BAB I
PEMBUKAAN
A.
LATAR BELAKANG
Terdapat banyak sekali filsuf dari zaman klasik hingga
modern yang masih terkenal sampai sekarang.
Para filsuf tersebut telah meninggalkan banyak karya dan pemikirannya
yang sebagian masih dipakai oleh kalangan cendekiawan era ini. namun, pada
kenyataannya masyarakat dunia lebih mengenal filsuf orientalis yang cenderung
ateis atau tidak percaya dengan Tuhan. Padahal umat Islam di Indonesia
merupakan populasi terbanyak di dunia. Sangat ironis bila mata pelajaran
sekolah lebih cenderung membahas filsuf atau ilmuwan dari barat. Seharusnya ada
langkah perubahan positif-konstruktif supaya pembahasan tentang filsuf Islam
juga lebih diperdalam lagi. Oleh karena itulah, kami disini membahas tentang seorang
filsuf yang tidak senang dipanggil seorang filsuf, beliau adalah Abu Ahmad
Al-Ghazali. Untuk pembahasan lebih lanjut dapat dibaca dan dipahami pada bab
selanjutnya.
B.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat
kami rumuskan antara lain :
a.
Bagaimana
Biografi Al-Ghazali?
b.
Apa
saja karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali?
c.
Bagaimana
pemikiran Al-Ghazali mengenai Filsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI AL-GHAZALI
Beliau
bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al
Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di
Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah
Al Munir.Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali.
Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir
Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid
Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama
kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali). Namun, menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid
Muhammad mempunyai usaha pertenunan (ghazzal) dan karena itu dia
melestarikan gelar keluarganya "Ghazzali" (penenun). Julukannya
adalah “Hujjatul Islam” (Bukti kebenaran agama Islam) dan Zayn Ad-Din
(Perhiasan agama).
Ayah
beliau adalah seorang pengrajin kain shuf/wol (yang
dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia
mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang
baik.Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis
Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya
ini.Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh
dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah
meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah
harta peninggalan yang sedikit tersebut.Kemudian dia meminta maaf tidak dapat
melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya.Dia
berkata, “Ketahuilah
oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta
kalian.Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta.Saya
menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut
ilmu.Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu
keduanya melaksanakan anjuran tersebut.Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan
dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami
menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya
karena Allah ta’ala.”(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/193-194).
Beliau
pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.Tidak memakan kecuali
hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.Beliau berkeliling
mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah
semampunya.Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan
berdoa memohon diberi anak yang faqih.Apabila hadir di majelis ceramah nasihat,
beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli
dalam ceramah nasihat. Kiranya
Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang
yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi
ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di
kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani
di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu
Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat.
Akan tetapi menurut kisah lain Ghazzali senantiasa mencatat perkuliahannya, tetapi dalam
suatu peristiwa catatan tersebut ikut terbawa bawa perampok bersama
barang-barangnya.namun, beliau memberikan diri untuk mendatangi kepala perampok
untuk meminta kepada mereka catatan kuliah beliau.Alhamdulillah catatanya
tersebut dikembalikan. Sekembalinya ia ke Thus, ia berusaha memepelajari
serta menghapal kembali semua yang telah dipelajarinya. Sebagai bentuk
antisipasi dengan kemungkinan adanya perampokan secara tak terduga.
Beliau
mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan
penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab
Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan
filsafat.Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah
orang yang menyelisihinya.
Menyusun
tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini. Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali
ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para
ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan
mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya
di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H
beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia
tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal.Mencapai
kedudukan yang sangat tinggi.
Kedudukan
dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia.Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya
senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali
kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa.Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H
beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya
Pada
tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian
menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di
menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh
Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al
Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in,
Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan
pakaian para ahli ibadah.Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu
Asakir berkata, “Abu
Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan
bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan
kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”(Dinukil
oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan
juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke
Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.Kemudian
kembali ke Thusi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 6/34).
Ketika
Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan
diminta tinggal di Naisabur.Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan
mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat.Setelah beberapa tahun, pulang
ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.Beliau
mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang
shufi.Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul
dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa
serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Akhir
kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul
dengan ahlinya.Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahih Bukhari dan Muslim).Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat.Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan
tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul
Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat
Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat,
lalu berkata, “Bawa
kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta
meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat.Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari).(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin
tanggal 14 Jumadil Akhir
tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/201).
B.
KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali
dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu
multidisplin.Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secra mendalam.Aktfitasnya
bergumul dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal
menjemputnya.Dalam ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas
keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama terhadapnya.
Abdurrahman
Badawi dalam bukunya Muallafah al-ghazali menyebutkan karya al-Ghazali mencapai
457 buku.Al-Washiti dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al-Syafi’iyah
menyebutkan 98 judul buku.Musthafa Ghalab menyebut angka 228 judul
buku.Al-Subki dalam al-Thabaqat al-Syafi’iyah meneyebutukan 58 judul buku.
Thasy Kubra Zadah dalam Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebutkan
angka 80 judul. Michel Allard, seorang orientalis Barat, menyebutkan jumlah 404
judul buku. Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam menyebut kurang
lebih 200 judul.Kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu.
