasakhkhus, Sarayan Nur Wujud, limmi’yya Ikhtisas
Al-Mintaqah, Khalq Al-A’mal, Zad Al-Musafir, Isalat –i Ja’l – i wujud, Al –
hasriyyah, Al-alfaz Al – Mufradah, Radd-i Subahat-i Iblis, At-Tanqih, At-
Tasawur wa At-Tasdiq, Diwan Sih’r.
C. Filsafat Mulla Sadra
Ø
Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi
filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga
bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis
filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat
al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla
Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat
al-Muta’aliyah)[4][6]
Maksud (al-ashâlah al-wujud)
dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin
al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas
(esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara
mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari
“penampakan” (apperiance) belaka[5][7]
Para filosof muslim sebelum Mulla
Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului
esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau
realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-sifatnya
bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini,
keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut
Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya
dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi tidak lain
adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya[6][8]
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi
lebih fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam
pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi
yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha
cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam
adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti
pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan
mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi,
namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi
Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi
benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun,
eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh
rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi atau gagasan umum.
Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi
Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi
adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran.
Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai
cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang
abstrak pasti mengandung kesalahan[7][9]
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan
bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan
secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran
analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang
sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif
secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya
kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga
kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa
sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah
kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah
pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang bersifat intuitif sama
sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk
penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan
penalaran formal[8][10]
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan
intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang
mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap
pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen
rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab
apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin
tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk
semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia
secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika
pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat
pada kalbu[9][11]
Ø
Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta
ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti
eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat
al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni
eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari
ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak
terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak
sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya.
Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah
al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa
besar antara teologi, filsafat dan mistik[10][12]
Dalam perspektif al-Hikmah
al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam
ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan
filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial
berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam
adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan
konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah
al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla
Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud.
Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu
unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan
bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.
Ø
Gerak Subtansial (al-harakah
al-jauhariyah)
Teori Gerak Subtansial (al-harakah
al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadra terhadap filsafat
Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa
gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi
tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan
bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus
diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah
terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam.
Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan
substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan
gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti
dan berjalan terus menerus[11][13]
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan
substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof
sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat
kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat),
posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi
tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau
substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita
mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain[12][14]
Mulla Shadra berpendapat bahwa
disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada
substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material
dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau
tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu
mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi
substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi
juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama
yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi
sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat
huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu
sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab
mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud
dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.
Ø Filsafat Jiwa
Mulla shadra sebagaimana Aristoteles
mendefinisikan jiwa sebagai Entelenchy badan. Oleh sebab itu tidak bersifat
abadi dalam arti bermula, jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi
. untuk menyatakan bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan
menyakini adanya praeksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan Mulla shadra
menolak pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep Realisional
dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak lahir
berada dalam satu materi, kejiwaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu
relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas, maka tidak mungkin
untuk meyatukan jiwa dengan badan.
Sedangkan
menurut Shadra , jiwa itu bersandar pada
prinsip dasar yang disebut perubahan subtantif (istihala jauhariyyah). Pada
umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual
selamanya (jismaniyat Al- hudus ruhaniyat al-baqa’) artinya manakala jiwa
muncul atas landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara
absolut. Dengan prinsip perubahan subtansif ini, dituntut adanya tingkatan yang
lebih tinggi dari landasan dimana jiwa berada. Oleh sebab itu dalam bentuk
kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti tumbuh-tumbuhan yang bergantung
pada materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrumen dan merupakan langkah
pertama untuk perpindahan dari alam materi menuju alam spiritual. Sadra
menegaskan bahwa badan sebagaimana ia akan “dibangkitkan “secara identik adalah
sama dengan badan, pada titik ini sadra menduduki posisi yang sama dengan Al-Ghazali
dan mencela pandangannya tentang kebangkitan badan sebagai varian dari
perpindahan jiwa.
Ø
Filsafat pengetahuan atau Epistimologi
Mulla
Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan :
jalan wahyu, jalan inteleksi (ta’aaqul), dan jalan musyahdah dan mukasyafah
(jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata hati) dengan menggunakan istilah
lain. Mulla sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-Quran, jalan
Al-Burhan, dan jalan Al-irfan. Istilah husuli (konseptual)tersebut merupakan
kunci penting memahami teori pengetahuan mulla sadra . dalam teori
pengetahuannya, Mulla sadra membagi pengetahuan menjadi dua jenis : pengetahuan
husuli atau konseptual dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini
menyatu dalam diri seseorang yang telah mencapai pengetahuan berperingkat
tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra berkaitan erat dengan idenya tentang
wahdah (unity), asalah (principality), tasykik (gradation) dan ide perubahan
substantif. Menurut sadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang membentuk
hierarki dari debu hingga singgasana illahi. Tuhan sendiri adalah wujud mutlak
yang menjadi titik wujud permulaan itu, dengan demikian Tuhan adlah transenden
vis-a-vis rantai wujud.
Bagi
sadra filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama: (1) bersifat teoritis,
yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya.(2)
bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan yang cocok bagi jiwa.
Mulla sadra memandang adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai satu
bangunan kebenaran ia membuktikannya melalui pelacakan atas jejak-jejak
kesejarahan manusia dan membentangkan seluruh faktanya. Menurut sadra ditiap
tempat dalam kurun waktu tertentu selalu ada sosok yang bertanggung jawab dalam
menyebarkan kebijakan (hikmah). Jika dikaitkan dengan teori pengetahuannya
tampak bahwa titik pusat flsafat mulla sadra ialah pengalaman makrifat
(al-irfan) tentang wujud sebagai hakikat atau kenyataan tertinggi. Bagi mulla
sadra bukan keberadaan benda itu yang penting, melainkan penglihatan bathin
subjek yang mengamati alam keberadaan atau kewujudan.
