Senin, 04 November 2013

MAKALAH FILSAFAT ISLAM: AL-GHAZALI


BAB I
PEMBUKAAN

A.                  LATAR BELAKANG
Terdapat banyak sekali filsuf dari zaman klasik hingga modern yang masih terkenal sampai sekarang.  Para filsuf tersebut telah meninggalkan banyak karya dan pemikirannya yang sebagian masih dipakai oleh kalangan cendekiawan era ini. namun, pada kenyataannya masyarakat dunia lebih mengenal filsuf orientalis yang cenderung ateis atau tidak percaya dengan Tuhan. Padahal umat Islam di Indonesia merupakan populasi terbanyak di dunia. Sangat ironis bila mata pelajaran sekolah lebih cenderung membahas filsuf atau ilmuwan dari barat. Seharusnya ada langkah perubahan positif-konstruktif supaya pembahasan tentang filsuf Islam juga lebih diperdalam lagi. Oleh karena itulah, kami disini membahas tentang seorang filsuf yang tidak senang dipanggil seorang filsuf, beliau adalah Abu Ahmad Al-Ghazali. Untuk pembahasan lebih lanjut dapat dibaca dan dipahami pada bab selanjutnya.

B.                  PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat kami rumuskan antara lain :
a.      Bagaimana Biografi Al-Ghazali?
b.      Apa saja karya yang telah dihasilkan oleh Al-Ghazali?
c.       Bagaimana pemikiran Al-Ghazali mengenai Filsafat?


BAB II
PEMBAHASAN

A.                  BIOGRAFI AL-GHAZALI

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir.Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali). Namun, menurut Maulana Syibli Nu'mani, leluhur Abu Hamid Muhammad mempunyai usaha pertenunan (ghazzal) dan karena itu dia melestarikan gelar keluarganya "Ghazzali" (penenun). Julukannya adalah “Hujjatul Islam” (Bukti kebenaran agama Islam) dan Zayn Ad-Din (Perhiasan agama).

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf/wol (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik.Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini.Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut.Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya.Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian.Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta.Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu.Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut.Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.”(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya.Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih.Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat. Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Akan tetapi menurut kisah lain Ghazzali senantiasa mencatat perkuliahannya, tetapi dalam suatu peristiwa catatan tersebut ikut terbawa bawa perampok bersama barang-barangnya.namun, beliau memberikan diri untuk mendatangi kepala perampok untuk meminta kepada mereka catatan kuliah beliau.Alhamdulillah catatanya tersebut dikembalikan. Sekembalinya ia ke Thus, ia berusaha memepelajari serta menghapal kembali semua yang telah dipelajarinya. Sebagai bentuk antisipasi dengan kemungkinan adanya perampokan secara tak terduga.

Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.

Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini. Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal.Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia.Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa.Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya

Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah.Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.Kemudian kembali ke Thusi.”(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur.Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat.Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah.Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi.Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya.Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat.Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat.Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).

B.      KARYA-KARYA AL-GHAZALI

Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisplin.Hampir semua aspek keagamaan dikajinya secra mendalam.Aktfitasnya bergumul dengan ilmu pengetahuan berlangsung tidak pernah surut hingga ajal menjemputnya.Dalam ranah keilmuan Islam, sebuah bukti pengakuan atas kapasitas keilmuan dan tingkat penerimaan para ulama terhadapnya.

Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah al-ghazali menyebutkan karya al-Ghazali mencapai 457 buku.Al-Washiti dalam al-Thabaqat al-‘Aliyah fi Manaqib al-Syafi’iyah menyebutkan 98 judul buku.Musthafa Ghalab menyebut angka 228 judul buku.Al-Subki dalam al-Thabaqat al-Syafi’iyah meneyebutukan 58 judul buku. Thasy Kubra Zadah dalam Miftah al-Sa’adah wa Misbah al-Siyadah menyebutkan angka 80 judul. Michel Allard, seorang orientalis Barat, menyebutkan jumlah 404 judul buku. Sedangkan Fakhruddin al-Zirikli dalam al-A’lam menyebut kurang lebih 200 judul.Kitab tersebut terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa karyanya antara lain :


1. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh

a. Al-Basith fi al-Furu’ ‘ala Nihayah al-Mathlab li Iman al-Haramain.
b. Al-wasith al-Muhith bi Iqthar al-Basith.
c. Al-Waiiz fi al-Furu’
d. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-syafi’i.
e. Al mustashfa fi ‘ilm al Ushul
f. Al-mankhul fi ‘ilm al Ushul

2. Bidang Tafsir

a. Jawahir al-Qur’an
b. Yaqut al-Ta’wil fi-Tafsir al-Tanzil

3. Bidang Aqidah

a. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, terbit di mesir
b. Al-ajwibah al-Ghazaliyah fi al-masail al-Ukrawiyah
c. Iljamu al-awam’an ‘Ilm al-Kalam
d. Al-Risalah al-Qudsiyah fi-Qawaid al-Aqaid
e. Aqidah ahl al-Sunnah
f. Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadlail al-Mustadzariyah
g. Faisal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah
h. Al-Qistash al-Mustaqim
i. Kimiyah al-Sa’adah
j. Al-Maqshid al-tsna fi ma’ani Asma’ Allah al-Husna
k. Al-Qaul al-Jamil fi al-Radd ‘ala man Ghayyara al-Injil

