BAB I
PENGERTIAN DAN TUJUAN FILSAFAT DAKWAH
A. Pengertian
Filsafat Dakwah
Kata falsafah atau filsafat
dalam bahasa Indonesia
merupakan kata serapan dari bahasa Arab “فلسفة”, yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Dalam bahasa
ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia
= persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga
arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang
dipungut dari bahasa Belanda
juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya.
Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.[1]
Menurut istilah, filsafat adalah ilmu
istimewa yang menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud diluar atau di atas
jangkauan ilmu pengetahuan biasa.[2] Dalam arti praktis filsafat
mengandung arti alam berfikir/alam pikiran, sedangkan berfilsafah ialah
berfikir secara mendalam atau radikal atau dengan sungguh–sungguh sampai
keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran atau dengan kata lain berfilsafat
mengandung arti mencari kebenaran atas sesuatu.[3]
Kata dakwah adalah derivasi dari bahasa
Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau
mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku) adalah da’I yang berarti pendakwah. Di
dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai
orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya .
Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz
(2009:6), kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang,
minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong,
menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran
kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali.[4]
Definisi dakwah dari literature yang
ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah[5]:
- Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
- Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
- Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath al-Bayanuni).
- Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A. Masykur Amin)
Dari defenisi para ahli di atas maka bisa
kita simpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil orang muslim
mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang
benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan
nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhirat. Singkatnya,
dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan, adalah mengajak kepada agama
Allah, yaitu Islam.
Setelah kita ketahui makna dakwah secara
etimologis dan terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut
membawa misi persuasive bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan
seruan bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha
fiddin) bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan
pedang atau pun terror tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
Adapun pengertian filsafat dakwah
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam tentang
dakwah (tujuan dakwah, mengapa diperlukan proses komunikasi dan transformasi
ajaran dan nilai-nilai islam dan untuk mengubah keyakinan, sikap dan perilaku
seseorang khas islam) dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para da’i
dan mubalig, sehingga orang yang didakwahi dapat menjadi manusia-manusia yang
baik dalam arti beriman, berakhlak mulia seperti yang diajarkan oleh islam.[6]
Menurut Drs. Syukriadi Sambas, M.
Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 5 menyebutkan bahwa filsafat
dakwah memiliki pengertian sebagai berikut:
- Pengertian filsafat dakwah dapat diturunkan dari al-Qur’an, yaitu “Hikmah” (an-Nahl: 125). Adapun pengertian hikmah menurut pakar kebahasaan adalah:
- Pengertian hikmah menurut para pakar filsafat al-Qur’an
- Adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an, dan injil.
- Ungkapan sesuatu untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yag utama, dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan cermat dan teliti disebut hakim.
- Alhakim, yaitu orang yang cermat dalam segala urusan, atau orang yang bijak, yakni orang yang telah tertimpa berbagai pengalaman.
- Alhakam atau alhakim, yaitu penguasa dan hakim yang menghukumi dan memperbaiki sesuatu.
- Alhikmah, yaitu objek kebenaran (alhaq) yang didapat melalui ilmu dan akal.
- Mencegah perbuatan bodoh, membuat sesuatu menjadi baik dan mencegah sesuatu jangan sampai meleset dari yang dikehendaki.
- Mencegah orang dari perbuatan tercela.
- Mencegah kezholiman.
Para pakar filsafat al-Qur’an sebagai
para pakar filsafat dakwah telah merumuskan pengertian hikmah ini tidak kurang
dari 25 pengertian, antara lain:
- Validitas dalam perkatan dan perbuatan.
- Mengetahui yang benar dan mengamalkannya
- Meletakkan sesuatu pada tempatnya
- Menjawab segala sesuatu dengan tepat dan cepat
- Memperbaiki perkataan dan perbuatan
- Tepat dalam perkataan dan perbuatan serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.
- Takut kepada Allah SWT, mengamalkan ilmu, dan wara dalam agama
- Kenabian mengandung hikmah, karena nabi diberi hikmah, selalu dalam perkataan, keyakinan, dan bahkan dalam semua persoalan.
- Perkataan tegas dan benar yang dapat membedakan yang hak dan batil.
Dari pengertian hikmah menurut pakar
kebahasaan dan pakar al-Qur’an tersebut, filsafat dakwah dapat dirumuskan
sebagai “ketepatan perkataan, perbuatan, dan keyakinan serta meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya dalam mendakwahi manusia menuju jalan Allah.”[7]
- Pengertian filsafat dakwah berdasarkan makna filsafat sebagai kegiatan berpikir sesuai dengan hukum berpikir, dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Pemikiran yang mendasar, sistematis, logis, dan menyeluruh tentang dakwah islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran islam di sepanjang jalan.
- Aktivitas pikiran yang teratur, selaras, dan terpadu dalam mencandra hakekat dakwah islam pada tataran konsep dan tataran realitas.
- Pengetahuan murni tentang proses internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi islam di sepanjang zaman.
- Analisis logis, radikal, objektif, dan proforsional dalam membahas term-term dakwah islam baik dari sisi teoritis maupun praktis.
B.
Tujuan Filsafat Dakwah
Tujuan filsafat dakwah menurut Drs.
Syukriadi Sambas, M. Si dalam bukunya filsafat dakwah halaman 8 adalah
sebagai berikut:
- Memberikan landasan dan sekaligus menggerakkan proses dakwah islam yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara objektif-proforsional.
- Melakukan kritik dan koreksi proses dakwah islam dan sekaligus mengevaluasinya.
- Menegakkan kebenaran dan keadilan di atas dasar taihudullah dan tauhid risalah.
- Mensyukuri nikmat akal dengan menerangkannya sesuai fungsi peruntukkannya.
- Upaya penyempurnaan jiwa manusia baik dari sudut teoritis maupun praktis.
Tujuan filsafat dakwah adalah dapat
meberikan pemahaman yang bersifat universal tentang suatu unit ajaran islam
secara mendalam, mendasar dan fradikal sampai keakar-akrnya, sehingga akhirnya
dapat membawa kepada kebenaran yang hakiki, kebenaran hakiki tersebut
terimplementasikan dalam sikap kesehariannya sebagai seorang islam. Lebih jauh
bertujuan memberikan kepuasan kepada sebahagian jiwa yang amat berharga juga mengantarkan
seorang sampai kepada keprcayaan keagamaan yang benar, yang kalausebelumnya
hanya diterima secara domatis dan absolute.maka pada akhirnya bukan hanya
mitologis semata, tetapi juga diterima malaui kerangka fikirin yang rasional
juaga akan memberi artinya penting dalam menyadari otoritas dirinya sebagai
makhluk yang berdimensi dalam memahami diri.[8]
–oo0()0oo–
BAB II
KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP DAKWAH
A. Hakikat Dakwah
Pengertian dakwah bagi kalangan awam
disalahartikan dengan pengertian yang sempit terbatas pada ceramah, khutbah
atau pengajian saja. Pengertian dakwah bisa kita lihat dari segi bahasa dan
istilah. Berikut akan dibahas pengertian dakwah secara etimologis dan
pengertian dakwah secara terminologis.
- Pengertian dakwah secara etimologis
Kata dakwah adalah derivasi dari bahasa
Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau
mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku) adalah da’I yang berarti pendakwah. Di
dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai
orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya.
Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6),
kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta
tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan,
mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah
ditemukan tidak kurang dari 198 kali dengan makna yang berbeda-beda setidaknya
ada 10 macam yaitu; mengajak dan menyeru; berdo’a; mendakwa (menuduh); mengadu;
memanggil; eminta; engundang; malaikat Israfil; gelar; dan anak angkat.[9]
Dari makna yang berbeda tersebut
sebenarnya semuanya tidak terlepas dari unsur aktifitas memanggil. Mengajak
adalah memanggil seseorang untuk mengikuti kita, berdoa adalah memanggil Tuhan
agar mendengarkan dan mengabulkan permohonan kita, mendakwa/menuduh adalah
memanggil orang dengan anggapan tidak baik, mengadu adalah memanggil untuk
menyampaikan keluh kesah, meminta hampir sama dengan berdoa hanya saja objeknya
lebih umum bukan hanya tuhan, mengundang adalah memanggil seseorang untuk
menghadiri acara, malaikat Israfil adalah yang memanggil manusia untuk
berkumpul di padang Masyhar dengan tiupan Sangkakala, gelar adalah panggilan
atau sebutan bagi seseorang, anak angkat adalah orang yang dipanggil sebagai
anak kita walaupun bukan dari keturunan kita. Kata memanggil pun dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia meliputi beberapa makna yang diberikan Al-Quran yaitu
mengajak, meminta, menyeru, mengundang, menyebut dan menamakan. Maka bila
digeneralkan makna dakwah adalah memanggil.
Sebagaimana telah disebutkan di Bab I,
definisi dakwah dari literature yang ditulis oleh pakar-pakar dakwah antara
lain adalah[10]:
- Dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik (Aboebakar Atjeh, 1971:6).
- Dakwah adalah menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemungkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat (Syekh Muhammad Al-Khadir Husain).
- Dakwah adalah menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata (M. Abul Fath al-Bayanuni).
- Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan kebahagiaan nanti (akhirat) (A. Masykur Amin)
Dari defenisi para ahli di atas maka bisa
kita simpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil orang muslim
mau pun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang
benar, melalui penyampaian ajaran Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan
nyata agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhirat. Singkatnya,
dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan adalah mengajak kepada agama
Allah, yaitu Islam.