Ø
Filsafat ketuhanan (metafisika)
Gagasan mulla sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan
ketuhanan yang dimiliki oleh Al-Farabi dan ibnu Sina. Mulla sadra berpendapat
bahwa ketidak butuhan dan kesempurnaan esensi tuhan tak cukup dengan menegaskan
kekadiman dan kemanunggalan esensi tuhan dan wujud. Dalam pandangannya teori
bahwa tuhan yang merupakan wujud murni dan basit, bukan dalil atas
keniscayaan dan ketidakbutuhan mutlak tuhan. Teori ini tak lain menegaskan
bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud hakiki, bukan maujud majasi.
Dalam sistem metafisika hikmah Muta’aliyyah
dengan berpijak pada teori kehakikian wujud, wujud Tuhan ditegaskan
sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas, sedangkan makhluk merupakan
suatu wujud yang berintensitas rendah , membutuhkan dan mustahil menjadi sebab
kehadiran bagi dirinya sendiri, karen itu dia harus bergantung pada wujud
mutlak. Mulla sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan
dan zatNya menyatu secara hakiki dengan sifatNya. Perbedaan tuhan dengan
makhluk tak dipahami sebagai dua
realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah. Tapi perbedaan keduanya
terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan Makhluk, kekuatanNya dan
kelemahannya. Oleh sebab itu perbedaan antara keduanya bukan perbedaan yang
saling berhadapan, tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi “ dan “ meliputi”.
Dengan ungkapan lain segala wujud selainNya merupakan suatu rangkaian gradasi
dan manifestasi cahaya Zat dan SifatNya bukan sebagai realitas-realitasyang
mandiri dan berpisah secara hakiki dari WujudNya. Kesatuan wujud dan maujud
secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla
sadra, pemahaman Tauhid seperti itu merupakan tingkatan tertinggi dari tauhid
yang dimliki oleh para monoteis sejati.
D. PENGARUH FILSAFAT MULLA SHADRA
Pengaruh mulla shadra pada masanya sangat terbatas dan
mahzabnya hanya mempunyai sedikit pengikut. Ajaran sadra menyebar secara
gradual terutama berkat komentar-komentarnya terhadap karya ibnu sina dan
Ashuhawardi yang menarik perhatian para pengikut mazhab Peripatetikme (logika”
aristoteles) dan Illuminasionisme
. Tokoh penting pertama mazhab
mulla shadra yang sebenarnya, yang telah mencetak sejumlah murid yang
handal aktif adalah mullah’ali Nuri (wafat 1246) sementara itu Asytiyani memproklamasikan
diri sebagai pengikut terbesar dan
terbaik dikalangan para komentator shadra.
Mulla sadra bukan sekedara filusuf terkenal selama enam abad
terakhir. Bagi sebagian orang ia telah dianggap setara dengan ibnu sina dan
Al-Farabi bahkan melampaui keduanya. Meskipun ia menguasai semua mazhab
filsafat pada zamannya (peripatetik, iluminasionisme, teologi islam, dan irfan)
ia tak pernah secara total dipengaruhi dan meretas pada mazhab filsafatnya
sendiri, filsafat transenden (al-hikmah al muta’aliyah). Ia mengkritik semua
titik lemah yang disuguhkan oleh filusuf agung sebelumnya dan mencoba
menyajikan sejumlah pemecahan filsufis atas masalah-masalah tersebut.
Hal itu membuktikan
bahwa mulla sadra merupakan seorang filsuf muslim yang cukup produktif , kreatif,
dan orisinal dengan karyanya yang begitu banyak mencakup berbagai bidang
pemikiran islam yang ditulis, baik dengan bahasa arab maupun dengan bahasa
Persia. Dari semua karyanya Al-hikmah L-muta’aliyah fi asfar Al-Arba’ah
merupakan karyanya yang terbesar.
Pengaruh pemikirannya merambah keberbagai belahan dunia islam
lainnya, seperti Iran, Irak, India, dan Pakistan. Al- Maududi menerjemahkan
secara khusus kitab Al-Asfar Mulla sadra. Terakhir, pemikir islam yang konser
terhadap filsafat Mulla Shadra adalah Fazlur rahman dengan bukunya The
philosophy of mulla sadra
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah
al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi
semua elemen filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang
masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita
kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang
jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.
Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah
yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari
ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang
diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta
tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini
bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme
atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau
yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu
keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya
tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran
pemikiran Islam yang mendahuluinya.
Secara epistemologis, hikmah
muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual (
dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan
agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat
menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan
(mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling
tingginya hikmah.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla
Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muntahari, Murtdha. 2002. Filsafat
Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.
Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana
Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ha’iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu
Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin
Muhammad Bandung : Mizan.
Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir
Islam, Bandung: Risalah.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat
Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka
Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah
Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 05 Desember
2012)
Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy,
al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan
Muhammad Ridlwan, Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj
Yaya Sunarya, M.Pd.2012. pengantar
Filsafat Islam, Bandung:CV Arrvino Raya.
[1][1]
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla
Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42
[2][2]
Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah:
Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14
[3][3]
Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah:
Pengantar…, hlm. 14
[4][6]
Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri,
prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad
(Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51
[5][7]
Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah:
Pengantar…, hlm. 80
[6][8]
Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam,
(Bandung: Risalah, 1986), hlm. 22-25
[7][9]
Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj.
Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 3
[8][10]
Syaifan Nur, Filsafat…, hlm.
181-182
[9][11]
Ibid, hlm. 182
[10][12] A. Khodhori Sholeh, Wacana…
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusTshirt Dakwah Online
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Buktikan Cintamu dengan Menikah