Beberapa karyanya antara lain :
1. Bidang Fiqh dan
Ushul Fiqh
a. Al-Basith fi
al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Iman al-Haramain.
b. Al-wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith.
c. Al-Waiiz fi al-Furu’
d. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-syafi’i.
e. Al mustashfa fi ‘ilm al Ushul
f. Al-mankhul fi ‘ilm al Ushul
2. Bidang Tafsir
a. Jawahir al-Qur’an
b. Yaqut al-Ta’wil fi-Tafsir al-Tanzil
3. Bidang Aqidah
a. Al-Iqtishad fi
al-I’tiqad, terbit di mesir
b. Al-ajwibah al-Ghazaliyah fi al-masail al-Ukrawiyah
c. Iljamu al-awam’an ‘Ilm al-Kalam
d. Al-Risalah al-Qudsiyah fi-Qawaid al-Aqaid
e. Aqidah ahl al-Sunnah
f. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadlail al-Mustadzariyah
g. Faisal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
h. Al-Qistash al-Mustaqim
i. Kimiyah al-Sa’adah
j. Al-Maqshid al-tsna fi ma’ani Asma’ Allah al-Husna
k. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil
4. Bidang Filsafat dan
Logika
a. Misykah al-Anwar
b. Tahafut al-Falasifah
c. Risalah al-Thair
d. Mihak al-Nadzar fi al-Mantiq
e. Ma’ary al-Qudsi fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
f. Mi’yar al-Ilmi
g. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal
5. Bidang Tasawuf
a. Adab al-Shufiyah
b. Ihya ‘Ulumuddin
c. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
d. Al-Adab fi al-Din
e. Al Imla ‘an Asykal al-Ihya
f. Ayyuhal Walad
g. Al-Risalah al-Ladunniyah
h. Mizan al-Amal
i. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
j. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
k. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadrah Alami al-Gaibi
Masih banyak lagi karya al-Ghazali lainnya, baik yang sudah dicetak dan
diterbitkan, maupun yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan di sisi lain ada
ratusan karya yang dikategorikan hasil karya al-Ghazali, dan tentunya hal ini
masih diperdebatkan.
C.
PEMIKIRAN Al-GHAZALI
Kerangka berpikir memandangan
Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif. Pertama-tama, karena
berfilsafat itu menggunakan logika (akal) dengan kajian analalisisnya maka apa
yang dimaksud dengan akal dan agaimana posisi akal. Inilah titil tolak
Al-Ghazali dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan
penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan matahari yang menebarkan
sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang yang bodoh,
yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran. Mereka
bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak
ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian,
menurut Al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang
dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan
membawa suatuu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
Pada dasarnya, Al-Ghazali tidak
menyerang semua cabang filsafat, hanya filsafat ketuhanan (Metafisika). Al-Ghazali
menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, karena mereka
berlebihan menggunakan akal, dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal,
di samping menafikan sesuatu yang tidak
ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Bahkan dalma kitab Al-Munqidz min
Adh-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat para filsuf dalam
hal gerhana bulan dan gerhana matahari dengan mengatasnamakan agama dan
mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang
filsafat lam, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, tidak
ada jalan untuk mengingkarinya. Ilmu filsafat menurut Al-Ghazaliterbagi menjadi
enam bagian, yakni : ilmu matematika, logika, filsafat, politik, etika dan
metafisika (ketuhanan).
Menurut Al-Ghazali, ada dua puluh
masalah ihwal ketuhanan yang menjadi titik kesalahan para filsuf, sehingga ia
memberikan komentar terhadap dua puluh masalh itu :
1.
Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
2.
Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.
Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah pencipta alam semesta dan
alam ini ciptaan-Nya
4.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya
Tuhan dua
6.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak punya sifat
7.
Membatalkn pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan
al—fashl
8.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basit (simple)
dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat)
9.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti
tidak bermula dan tidak berakhir)
11.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya
12.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa membuktikan Allah hanya
mengetahui zat-Nya
13.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak
dengan kemauan-Nya
15.
Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari
planet-planet
16.
Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang
juz’iyyat
17.
Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya
sesuatu diluar hukum alam
18.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi)
yang beridir sendiri, tidak memilik tubuh
19.
Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan mustahilanya fana (lenyap) jiwa
manusia
20.
Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga, yang menerima
kepedihan dalam neraka hanya roh
Filsafat
al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah.Pertama;
masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak
ada di masa lampau.Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan.Selain Tuhan
haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan
paham:
1. Banyaknya yang
qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni
Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang
qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang,
antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan
qadim.Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada”
(creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”.
Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada).
Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain.Oleh karena itu,
materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi.[5]
Pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui
al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang
memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan
diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan
seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang
ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai
baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali
berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof.
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan
bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul
dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa
kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman
(kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman
Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711).
Ketiga,
tentang kebangkitan jasmani.Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya
adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran.Yang benar, kata
Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu.Ada tulisan mereka
yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya.
(Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Di
pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut
al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam
buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani.
Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah
kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca
Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan
pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga
pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut
al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat
mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan
pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan
bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di
kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali
di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan
sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di
lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan
Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai
negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad
(kesatuan wujud).
BAB III
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang tokoh
filsuf Islam, yakni Al-Ghazali. Mohon maaf bila terdapat kekurangan di dalamnya.
Namun pasti terdapat kekurangan di dalamnya yang jauh dari sempurna. Sebab
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu kami sangat berharap
saran dan kritik dari pembaca terkait dengan makalah yang kami buat ini. semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami semua selaku pembuat
makalah ini. Aamiin...
DAFTAR PUSTAKA
Asrorun Ni’am Sholeh. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Elsas, 2004 h. 42-45.
Supriyadi Dedi. Filsafat Islam. Pustaka
Ceria. Bandung : 2009.
Sunarya Yaya. Pengantar Filsafat Islam.
Arfino Raya. Jakarta : 2012
Supriyadi Dedi. Pengantar Filsafat
Islam. Pustaka Setia. Bandung : 2009.
SIP, SEMOGA SELALU SUKSES, IZIN KUTIP MAKALAHNYA
BalasHapusTerima kasih banyak semoga sukses selalu, izin kutip makalahnya.
BalasHapus