Setelah kita ketahui makna dakwah secara
etimologis dan terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut
membawa misi persuasive bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan
seruan bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha
fiddin) bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan
pedang atau pun terror tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa dakwah menurut bahasa artinya mengajak, menyeru, dan
memanggil. Menurut istilah, dakwah adalah suatu proses mengajak manusia untuk
mengerjakan kebaikan dan menngikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan
melarang mereka dari berbuat jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia
dan akhirat, melalui metode dan media tertentu. Bebtuk-bentuk dakwah adalah
tabligh, irsyad, tadbir, dan tathwir. Adapun jenis-jenis dakwah adalah dakwah
nafsiyah, fardiyah, fi’ah qalilah, dan hizbiyah.
B.
Hakikat Manusia
1. Pengertian Manusia
Menurut bahasa, manusia itu sendiri
berasal dari kata “Nasia” yang artinya lupa. Maksudnya adalah bahwa manusia
hakikatnya lupa akan perjanjian dengan Allah sewaktu di alam ruh. Dalam arti
lain, hakikat manusia memang pelupa. Hadits Rasul menjelaskan bahwa manusia
adalah tempatnya salah dan lupa.
Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai
manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling
berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam[11]. Manusia disebut al-insaan
karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan.
Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada
juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak)
digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia
atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia
cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan.
Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang
bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya.
Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan
kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam
menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk
anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam
dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga
penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu
menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat
dalam surah al-Baqarah ayat 35.
“Dan Kami berfirman: “Hai Adam,
diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon
ini[37], yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.” (QS.
Al-Baqarah: 35)
Manusia dalam pandangan al-Qur’an
bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah
Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk
theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu
manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan
buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia
takwa.
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana
fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa.
Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan
dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya
diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada
hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia
sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan
spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati
rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam
hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual
yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah,
kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia
ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun demikian,
harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu
mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut
mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang
predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua
tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas
sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi
manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan
hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan
oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak
dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu
mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat
kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu
lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu
muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai
badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu
bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan
intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama bekerja secara
matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego
manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali
adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu
sendiri.
2. Tugas manusia
Tugas manusia di muka bumi berdasarkankan
tuntunan Al-Qur’an setidaknya ada dua, yaitu sebagai khalifah dan sebagai
ma’bud. Dari dua tugas tersebut, dalam perspektif filsafat dakwah, bisa ditarik
suatu benang, bahwa tugas manusia adalah sebagai subjek dakwah (da’i) dan objek
dakwah (mad’u). karena pada dasarnya da’i dan mad’u merupakan tugas manusia
sebagai wujud dari perilaku ma’bud pula, sebagaimana perintah Allah dalam
firman-Nya dan sabda Rasulullah saw yang pada intinya memerintahkan untuk
melaksanakan dakwah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
3. Subjek Dakwah (Da’i)
Da’i/muballigh adalah setiap orang yang
mengajak, memerintahkan orang di jalan Allah (fi-Sabiilillah), atau
mengajak orang untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
nabi Muhammad SAW. Berhasil tidaknya gerakan dakwah sangan ditentukan
oleh kompetensi seorang da’i, yang dimaksud dengan kompetensi da’i adalah
sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan prilaku serta keterampilan
yang harus dimiliki oleh para da’i, oleh karena itu para da’i harus
memilikinya, baik kompetensi substantif maupun kompetensi metodologis
3. Objek Dakwah (Mad’u)
Objek dakwah (mad’u) ialah orang yang
menjadi sasaran dakwah, yaitu semua manusia, sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainka kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. As-Saba’: 28)
C. Kebutuhan
Manusia Terhadap Dakwah
- Teori kebutuhan manusia
Secara fitrah manusia menginginkan
“kesatuan dirinya” dengan Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup
manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang
Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan mengaktualkan
potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai sarana untuk
mencapai “spirituality progress”[12].
Di masa modern sekarang agama adalah
kebutuhan pokok yang tidak bisa lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu
meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah pandangan hidup dan praktik
penuntun hidup dan kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai
tidaur sampai kembali tidur agama selalu akan memberikan bimbingan, demi menuju
hidup sejahtera dunia dan akhirat. Ponsel yang tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan sehari-hari masyarkat Indonesia bisa menjadi alat bantu untuk lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan melalui fitur-fitur spiritual.
Maraknya penggunaan fitur spiritual ini
sebenarnya tak hanya merebak di Indonesia. Menurut Craig Warren Smith, Senior
Advisor University of Washington’s Human Interface Technology Laboratory,
spiritual computing telah ada di negara-negara lain, seperti penggunaan fitur
spiritual untuk umat Budha. Menurut Craig, nantinya fitur spritual akan menjadi
faktor penting dalam keagamaan.
Berdasarkan penelitian beberapa ahli dari
Georgia Institute of Technology Atlanta dan Computer Science & Engineering,
University of Washington tentang Sacred Imagery in Techno-Spiritual Design, biasanya
orang memakai fitur spiritual semacam ini untuk mendukung aktivitas ibadah
mereka. Misalnya Gospel Spectrum, sebuah sistem visualisasi informasi yang
memungkinkan penggunanya mempelajari Bible secara visual. Belum lagi fitur
spritual untuk umat Budha dan sebagainya.
Salah satu contoh fitur spiritual yang
dekat dengan masyarakat Indonesia saat ini adalah Athan Time. Aplikasi ini
mengingatkan penggunanya untuk menjalankan solat lima waktu. Ini merupakan
salah satu fitur yang dibuat untuk mendukung praktik techno-spiritual secara
efektif. Selain itu, fitur ini juga berfungsi menghubungkan orang dengan
pengalaman religius mereka. Beberapa responden dari penelitian yang dilakukan
oleh Susan P. Wyche, Kelly E. Caine, Benjamin K, Davison, Shwetak N. Patel, Michael
Arteaga, dan Rebecca E. Grinter menyebutkan, penggunaan fitur spiritual Islami,
membuat mereka “melihat dan merasakan” spiritualitas yang ada.
Menjelang akhir hayatnya, Abraham Maslow
menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang lebih tinggi lagi pada sebagian
manusia tertentu, yaitu yang disebut sebagai kebutuhan transcendental. Berbeda
dengan kebutuhan lainnya yang bersifa horizontal (berkaitan hubungan antara
manusia dengan manusia), maka kebutuhan transcendental lebih bersifat vertikal
(berakaitan dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta). Muthahhari, Seorang
filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak karya filosofis berharga– pernah
menyatakan bahwa manusia itu sejati dan senyatanya adalah sosok makhluk
spiritual.[13]
Maka tak aneh kalau kemudian muncul
istilah Spritual Quantient (SQ) yang membahas ‘siapa saya’. Istilah SQ menjadi
populer melalui buku SQ: Spritual Quotient,The Ultimate Intelligence (London,
2000) karya Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University
dan Oxford University. SQ diklaim memiliki dasar dan bukti ilmiah. Pakar
neurosains pada tahun 1990-an menemukan adanya “Titik Tuhan” atau God Spot di
dalam otak. Titik Tuhan ini adalah sekumpulan jaringan saraf yang terletak di
daerah lobus temporal otak, bagian yang terletak di balik pelipis. Dari
eksperimen yang menggunakan sensor magnetis ditemukan adanya korelasi antara
aktivitas berpikir tentang hal sakral seperti kedamaian, cinta, kesatuan, Tuhan
dengan aktivitas magnet pada lobus temporal otak. Yang sangat sesuai dengan
pembahasan dalammakalah ini adalah berkenaan dengan kebutuhan manusia terhadap
spiritual
Berdasarkan kajian terhadap hakikat
manusia, dapat dipahami secara filosofis alasan manusia harus didakwahi.
Manusia adalah makhluk yang mudah lupa (tempatnya salah dan lupa). Oleh karena
itu, dakwah merupakan hal yang begitu penting bagi manusia, khususnya bagi
mad’u sebagai media untuk mengingatkan dan meninjau atas hal-hal yang sering
dilupakan manusia (ajaran agama). Tidak hanya untuk mad’u, tetapi penting pula
bagi da’i sebagai bahan introsfeksi diri, mengingatkan kembali terhadap hal-hal
yang ia lupakan.
- Ditinjau dari teori kebutuhan manusia
Dilihat dari teori kebutuhan manusia
(kebutuhan spiritual), dapat dipahami pula bahwa manusia membutuhkan akan
ketenangan jiwa. Salah satu caranya adalah melalui jalan ibadah. Manusia tidak
akan mampu beribadah apabila tidak ada dakwah. Oleh karena itu, dakwah begitu
penting bagi manusia.
Ada dua aspek makna pentingnya dakwah
bagi manusia, yaitu:
a. Memelihara dan mengembalikan
martabat manusia
Dakwah adalah upaya para da’i agar
manusia tetap menjadi makhluk yang baik, bersedia mengimani dan mengamalkan
ajaran dan nilai-nilai Islam, sehingga hidupnya menjadi baik, hak-hak asasinya
terlindungi, harmonis, sejahtera, bahagia di dunia dan di akhirat terbebas dari
siksaan dari api neraka dan memperoleh kenikmatan surga yang dijanjikan.