4. Bidang Filsafat dan Logika

a. Misykah al-Anwar
b. Tahafut al-Falasifah
c. Risalah al-Thair
d. Mihak al-Nadzar fi al-Mantiq
e. Ma’ary al-Qudsi fi Madarij Ma’rifah al-Nafs
f. Mi’yar al-Ilmi
g. Al-Muthal fi Ilm al-Jidal


5. Bidang Tasawuf
a. Adab al-Shufiyah
b. Ihya ‘Ulumuddin
c. Bidayah al-Hidayah wa Tahdzib al-Nufus bi al-Adab al-Sariyyah
d. Al-Adab fi al-Din
e. Al Imla ‘an Asykal al-Ihya
f. Ayyuhal Walad
g. Al-Risalah al-Ladunniyah
h. Mizan al-Amal
i. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghurur al-Khalq Ajma’in
j. Minhaj al-Abidin ila al-Jannah
k. Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrab ila Hadrah Alami al-Gaibi


Masih banyak lagi karya al-Ghazali lainnya, baik yang sudah dicetak dan diterbitkan, maupun yang masih berbentuk manuskrip. Sedangkan di sisi lain ada ratusan karya yang dikategorikan hasil karya al-Ghazali, dan tentunya hal ini masih diperdebatkan.

C.      PEMIKIRAN Al-GHAZALI
            Kerangka berpikir memandangan Al-Ghazali perlu ditelusuri secara komprehensif. Pertama-tama, karena berfilsafat itu menggunakan logika (akal) dengan kajian analalisisnya maka apa yang dimaksud dengan akal dan agaimana posisi akal. Inilah titil tolak Al-Ghazali dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu lainnya.
            Menurut Al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainya saling membutuhkan, kecuali orang-orang yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran. Mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya antara orang seperti ini dengan orang buta.” Dengan demikian, menurut Al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan  membawa suatuu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
            Pada dasarnya, Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, hanya filsafat ketuhanan (Metafisika). Al-Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, karena mereka berlebihan menggunakan akal, dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal, di samping menafikan sesuatu  yang tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Bahkan dalma kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat para filsuf dalam hal gerhana bulan dan gerhana matahari dengan mengatasnamakan agama dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang filsafat lam, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Ilmu filsafat menurut Al-Ghazaliterbagi menjadi enam bagian, yakni : ilmu matematika, logika, filsafat, politik, etika dan metafisika (ketuhanan).
            Menurut Al-Ghazali, ada dua puluh masalah ihwal ketuhanan yang menjadi titik kesalahan para filsuf, sehingga ia memberikan komentar terhadap dua puluh masalh itu :
1.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.      Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah-lah pencipta alam semesta dan alam ini ciptaan-Nya
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya Tuhan dua
6.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak punya sifat
7.      Membatalkn pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al—fashl
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basit (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat)
9.      Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim
10.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang ad-dahr (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir)
11.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selainnya
12.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa membuktikan Allah hanya mengetahui zat-Nya
13.  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat
17.  Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu diluar hukum alam
18.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang beridir sendiri, tidak memilik tubuh
19.  Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan mustahilanya fana (lenyap) jiwa manusia
20.  Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga, yang menerima kepedihan dalam neraka hanya roh
Filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah.Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau.Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan.Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar  yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim.Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain.Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi.[5]
Pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof.
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711).
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani.Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran.Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu.Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud).

BAB III
PENUTUP

            Demikianlah pembahasan tentang tokoh filsuf Islam, yakni Al-Ghazali. Mohon maaf bila terdapat kekurangan di dalamnya. Namun pasti terdapat kekurangan di dalamnya yang jauh dari sempurna. Sebab kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu kami sangat berharap saran dan kritik dari pembaca terkait dengan makalah yang kami buat ini. semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi kami semua selaku pembuat makalah ini. Aamiin...

DAFTAR PUSTAKA
Asrorun Ni’am Sholeh. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Elsas, 2004 h. 42-45.
Supriyadi Dedi. Filsafat Islam. Pustaka Ceria. Bandung : 2009.
Sunarya Yaya. Pengantar Filsafat Islam. Arfino Raya. Jakarta : 2012

Supriyadi Dedi. Pengantar Filsafat Islam. Pustaka Setia. Bandung : 2009. 

2 komentar:

  1. SIP, SEMOGA SELALU SUKSES, IZIN KUTIP MAKALAHNYA

    BalasHapus
  2. Terima kasih banyak semoga sukses selalu, izin kutip makalahnya.

    BalasHapus