Ketinggian martabat manusia itulah yang dikehendaki Allah SWT. Sehingga manusia
dapat menjalakan fungsinya sesuai dengan tujuan penciftaan-Nya, yaitu sebagau
khalifah-Nya. Bukannya makhluk yang selalu menimbulkan kerusakan dan
pertumpahan darah seperti yang dikhawatirkan oleh para malaikat.
Oleh sebab itu dakwah harus bertumpu pada
tauhid, menjadikan Allah sebagai titik tolak dan sekaligus tujuan hidup
manusia. Diatas keyakinan tauhid itulah manusia harus melakukan kewajiban
menghambakan diri (mengabdi) kepada Allah yang wujudnya secara vertikal
menyembah kepada Allah SWT., dan horizontal menjalankan sebuah risalah atau
misi yaitu menata kehidupan sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini
karena dakwah adalah mengajak orang untuk hidup mengikuti ajaran Islam yang
bertumpu pada tauhid. Diatas fondasi tauhid itulah Islam dibangun untuk
dipedomani pemeluknya supaya hidupnya selalu baik dan tidak seperti binatang
ternak atau makhluk yang lebih rendah dari binatang.
b. Membina akhlak dan memupuk
semangat kemanusiaan
Dakwah juga penting dan sangat diperlukan
oleh manusia karena tanpanya manusia akan sesat. Hidupnya menjadi tidak teratur
dan kualitas kemanusiannya merosot. Akibatnya manusia akan kehilangan akhlak
seperti nuraninya tertutup, egois, rakus, liar, akan saling menindas, saling “memakan”
atau saling “memeras”, melakukan kerusakan diatas dunia, sehingga konstatasi
malaikat bahwa manusia sebagai makhluk perusak di bumu dan penumpah darah akan
menjadi kenyataan.
Tanpa adanya dakwah manusia akan
kehilangan cinta kasih, rasa keadilan, hati nurani, kepedulian sosial dan
lingkungan, karena manusia akan menjadi semakin egois, konsumeristis, dan
hedonis. Manusia hanya akan mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memikirkan
lingkungannya dan tidak peduli terhadap kesulitan dan penderitaan masyarakat
lain. Manusia juga akan memanfaatkan apa saja untuk memuaskan hawa nafsunya.
Drs. Syukriadi Sambas, M.Si dalam bukunya
memperinci kebutuhan manusia terhadap dakwah yaitu sebagai berikut[14]:
- Manusia telah bersyahadan ketika di alam roh bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Syahadah ini disebut dengan perjanjian ketuhanan (‘ahd Allah) dan fitrah Allah. Namun manusia menjadi lupaakan perjanjian itu setelah ruh bersatu dengan jasaddalam proses kjadian manusia lahir di alam dunia. Dakwah islamini diperlukan untuk mengaktualkan syahadah ilahiyah dalam kehidupan nyata
- Imam Syafi’i berkata:
“Cahaya di dalamhati pluktuatif,
kadang bertambah dan kadang berkurang”. Karena itu, dakwah diperlukan untuk
mengantisifasi keadaan hati yang berkurang dan memposisikannya dalam keadaan
bertambah.
- Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah, sebab sebelum datangnya dakwah yang dibawa Rasulullah manusia tidak akan mendapat azab. (pendapat ‘Asy’ariyah Bukhoro)
- Karakter agama Islam itu sendiri yang mengidentifikasikan dirinya sebagai penyebar kasih saying Tuhan bagi seluruh alam, dan wilayah kerasulan Rasul terakhir berlaku untuk seluruh jagat raya. Dalam halini, Alla berfirman:
“Dan Tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Katakanlah:
“Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan
yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)”. (QS. Al-Anbiya:
107-108)
Selanjutnya, dakwah itu harus dilakukan
karena alasan sebagai berikut:
- Potensi baik dan buruk yang Allah berikan[15]
Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT
berfirman:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS. As-Syams: 8)
Dalam ayat di atas dapat difahami bahwa
manusia itu mempunyai potensi untuk berbuar baik dan buruk. Maka setiap orang
memerlukan nasihat dan pendidikan yang maksimal berupa dakwah untuk
mengoptimalkan kebaikan yang ada. Sehingga setiap manusia akan condong kepada
kebaikannya, dan keburukan akan terminimalisasi.
- Lingkungan keluarga sebagai pendidikan pertama[16]
Rasulullah saw pun bersabda, “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci, dan orang tuanyalah yang mengarahkannya menjadi
Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits
ini, lingkungan keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak-anak dalam
membentuk akhlak, moral, dan kepribadiannya. Pendidikan dalam hal ini bisa
disebut dakwah.
D. Akibat
Ketika Manusia tidak Didakwahi dan Tidak Melaksanakan Dakwah
Melihat dan mengingat pentingnya dakwah
bagi manusia berdasarkan hakikat manusia, hakikat dakwah dan teori kebutuhan
manusia, maka akibat yang akan diperoleh manusia apabila manusia tidak
didakwahi atau dakwah tidak dilaksanakan adalah sebagai berikut:
- Karena manusia pada hakikatnya pelupa, maka manusia akan tetap dalam kebodohan terhadap akhlak dan moralitas sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyyah.
- Manusia tidak akan dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya, yang memang sangat penting kebutuhan itu terpenuhi.
- Cahaya hati pada manusia selalu dalam keadaan berkurang
- Akal tidak akan dipandu oleh pengetahuan-pengetahuan agama (syari’at Islam), sehingga perilakunya cenderung mengikuti akal dan hawa nafsu.
- Eksistensi Tuhan tidak akan dikenal oleh manusia,karena melalui dakwah para utusan-Nya lah eksistensi Tuhan ada.
- Potensi baik pada manusia yang Allah anugrahkan tidak akan termaksimalkan, malahan potensi keburukan lah yang akan lebih menguasai, disebabkan oleh akal dan nafsu yang membimbingnya.
–oo0()0oo–
BAB III
PRINSIP DASAR DAN METODE BERPIKIR DALAM
FILSAFAT ISAM
A. Prinsip dasar metode
berpikir yang diturunkan dari al-Quran
Prinsip dasar metode berpikir yang
diturunkan dari al-Qur’an adalah sebagai berikut[17]:
- Berpegang teguh pada etika ulu al-bab yang terdiri dari enam belas prinsip, yaitu:
- Bertakwa dan menegakan hak asasi manusia (Q.S. 2:179).
- Mengambil pelajaran dari hikmah ibadah haji dan memperjuangkan bekal takwa dalam kehidupan (Q.S. 2;197).
- Memahami ayat-ayat al-Quran baik yang mukhamat maupun yang mutasyabihat (Q.S. 3:7).
- Menjadikan ruang angkasa, geografi, meteorology, dan geofisika sebagai objek piker (Q.S. 3:190).
- Bias membedakan antara kebenaran dan kebukurukan, tidak tergoda oleh keburukan, dan selalu bertaqwa dalam mencari keberuntungan (Q.S. 5:100).
- Mengimani dan mengambil pelajaran dari kisah para nabi dan rasul Allah (Q.S. 12:111).
- Memahami dan memperjuangkan kebenaran mutlak yang datang dari Allah (Q.S. 13:19).
- Meyakini keesaan Allah swt. Dan memberi peringatan kepada umat manusia dengan dasar al-Quran (Q.S. 14:52).
- Mengambil kebaikan dan berkah yang banyak dengan mendalami kandungan al-Quran (Q.S. 38:29).
- Mengambil pelajaran dari kisah nabi Zakaria as. Dan nabi Yusup as. Dengan menggunakan pendekatan sejarah (Q.S. 38:43).
- Mensyukuri ilmu dengan sujud atau shalat pada waktu malam dalam upaya mendapatkan rahmat Allah serta merasa takut terhadap adzabNya (Q.S. 39:9).
- Menyeleksi informasi terbaik dengan tolak ukur hidayah dan norma Allah (Q.S. 39:18).
- Menjadikan flora dan fauna (zoology dan botani) sebagai objek kajian (Q.S. 39:21).
- Mengambil pelajaran dari kitab taurat yang dibawa oleh nabi Musa as. Yang diwariskan kepada orang Israel atau yahudi (Q.S. 40:54).
- Beriman dan bertakwa kepada Allah, memiliki kesadaran tinggi, serta takut terhadap siksaaan-Nya yang dahsyat (Q.S. 65:10).
- Memikirkan, memahami, menghayati, dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah sebagai obyek pikir, baik ayat kauniyah dan segala hukumnya (realitas alam dan hukum alam) maupun ayat-ayat Qur’aniyah melalui petunjuk dan isyarat ayat-ayat al-qur’an tentang akal yang terdiri dari 49 kali penyebutan dalam lima bentuk yang kesemuanya diungkapkan dalam bentuk kata kerja (fi’il).[18]
Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal
yang menjadi sumber pengetahuan, sedangkan yang lainnya hanya memperkuat atau
membantu member bahan-bahan pemikiran bagi akal. Akal tersebut terbagi menjadi
dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis.
- Mengacu kepada 49 term ‘aql yang dimuat dalam al-Quran, maka ditemukan prinsip-prinsip pentingnya berpikir[19], yaitu:
- Salah satu ciri yang membedakan manusia dari hewan terletak pada potensi nalar (nathik), kegiatan nalar, atau kegiatan berpikir dalam merenungkan obyek pikir. Eksistensi dan fungsionalisasi akal dapat meningkatkan derajat dan status keberadaan manusia dalam menjalankan tugas sebagai pemegang amanat, ibadah, risalah, dan khilafah di muka bumi.
- Berpikir termasuk kegiatan bersyukur terhadap nikmat Allah, sedangkan mensyukuri nikmat Allah termasuk ketaatam yang bernilai ibadah. Jadi, berpikir itu pada hakekatnya adalah ibadah yang merupakan bagian dari amanat kemanusiaan.
- Al-quran mengecam orang-orang yang taqlid dan orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi indrawinya.
- Rasulullah, penerima al-quran yang pertama dalam sabdanya sering menerangkan kemulyaan orang-orang yang berilmu. Bahkan, nilai kerja seseorang yang lahir dari pemikiran dipandang lebih baik dari pada pekerjaan yang tidak berdasarkan pamikiran (ilmu).
- Bahwa berpikir itu sangat penting, apalagi mengetahi metodelogi berpikir yang akan menjadi penuntun kea rah berpikir benar dalam menegakan kebenaran yang sebenar-benarnya.
B.
Langkah-Langkah Berpikir Filosofis Berdasarkan Al-Quran
Karena kedudukan dan peranan berpikir
begitu penting, al-Quran tidak saja memerintahkan manusia untuk menggunakan
akalnya, tetapi juga memberikan pedoman, langkah-langkah metodelogis, serta
teknis penggunaan akal dengan metode dan teknis yang lurus dan meluruskan kea
rah pencapaian kebenaran yang sebenarnya (haq). Jika kandungan al-quran
diteliti dan dikaji, akan ditemukan langkah-langkah sebagai berikut[20]:
- Al-Taharrur min quyud al-Takhalush ‘an Aghlal al-Taqlid. Yaitu, upaya membebaskan pemikiran dari belenggu taqlid serta menggunakan kebebasan berpikir sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuan (metode ilmiah).
- Al-Ta’ammul wa al Musyahadah. Yaitu langkah meditasi dan pencarian bukti atau data ilmiah empiris.
- Al-Bahts wa al-Muwajanah wa al-Istiqra. Yaitu langkah analisis, pertimbangan, dan induksi. Langkah ini merupakan kegiatan penalaran dengan pedoman pada prinsip penalaran untuk menemukan kebenaran filosofis dari data-data empiric yang ditemukan.
- Al-Hukm mabni ‘ala al-Dalil wa al-Burhan. Yaitu langkah membuat keputusan ilmiah yang didasarkan atas argument dan bukti ilmiah.
Al-Quran memberi tuntunan agar dalam
kegiatan ilmiah digunakan ketiga potensi instrument untuk memperoleh ilmu
pengetahuan secara terpadu. Ketiga instrument itu adalah (1) ketajaman indra
(al-khawas al-marhaqah), (2) analisis penalaran yang sistematis (al-aql
al-bahis al-mundlam), (3) kejernihan nurani yang terilhami (al-wijdan –naqy
al-mulham).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka
dapat digambarkan model berpikir filosofis dalam mengkaji hakekat dakwah
sebagai berikut:
Agar akal terhindar dari kesalahan dan
kekeliruan dalam berpikir, al-quran meletakan kaidah-kaidah metodologis dalam
menggunakan akal[21]. Antara lain:
- Tidak melampaui batas, dalam realitas yang dihadapi akal manusia terdapat persoalan yang tidak bias dipecahkan diluar jangkauannya, dan bahkan bukan wewenamgnya. Persoalan-persoalan itu hanya dapat dipahami secara hakiki melalui pernyataan wahyu al-Quran. (Q.S. 6:59 dan Q.S. 31:34).
- Membuat pikirandan penetapan (al-taqdir wa al-taqrir). Sebelum memutuskan suatu keputusan, terlebih dahulu dilakukan penetapan dan perkiraan tentang persoalan yang dipikirkan dengan tekun dan teliti, tidak tergesa-gesa. (Q.S. 49:6 dan Q.S. 75:16).
- Membatasi persoalan sebelum melakukan penelitian. Akal tidak akan mampu memikirkan sesuatu diliar jangkauannya tanpa ada pembatasan. Begitu juga dalam kajian ilmiah.kajiannya dibatasi oleh objek kajian yang telah diketahui. Membicarakan suatu objek yang tidak diketahui bukanlah kajian ilmiah. (Q.S. 17:36)
- Tidak sombong dan tidak menentang kebenaran. Jika suatu kegiatan ilmiah disertai dengan sikap seperti ini, kebenaran ilmiah yang hakikitidak akan teraih, bahkan akan merusak ukhuwah islamiyah. (Q.S. 6:7)
- Melakukan chek dan recheck. Dalam mencari kebenaran hakiki perlu dilakukan penelitian dan pengkajian ulang terhadap objek pikir secara cermat dan teliti.
- Berpegang teguh pada kebenaran hakiki. Akal mesti tunduk kepada kebenaranmutlak yang ditopang oleh dalil-dalil yang pasti, untuk kemudian mengimaninya dengan menyingkirkan kergu-raguan. (Q.S. 49:15 dan Q.S. 2:147)
- Menjauhkan diri dari tipu daya. Kepalsuan dan fatamorgana yang lahir dari dorongan hawa nafsu adalah sesuatu yang akan memperdayakan dan menipu kejernihan bepikir.
Mengenai al-haq (kebenaran
hakiki) yang wajib dipertahankan dan diperjuangkan dalam kegiatan berpikir
filosofis. Kandungan al-haq diantaranya sebagai berikut:
- Al-Haq adalah Allah SWT (Q.S. 23:71)
- Al-Haq adalah al-hikmah (Q.S. 46:3)
- Al-Haq adalah al-Islam (Q.S. 8:7)
- Al-Haq adalah al-Syari’ah (Q.S. 17:105)
- Al-Haq adalah Al-Qur’an (Q.S. 28:48, 34:43)
- Al-Haq adalah tanda kekuasaan Allah pada kisah nabi Musa (Q.S. 10:76)
- Al-Haq adalah ilmu shahih/al-ilm al-shahih (Q.S. 10:76)
- Al-Haq adalah keadilan/ al-adl (Q.S. 7:89)
- Al-Haq adalah kejujuran/al-shidiq (Q.S. 4:171)
- Al-Haq adalah pertolongan/al-nashr (Q.S. 9:48)
- Al-Haq adalah kebangkitan/al-ba’s (Q.S. 50:19)
- Al-Haq adalah hutang/al-dain (Q.S. 2:282)
Manusia mesti menyadari keterbatasan
kemampuan akal dalam memikirkan objek pikir. Oleh karena itu kerap kali terjadi
kesalahan-kesalahan dalam melakukan kegiatan berpikir.[22]
Adapun kesalahan berfikir bisa disebabkan
oleh:
- Ketergesa-gesaan dalam membuat keputusan
- Menganggap mudah dalam mengajukan proposisi, tidak teliti dan tidak hati-hati
- Membangga-banggakan kemampuan pikir dan pendapat diri sendiri
- Tradisi yang keliru
- Mengikuti hawa nafsu
- Senang berselisih pendapat
- Haus pujian orang lain
Mazhab` berpikir yang sudah ada dan lazim
digunakan dapat diiqtibas (adopsi) secara terpadu, tidak parsial dalam
berpikir filosofis. Yang dimaksud mazhab berpikir adalah suatu aliran berpikir
yang dianut oleh manusia dalam menggunakan potensi pikirnya. Beberapa mazhab
berpikir, diantaranya:
- Empiricism (mazhab tazribi). Yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi indra lahir semata dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang dihasilkannya disebut pengetahuan indra.
- Rationalism (mazhab ‘aqli). Yaitu pengetahuaan yang didasarkan pada penggunaan akal semata. Akal mempunyai kemampuan memmahami, mengkaji, menetapkan, memikirkan,dan menyadari objek pikir.pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan rasional.
- Criticism (mazhab Naqd). Yaitu pemikiran yang didasarkan pada penggabungan antara mazhabTazrib dan mazhab ‘Aqli dalam memikirkan objek pikir.
- Mysticism (mazhab Shufi). Yaitu pemikiran yang yang didasarkan pada oenggunaan potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan mistis.
Menggunakan metode filsafat islam yang
sudah dikembangkan oleh para filosof muslim, sebab filsafat dakwah merupakan bagian
dari filsafat islam. Terdapat empat macam metode yang telah mereka gunakan dan
dapat digunakan bagi filsafat dakwah, yaitu:
- Metode deduktif dari filsafat paripatetik (masyaiyah) secara eksklusif metode ini mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi (burhan).
- metode iliminasi (isyaraqiyah), metode ini selain bersandar pada deduksi rasional dan demonstrasi juga bersandar pada usaha penyucian jiwa (nafs) dalam menemukan realitas yang mendasari alam semesta.
- Metode pengembaraan dari ’irfan, metode ini bersandar semata pada penyucian jiwa berdasarkan konsep menempuh jalan menuju Tuhan dan mendekati Kebenaran. Metode ini berusaha bukan hanya menyingkap realitas tetapi mencapainya.
- Metode kalam, metode ini bersandar pada deduksi rasional disertai prinsip kelembutan (kaidah al-luthf) dan mendahulukan segala sesuatu yang lebih baik (wujub al-Ishlah).
Selain empat motade tersebut, terdapat
empat metode pemikiran filsafat atau hikmah yang diajukan oleh Mulla Shadra,
dalam filsafatnya yang dikenal dengan sebutan al-Hikmah al Muta ‘alaliyah
(puncak kearifan), yaitu sebagai berikut:
- Kearifan deduktif, metode ini bersandar pada silogisme dan demonstrasi. Metode hanya berurusan dengan masalah hasil dan padannya besar dan kecil kontradiksi dan kebalikan dan yang sejenisnya,
- Kearifan dari pengalaman yang berkenaan bukan hanya dengan deduksi tapi juga dengan pengalaman, ilham dan pencerahan. Metode ini lebih mengutamakan ilham dari hati ilham dari tasio,
- Kearifan eksperimental, metode ini tidak menyangkut penalaran a-priori dan deduksi maupun hati dan ilhamnya. Tetapi metode ini berkaitan dengan indra, percobaan dan eksperimen yang mengambil priduk-produk sains, lalu lalu buah dari percobaan dan eksperimen dengan saling mengaitkannya dituangkan ke dalam bentuk kearifan dan filsafat,
- Kearifan polemical-deduktif, metode ini menggunganakan premis-premis dari pengetahuan yang umum, dari fakta-fakta yang diterima, dan dari aksioma pertama. Selanjutnya, deduksi yang berdasarkan pengetahuan yang berdasarkan aksioma disebut demonstrasi, deduksi yang berdasarkan pengetahuan umum disebut salah satu bentuk polemic (jidal). Dengan demikian, kearifan polemical adalah kearifan yang mendeduksi gagasan global dan universal dari pengetahuan umum (masyhurat).
Berkenaan dengan model pemikiran
filosofis dakwah, menurut Amrullah Ahmad (1996), berangkat dari hakikat ilmu
dakwah, yaitu ilmu membangunkan dan mengembalikan manusia pada fitri,
meluruskan tujuan hidup manusia serta meneguhkan fungsi khilafah manusia
menurut al-Quran dan sunnah. Selain itu, ia menegaskan bahwa ilmu dakwah ialah
ilmu perjuangan bagi umat islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan perdaban
islam.
Metode pemikiran filsafat dakwah dibangun
dengan berdasarkan pada konsep Tauhidullah. Dari konsep ini dibangun
aksiologi, epistemology, dan metodologi keilmuan dakwah yang mengacu pada
hukum-hukum berpikir dari ayat Qur’aniyah dan hukum-hukum yang terdapat dalam
ayat kauniyah.[23] Mengacu pada pemikiran
filosofis yang didasarkan pada konsep tauhid tersebut, Amrullah Ahmad
mengajukan lima macam metode keilmuan dakwah:
- Pendekatan analisis system dakwah,
- Metode historis,
- Metode refektif,
- Metode riset dakwah partisipatif, dan
- Riset kecenderungan gerakan dakwah.
–oo0()0oo–
BAB IV
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FALSAFI DALAM
DAKWAH ISLAM
A. Periode Nubuat
Kegiatan dakwah pertama dari para nabi
dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman dalam setiap lingkungan adalah
menegakan keyakinan Tauhidullah dan beribadah hanya kepada-Nya yang menjadi
tugas fitri kemanusiaan sebagai khalifah dan Abdi Allah dimuka bumi. Dan
disampaikan pula pesan utama tentang perjalanan hidup manusia, yaitu al-mabda
(asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan manusia di alam
kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan
tugas fitri kemanusiaan).
Adapun tugas-tugas kenabian dapat
disimpulkan dalam tiga perkara. Pertama, seruan untuk beriman kepada Allah dan
ke-Esaan-Nya. Kedua, iman kepada hari akhir dan balasan terhadap amal-amal pada
hari itu. Ketiga, penjelasan hukum-hukum yang di dalamnya terdapat kebaikan dan
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Berkenaan dengan missi para nabi
dipusatkan dan diarahkan kepada pemberantasan berhala di masa-masa mereka, yang
tercermin dalam bentuk penyembahan patung-patung, berhala-berhala dan
orang-orang suci, baik orang yang masih hidup maupun sudah mati.
Seandainya akal manusia bertindak
sendirian dalam memahami kebenaran-kebenaran ini, maka tidak akan dapat
menjangkaunya, khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau
oleh akal manusia dan pengetahuan tanpa wahyu yang disampaikan Allah kepada
nabi-nabi.
Para filosof Yunani dan lainnya telah
berusaha mempelajari ke-Tuhana-an, maka mereka pun mengemukakan
pendapat-pendapat yang saling bertentangan sebagaimana para ulama di zaman ini
berbeda pendapat dalam menafsirkan ke-Tuhana-an. Sementara para nabi datang
membawa kepastian dalam penafsiran dan penentuan kekuatan Ilahi dengan pendapat
yang menentramkan hati.
Dari 25 nabi yang disebutkan dalam
Al-Quran ada yang diberi al-Kitab, Shuhuf (lembaran wahyu), dan Hikmah.
Secara eksplisit nabi yang diberi hikmah selain al-kitab adalah nabi
Daud a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad saw. selain para nabi, ada
seorang hamba Allah swt yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran oleh
Allah SWT diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan nama Luqman ini menjadi nama
salah satu surah dalam mushhaf al-Quran yaitu surah Luqman surah ke 31. Dan
dari surah Luqman inilah dapat dibangun secara spesifik struktur filsafat
dakwah.[24]
Luqman al-Hakim hidup sezaman dengan nabi
Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah swt. Luqman ini adalah bapak
filsafat selain nabi, sebagai filosof pertama Yunani, yaitu Empedockles berguru
kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras murid Empedockles, setelah itu secara
berturut-turut menyusul Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kelima filosof ini
hidup dalam rentangan kurun waktu antara nabi Daud a.s hingga sebelum nabi Isa
a.s. dan salah seorang murid Aristoteles adalah Alexander (Iskandar
Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles selama 20 tahun.
Maka jalur pemikiran hikmah
(kefilsafatan) para filosof yang bukan nabi yaitu Luqman dan generasi yang
berikutnya, maka menisbahkannya pemikiran filosofis itu kepada Hermes, dan
rentangan waktu antara Hermes hingga awal hijrah nabi terakhir adalah
kurang lebih 3725 tahun (perhitungan menurut Abu Ma’syar).
B.
Periode al-Khulafa al-Rasyidun
Estapeta aktivitas dakwah dalam tataran
teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir Muhammad saw dilanjutkan oleh
pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para pelanjut yang memperoleh dan
melaksanakan Islam ingga bimbingan kehidupan). Pemikiran dakwah yang berkembang
pada periode ini adalah metode naql dan aql secara seimbang orientasi utama
pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu konsolidasi dan ekspansi Islam di
semenanjung Arabia dan sekitarnya. Produk pemikiran dan aktivitas dakwah
al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat, yang memuat khazanah Islam.
Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn Khathab (634-644 M), Usman Ibn
Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib (656-661 M)
Perlu diketahui, bahwa futuhat adalah
proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke daerah-daerah yang dituju dengan
tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah agamanya, mereka menerima dan
memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas dasar pilihan dan kebebasan
kehendaknya setelah mempertimbangkan secara obyektif-proposional terlebih
dahulu.[25]
Adapun hikmah praktis telah diperoleh
para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku, banyak mengamalkan ilmu dengan
jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan kemahiran, strategi yang bijak, dan
memahami sendi-sendi dakwah mereka memandang penting penggunaan akal dalam
kehidupan, misalnya, berikut ini sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a
dalam syair: “bila Tuhan menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan
kepakaran orang itu. Pemberian Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya,
karena tidak ada kebaikan yang sebaik akal. Dengan akal, seorang pemuda dapat
hidup eksis di tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa
rasional.
C. Periode
Tabi’in
Bicara tentang tabi’in, Tabi’in adalah
mereka yang hidup sesudah generasi sahabat nabi. Mereka adalah orang-orang yang
mampu bersikap bijak dalam menyalurkan kewajiban dakwahnya. Tokoh pemikir
dakwah (rijal al-dakwah) pada periode ini diantaranya adalah Said bin Musayab,
Hasan bin Yaser al-Bashri, Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd
al-Aziz adalah seorang khalifah pada zaman Daulah Bani Umayah.
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan
oleh keempat tokoh pada periode ini adalah memulai dengan memperbaiki diri
sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki umat, mengembangkan dakwah dengan
surat, menanamkan perasaan takut kepada Allah, berpegang teguh pada agama
Allah, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada zaman ini, metode pemikiran dakwah
lebih banyak menggunakan penalaran metode muhaditsin, yang lebih banyak
berorientasi pada naql ketimbang ‘Aql sebagaimana digunakan dalam penalaran
metode mutakalimin.
D. Periode Tabi
al-Tabi’in
Sebutan Tabii al-tabiin adalah ditujukan
bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang mendapat nilai keutamaan. Tokoh
utama pada periode ini yang tergolong rijal al-dakwah Imam bin Anas, Imam
Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Periode a dan b dapat dikategorikan pula
sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf disebut periode Khalaf.
Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan dakwah.[26]
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan
pada periode ini tidak jauh berbeda dengan hikmah praktis (2) bagian (a) yang
telah dikemukakan. Namun dapat ditambahkan bahwa rijal al-dakwah pada periode
ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah, yaitu berpikir sebelum menjawab
dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak dan bertindak tegas dalam hal
kebenaran.
Sedangkan hikmah teoritis yang dikembangkan
pada periode tabii-al tabiin adalah metode penalaran mutakalimin dengan tidak
mengabaikan metode penalaran muhaditsin.
E. Pasca
Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada periode ini dapat dikategorikan
sebagai periode khalaf, suatu periode dengan 300 tahun setelah zaman nubuwah.
Hikmah teoritis dan hikmah praktis dikembangkan dengan metode penalaran yang
pernah berkembang sebelumnya dengan ditandai munculnya berbagai corak pemikiran
di dalam berbagai bidang kajian keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi
antarbudaya dalam perjalanan aktivitas dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah
(pemikiran filosofis dakwah)[27]
Dalam tataran hikmah teoritis dari segi
metodologi pada periode khalaf ini dapat digolongkan kepada: Pertama, kelompok
pengguna penalaran Isyraqi (iluminasionisme) pendukung metode yang dikembangkan
oleh Plato dengan tidak mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna
penalaran masya’I (peripatetisisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh
Aristoteles dengan tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung
metode sebagaimana disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah
dan Syi’ah. Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan
dakwah, konsep manusia dan konsep alam.
Dari kalangan sufi yang menggunakan
metode irfan, pemikiran mereka lebih menekankan pada kontek dakwah nafsyiyah
(internalisasi ajaran Islam pda tingkat intra individu), antar pribadi dan
kelompok di atas dasar cinta kepada Tuhan dengan tidak mengabaikan dasar
syariat yang lebih mengatur aspek perilaku lahiriyah.
F.
Periode Modern
Periode modern merupakan era kebangkitan
Islam yang ditandai adanya tokoh pejuang Islam berpikir dan mencari jalan untuk
mengembalikan balance of power terhadap penjajahan Barat yang menguasai dunia
Islam. Pada era ini diawal gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin
Al-Afgani, Muhammad Abduh, Abd al-Wahab dan para pendukungnya sejak tahun 1801
M hingga sekarang.
G. Aktivitas Pemikiran
Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dalam hal ini, penelusuran, pelacakan,
dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah dapat pula dipandang sebagai
aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan menggunakan alur berpikir
kesejarahan. Dengan demikian, maka perkembangannya dapat distrukturkan ke dalam
periodesasi.[28]
Periode klasik merupakan masa kemajuan
Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi. Pada tahun 1000-1250 masehi
merupakan masa disintegrasi. Pada periode berikutnya, yaitu periode
pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M). yang selanjutnya adalah
periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada tiga periode ini,
pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah berlangsung, sebab jika
kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula perkembangan kehidupan
umat Islam di alam jagat raya ini.
–oo0()0oo–
BAB V
HAKEKAT MATERI DAN MEDIA DALAM DAKWAH
A. Materi Dakwah Dan
Sistematiknya
Materi dakwah adalah isi pesan atau
materi pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u. dalam hal ini sudah jelas
bahwa yang menjadi maddah dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri.
Secara umum materi dakwah dapat
diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok[29], yaitu:
1. Masalah Akidah (keimanan)
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah
adalah akidah Islamiyah. Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlak)
manusia. Aqidah dalam Islam adalah bersifat I’tiqad bathiniyah yang mencakup
masalah-masalah yang erat hubungannya dengan rukun iamn. Di bidang akidah ini
bukan saja pembahasannya tertuju pada maslah-masalah yang wajib diimani, akan
tetapi materi dakwah meliputi juga masalah-masalah yang dilarang sebagai
lawannya, misalnya syirik, ingkar dengan adanya Allah SWT dan sebagainya.
Oleh karena itu, yang pertama kali
dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah masalah akidah atau keimanan. Akidah
yang menjadi materi utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakannya
dengan kepercayaan agama lain, yaitu:
- Keterbukaan melalui persaksian (syahadat)
- Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah tuhan semesta alam, bukan tuhan kelompok atau bangsa tertentu.
- Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dengan amal perbuatan.
Keyakinan demikian yang oleh Al-Quran
disebut dengan iman. Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Iman juga erat
kaitannya antara akal dan wahyu. Orang yang memiliki iman yang benar itu akan
cenderung untuk berbuat baik, karena ia mengetahui bahwa perbuatannya itu
adalah baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena dia tahu perbuatan jahat
itu akan berkonsekuensi pada hal-hal yang buruk.
2. Masalah Syariah
Hukum atau syariah sering disebut sebagai
cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna,
maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan syariah
merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang melestarikan dan
melindunginya dalam sejarah.
Syariah dalam Islam adalah berhubungan
erat dengan amal lahir dalam rangka mentaati semua perbuatan atau hokum Allah
guna mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya dan mengatur pergaulan
hidup antara sesame manusia.
Materi dakwah yang bersifat syariah ini
sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan jantung yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan sekaligus
merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam
antara lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah
ini bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan non-muslim,
bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan
system dunia akan teratur dan sempurna.
Materi dakwah yang menyajikan unsur
syariat harus dapat menggambarkan atau memberikan informasi yang jelas dibidang
hukum dalam bentuk status hukum yang bersifat wajib, mubbah, dianjurka, makruh,
dan haram.
3. Masalah Mu’amalah
Islam merupakan agama yang menekankan
urusan mua’malah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Islam lebih
banyak memerhatikan aspek kehidupan social daripada aspek kehidupan ritual.
Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi
kepada Allah. Ibadah dalam mua’malah disini diartikan sebagai ibadah yang
mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Cakupan
aspek mua’malah jauh lebih luas daripada ibadah. Statement ini dapat dipahami
dengan alasan:
- Dalam Al-Quran dan al-Hadis mencakup proporsi terbesar sumber hokum yang berkaitan dengan urusan mua’malah
- Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Jika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kafarat-nya adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan mua’malah. Sebaliknya, jika orang tidsk baik dalam urusan mua’malah, maka urusan ibadah tidak dapat menutupinya.
- Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
- Masalah Akhlak
Secara etomologis, kata akhlaq berasal
dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai dan
tingkah laku atau tabiat. Kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan
dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan
khaliq yang berarti pencipta, dan makhluk yang berarti yang diciptakannya.
Sedangkan secara terminologi, pembahasan
akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi temperature batin yang
memengaruhi perilaku manusia. Ilmu akhlak bagi Al-farabi, tidak lain dari
bahasan tentang keutamaan-keutamaan yang dapat menyampaikan manusia kepada
tujuan hidupnya yang tertinggi, yaitu kebahagiaan, dan tentang berbagai
kejahatan atau kekurangan yang dapat merintangi usaha pencapaian tujuan
tersebut.
Maka ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya
meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi
kejiwaannya. Akhlak dalam Islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat
diimplementasikan, dan bukan pula sekumpulan etika yang terlepas dari kebaikan
norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi akhlak dalam Islam adalah mengenai
sifat dan criteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus
dipenuhinya.
Materi akhlak ini diorientasikan untuk
dapat menentukan baik dan buruk, akal, dan kalbu berupaya untuk menemukan standar
umum melalui kebiasaan masyarakat. Karena ibadah dalam Islam sangat erat
kaitannya dengan akhlak. Pemakaian akal dan pembinaan akhlak mulia merupakan
ajaran Islam. Ibadah dalam Al-quran selalu dikaitkan dengan taqwa, berarti
pelaksanaan perintah Allah SWT. Dan menjauhi larangan-Nya. Perintah Allah SWT.
Selalu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan baik sedangkan larangan-Nya
senantiasa berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik.
Secara garis besar, syariat Islam
terpusat pada tiga kemaslahatan,
- Menolak kerusakan demi memelihara agama jiwa, akal, keturunan, kehormatan diri dan harta.
- Mendatangkan berbagai kemaslahatan. Al-quran adalah pembawa kemaslahatan dan penangkal kerusakan
- Menerapkan akhlak mulia dan mentradisikan kebaikan. Al-quran menawarkan pemecahan segala problema yang tidak mampu diatasi manusia
B.
Pengertian Media Dan Sistematiknya
Arti istilah media bila dilihat dari asal
katanya (etimologis), berasal dari bahasa latin yaitu median, yang berarti alat
perantara. Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median tersebut.
Pengertian semantiknya media berarti segala sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Wasilah dakwah adalah alat yang digunakan
untuk menyampaikan materi dakwah kepada mad’u. untuk menyampaikan ajaran Islam
kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah. Dengan demikian
media dakwah adalah alat segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat
untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat
berupa barang, orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya.
Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah
menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, lukisan, audiovisual, dan akhlak.
- Lisan adalah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lisan dan suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
- Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar, surat menyurat, spanduk, dan sebagainya.
- Lukisan adalah media dakwah melalui gambar, karikatur, dan sebagainya
- Audiovisual adalah media dakwah yang dapat merangsang indera pendengaran, penglihatan, atau kedua-duanya, seperti televisi, film slide, OHP, internet, dan sebagainya
- Akhlak adalah media dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkanajaran Islam yang secara langsung dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u
C. Hakikat
Materi Dan Media Dakwah
- Hakekat Pesan Dakwah
Materi dakwah merupakan komponen dakwah
sekaligus satu diantara jari cahaya hikamah. Da’I dituntut untuk memilah dan
memilih materi secara hikmah agar dakwahnya berhasil dengan baik. Pemilahan
materi yang hikmah akan enak didengar, mudah dimengerti dan dipatuhi oleh
objek.
Persoalannya sekarang adalah apa dan
bagaimana materi dakwah, secara filosofis ada tiga kelompok besar materi dakwah
dengan urutan sebagai berikut:
- Persoalan manusia
- Persoalan ad-dinul Islam
- Persoalan ibadah
Pesan dakwah adalah Islam atau syariat
sebagai kebenaran hakiki yang dating dari Allah melalui malaikat Jibril kepada
para nabi-Nya dan terakhir kepada Muhammad SAW . Pesan dakwah ini diungkapkan
dalam surat An-Nahl ayat 125 disebut dengan sabili rabbika (jalan tuhanmu)
Al-Quran menyebutkan term Islam sebanyak
28 kali dalam bentuk kata kerja dan dalam bentuk kata sebanyak 110 kali, yang
secara eksplisit dalam bentuk al-islam sebanyak 6 kali. Kedamaian, keselamatan,
kesejahteraan, ketundukan, dan tata aturan hidup bagi manusia, yaitu sebuah nama
bagi al-din. Sedangkan kata din itu sendiri al-quran menyebut sebanyak 93 kali
dalam 7 bentuk kata benda, dan satu kali dalam bentuk kata kerja.
Sumber utama ajaran Islam sebagai pesan
dakwah adalah Al-Qur’an itu sendiri, yang memiliki maksud spesifik, paling
tidak terdapat sepuluh maksud pesan Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam, yaitu
:
- Menjelaskan hakekat tiga rukun agama Islam, yaitu Iman,Islam, dan Ihsan.
- Menjelaskan segala sesuatu yang belum diketahui oleh manusia tentang hakekat kenabian, risalah, dan tugas para Rasul Allah.
- Menyempurnakan aspek psikologis manusia secara individu, kelompok, dan masyarakat.
- Mereformasi kehidupan social kemasyarakatan dan social politik diatas nilai keagamaan.
- Mengokohkan keistimewaan universalitas ajaran Islam dalam pembentukan kepribadian melalui kewajiban dan larangan.
- Menjelaskan hokum Islam tentang kehidupan politik Negara.
- Membimbing penggunaan urusan harta.
- Mereformasi system peperangan guna mewujudkan dan kemashalahatan manusia.
- Menjamin dan memberikan kedudukan yang layak bagi hak-hak kemanusiaan wanita dalam beragama dan berbudaya.
- Membebaskan perbudakan.
Al-Qur’an menjelaskan Islam sebagai pesan
dakwah memiliki karakteristik unik dan selalu masa kini, yaitu:
- Islam sebagai agama fitrah (Qs. Ar-Ruum ayat 30)
- Islam sebagai agama rasional dan pemikiran (Qs. Al-Baqarah ayat 164, Ali-Imran ayat 191, dan Ar-Ruum ayat 30).
- Islam sebagai agama ilmiah, hikmah, dan fikriyah. (Qs Al- Baqarah ayat 266, Al-An’am ayat 25,35,98).
- Islam sebagai agama argumentative (hujjah) dan demonsratif (burhan) (Qs. An-Nisa ayat 172)
- Islam sebagai agama hati (qalb), kesadaran (wijdan), dan numi (dhamir) (Qs. Qaaf ayat 37)
- Islam sebagai agama kebebasan (husriyah) dan kemerdekaan (istiqlal) (Qs. Al-Baqarah ayat 170,256)
- Islam juga sebagai agama kedamaian dan kasih saying bagi seluruh alam (rahmatan al-alamin)
Murtadha Munthahari (1991) mengemukan
karakteristik filosofis pandangan dunia Islam sebagai pesan dakwah yang
dirumuskan pada proposisi-proposisi sebagai berikut:
- Alam semesta ini memiliki sifat ilahiyah (divine nature);
- Alam semesta yang realitasnya tergantung pada-Nya, dan yang diciptakan dalam zat-Nya juga diciptakan dalam artian temporal
- Apapun yang nyata didunia ini, adalah tingkatan yang lebih rendah dari realitas yang termasuk dalam dunia lain yang disebut alam ghaib;
- Alam semesta mempunyai tabiat kembali kepada-Nya
- Alam semesta adalah suatu system sebab-akibat yang tetap;
- System sebab-akibat tidak terbatas pada sebab dan akibat yang bersifat pada psikologis saja
- Terdapat serangkaian tradisi (sunnah) dan hokum-hukum yang kokoh yang mengatur dunia dan esensial bagi system sebab dan akibat di alam semesta
- Alam semesta adalah suatu realitas yang terbimbing dan perkembangan, alam semesta adalah perkembangan yang terbimbing
- Dunia mengandung kebaikan dan kejahatan, keserasian, dan ketidakserasian, kemurahan dan kekikiran, cahaya dan kegelapan, gerakan dan diam; tetapi kebaikan, keserasian, kemurahan hati, cahaya dan gerakan mempunyai eksistensi yang asli, sementara kejahatan kontradiksi, kekikiran, kegelapan dan diam, mempunyai eksistensi yang bersifat parsitis dan sub-ordinate. Namun eksistensi yang parasitis dan subordinate itu memainkan peranan yang sangat penting dalam menciptakan kebaikan keserasian, kemurahan hati, cahaya, gerakan dan perkembangan.
- Karena alam semesta merupakan kesatuan alam hidup, artinya karena alam semesta diatur oleh kekuatan-kekuatan yang cerdas (Qs. An-Naziat:5) maka ia adalah alam semesta aksi dan reaksi.
- Sesudah kehidupan yang sekarang ini manusia akan mengalami kehidupan abadi dimana manusia akan diberi pahala atau hukuman sebagai hasil dari awal perbuatannya dalam kehidupan yang sekarang ini.
- Ruh manusia adalah kenyataan yang abadi
- Prinsif dasar dan dasar-dasar kehidupan , yakni prinsif-prinsif kehidupan moral dan manusiawi adalah abadi dan tetap
- Kebenaran juga adalah abadi
- Alam semesta, bumi dan langit dibangun dengan adil (Qs. Al-Ahqaf: 3)
- Kehendak ilahi menggariskan kemenangannya kemenangan akhir kebenaran atas kebatilan (Qs. Shaf: 171-173)
- Manusia diciptakan sederajat dan tak seorang pun mempunyai hak istimewa atas orang lain, karena rupa kejadiannya.
D. Peran
Penting Media Dakwah
Dalam arti sempit media dakwah dapat
diartikan sebagai alat bantu dakwah, atau yang popular didalam proses belajar
mengajar disebut dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti media dakwah
memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan. Artinya
proses dakwah tanpa adanya media masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal
mungkin.
Sebenarnya media dakwah ini bukan saja
berperan sebagai alat Bantu dakwah, namun bila ditinjau dakwah sebagai suatu
system, yang mana system ini terdiri dari beberapa komponen yang komponen satu
dengan lainnya saling terkait mengait, Bantu membantu dalam mencapai tujuan.
Maka dalam hal ini media dakwah mempunyai peranan dan kedudukan yang sama
disbanding dengan komponen yang lain, seperti metode dakwah, objek dakwah yang
memliki azaz efektifitas dan efisiensi, peranan media dakwah menjadi tampak
jelas peranannya.
Hakekat dakwah adalah mempengaruhi dan
mengajak manusia untuk mengikuti idiologi pengajaknya. Sedangkan pengajak sudah
barang tentu memiliki tujuan yang hendak dicapainya. Proses dakwah tersebut
agar mencapai tujuan yang efektif dan efisien, da’I harus mengorganisir
komponen-komponen dakwah secara baik dan tepat. Salah satu komponen adalah
media dakwah.
Proses untuk mengajak seseorang ataupun
komunitas menuju arahan perilaku yang lebih baik dan menjauhi keburukan tentu
saja tidak semudah membalik telapak tangan. Semuanya harus melalui proses yang
terencana dan terkonsep dengan baik. Disamping itu dibutuhkan pula media-media
yang dapat membuat kegiatan dakwah menjadi lebih efektif dan efisien. Menyadari
arti penting penggunaan media tersebut, sejak jaman dahulu para da’i telah
mamanfaatkannya untuk kepentingan dakwah.
Arti penting sebuah media (wasilah) dalam
proses dakwah tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahanya sekarang terletak
pada kemauan dan kejelian para da’i dalam melihat media mana yang paling tepat
dipakai berdasarkan kemampuanya sebagai da’i maupun spesifikasi mad’u yang
menjadi lahan garapannya. Dalam hal ini Moh. Ali Azis menjelaskan bahwa pada
dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang
indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah.
Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai maka semakin efektif pula upaya
pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Pemakaian
media (terutama media massa) telah meningkatakan intensitas, kecepatan, dan
jangkauan komunikasi yang dilakukan umat manusia teruta bila dibandingkan
sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televisi, internet dan
sebagainya. Oleh karena itu sudah seyogyanya bagi para da’i memanfaatkan
peluang ini dalam menyebarkan ajaran Islam.
–oo0()0oo–
BAB VI
HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI DA’I DAN MAD’U
A. Hakikat manusia
Manusia adalah mahluk yang berarti
sesuatu yang diciptakan secara logik dan riil, setiap yang diciptakan tentu ada
penciptanya. Dalam islam, pencipta manusia disebut Allah SWT. Pernyataan
manusia adalah mahluk dapat diterima oleh manusia dari latar belakang dan
tingkat kecerdasan yang berbeda, mulai dari seorang propesor sampai tukang beca
sekalipun. (Ki Moesa A. Machfoeld, 2004 : 53)
Dalam al-Quran menampilkan sebutan mahluk
Allah SWT yang dibebani menjalankan agama islam sebagai hidayah bagi perjalanan
hidupnya. Manusia merupakan mahluk individual yang memiliki kebebasan ikhtiar,
kehendak dan tanggung jawab atas perbuatannya sesuai pilihannya. Manusia
sebagai mahluk yang diberikan akal dan potensi untuk berbuat baik dan buruk.
Manusia juga merupakan manusia yang lupa akan janji pengakuannya bahwa Allah
tuhannya ketika dialam ruh sebelum ruh itu bersatu dengan jasad. Manusia
merupakan jenis mahluk yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Manusia juga merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan
yang lainnya, saling ketergantungan dalam mencapai tujuan hidup dan sebagai maahluk,
berbudayua dan berpendidikan.
Manusia menjalani hidup dalam lima jaman
atau alam, yaitu Alam ruh, Alam rahim, Alam dunia, Alam barzah, dan Alam
akhirat. Kecuali manusia pertama tidak mengalami alam rahim.[30]
Manusia dibekali akal, qalb, ilahm takwa,
ilham fujur dan agama islam. Dengan bekal ini manusia diberi amanat ibadah dan
hilafah dimuka bumi ini. Dengan amanat ibadah manusia hanya dibenarkan menyembah
dan beribadah kepada penciptanya, yaitu Allah SWT dan dengan amanat khilafah
manusia bertugas merekayasa kehidupan, merekayasa alam bagi kepentingan manusia
dan menegakan tata hubungan antara mahluk dimuka bumi atas dasar kasih sayang
dan kedamaian dalam keanekaragaman budaya dan etnik. (Syukriadi Sambas, 1999:
42)
Manusia dengan potensi ruhani yang di
milikinya dapat menerima dan menolak syariat islam yang diperuntukan bagi
pengaturan dan pedoman kehidupannya sebagai hamba dan khalifah tuhan di muka
bumi. Masing-masing aktivitas yang berupa penerimaan dan penolakan tersebut
akan memperoleh akibat atau konsekwensi berupa balasan pahala untuk penerimaan
dan berupa siksa untuk penolakan.
Manusia yang menerima islam dan
memperjuangkannya agar diterima oleh orang lain diatas dasar kebebasan dan
tanggung jawab adalah hakekat aktivitas dakwah islam di sepanjang zaman.
Tanggung jawab atau amanah ini akan dihadapkan kepada pengadilan (mahkamah),
baik tanggung jawab atau amanah. Jika mengacu kepada la-Quran antara lain surat
al-Anfal ayat 27, at-Taubah :105.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
Mengetahui.”(al- Anfal : 27)
“ Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka
Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (at-
Taubah : 105)
Manusia memiliki dimensi kejiwaan, dan
dalam kejiwaan itu memiliki aspek insting beserta prilaku dan kecendrungannya,
dalam hal ini dakwah islam merupakan proses pendayagunaan aspek insting ke arah
jiwa yang positif, baik dan benar menurut tuntunan ajaran.
Prilaku lahir manusia pada hakikatnya
merupakan ekspresi dan aktualisasi dari prilaku potensi nafs yang dimilikinya,
yang memposisikan manusia kearah posisi yang baik dan benar dan kearah posisi
jelek dan salah.
Secara ekplisit, al-Quran menyebut adanya
tiga jenis nafs[31]:
- Nafs muthmainnat, yaitu nafsu yang tenang, jauh dari segala keguncangan, selalu mendorong kepada berbuat kebajikan.
- Nafs ammarat, yaitu nafsu yang selalu mendorong berbuat kejahatan, tunduk kepada nafsu syahwat dan panggilan setan
- Nafs lawwamat, yaitu nafsu yang belum sempurna, selalu melawan kejahatan tapi suatu saat melakukan kejahatan hingga disesalinya.
Dalam Tarekat Qadariah – Naqsabandiyah (
TQN ), nafs ini ada tujuh jenis, yaitu Nafs Ammarah, Nafs Lawwamah, Nafs
Mulhamah, Nafs Mutha’innah, Nafs Radhiyah, Nafs Mardhiyah, dan Nafs Kamilah
Proposisi-proposisi tentang nafs menurut
paara filusuf sufi yang dihimpun oleh javad nurbakhsy sebagai berikut
(Syukriadi Sambas, 1999 : 49-50):
- Setiap kali nafs ditekan, ia akan muncul ditempat lain
- Nafs bersifat bodoh
- Nafs sebagai sumber perangai tak bermoral dan tindakan tercela
- Kejahatan nafs timbul apabila dihasut atau menemukan tempat penyaluran
- Nafs merupakan sarana kemurkaan Allah
- Nafs seperti penyulut api
- Nafs adalah berhala
- Nafs merasa kedamaian hanya dalam kebohongan
- Daya tarik nafs adalah selubung paling rumit
- Nafs penghalang menuju Allah
- Dasar kekapiran terletak dalam pemenuhan hasrat nafs
- Jika rasa nafs dinikmati, maka nikmat kebaikan tidak akan pernah dirasakan
- Syrik terselubung adalah bahaya paling tinggi dari nafs
- Nafs tegak diatas pelanggaran etika
- Nafs merupakan tertuduh dari setiap kejahatan
- Nafs selalu menginginkan apa yang selalu dilarang
- Nafs adalah budak hawa nafsu
- Nafs bersifat munafik dan penuh kepura-puraan
- Kebohongan nafs tidak ada habisnya
- Nafs menganggap dirinya memiliki sifat ketuhanan
- Nafs bersifat bohong dan egosentris
- Nafs bersifat tamak, kikir dan tak bermoral
- Nafs bersifat serakah dan pemalas
Ciri umum dari nafs kualitas rendah
menurut al-Quran ada empat :
- Mudah melanggar apa-apa yang dilarang Allah
- Menuruti dorongan hawa nafsu
- Menjalankan maksiat
- Tidak mau memenuhi panggilan kebenaran.
Dalam al-Quran terdapat empat kata atau
istilah yang digunakan untuk menunjukan manusia.
- Ins/insan dan unas
- Basyar
- Bani adam
- Dzuriyat adam
Menurut Ahmad Mubarok desain kejiwaan
manusia diciptakan tuhan dengan sangat sermpurna, berisi kapasitas-kapasitas
kejiwaan, seperti berpikir, merasa dan berkehendak. Jiwa merupakan system yang
terdiri dari sub system aql,qalb, basyar, syahwat dan hawa. Aql (akal)
merupakan problem solving capacity, yang bisa berpikir dan membedakn yang buruk
dan baik.Qalb (hati) merupakan perdana mentri dari system nafsani.Qalbu
memiliki otoritas memutuskan suatu tindakan, oleh karena itu segala sesutau
yang didasari oleh qalb berimplikasi kepada pahala dan dosa.Basyar adalah
pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala.Basyar selalu
konsisten kepada kebenaran dan kejujuran.Basyar adalah cahaya ketuhanan yang
ada dalam hati. Syahwat adalah motif kepada tingkah laku, atau sesuatu
yang manusiawi dan netral. Hawa adalah dorongan kepada objek yang rendah dan
tercela. (faizah, dan lalu muchsin effendi, 2006: 56)
Dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang
lain manusia menurut islam memiliki kapasitas yang tinggi, memiliki kecendrungan
untuk dekat kepada tuhan melalui kesadarannya tentang kehadiran tuhan yang
terdapat jauh didalm alam tak sadarnya. Manusia juga merupakan mahluk yang
dimuliakan tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingklan dengan mahluk yang
lainnya.Al-Quran juga menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian
setelah sempuran kejadiannya tuhan menghembuskan kepadanya ruh yang
diciptakannya.Seperti dalam al-Qur’an surat al-Muminuun:12-14.
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik” (QS. al-Muminuun:12-14)
Dimensi sepiritual atau ruh mengantar
manusia untuk cendrung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan dan
sebagainya.Ia mengantarkan manusia kepada suatu relitas yang maha sempurna
yaitu realitas ilahiyah. Para filusuf yunani seperti plato dan aristoteles
mengatakan, pada hakikatnya manusia adalah hewan yang dapat berbicara, berpikir
dan mengerti. Yang membedakan manusia dari hewan yang lainnya adalah segi
kejiwaan yang berupa akal dan pikiran. (faizah, dan lalu muchsin effendi, 2006
: 56)
B. Hakikat
Manusia Sebagai Subjek Dan Objek Dakwah (Dai Dan Madu)
1. Hakikat manusia sebagai subjek
dakwah (Da’I)
Suatu gambaran pribadi yang unik dengan
penataan resiko terencana untuk meraih masa depan bersama Allah dan Rasul-Nya.
Inilah kafilah panjang, pembawa risalah kebenaran yang tak putus sampai ke
suatu terminal akhir kebahagiaan surga penuh ridha Allah swt.
Setiap muslim adalah dai. Kalau bukan dai
kepada Allah, berarti ia adalah dai kepada selain Allah, tidak ada pilihan
ketiganya. sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam berarti hawa nafsu. Dan
hidup di dunia adalah jenak-jenak dari bendul waktu yang tersedia untuk memilih
secara merdeka, kemudian untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Rabbul insan
kelak. Bagi muslim, dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak bisa hidup
tanpanya. Aduhai, betapa agungnya agama Islam jika diemban oleh rijal (orang
mulia).
2. Hakikat manusia sebagai objek
dakwah (madu)
Unsur dakwah yang kedua adalah mad’u,
yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik
sebagai indifidu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragam islam
maupuntidak atau secara keseluruhan manusia, sesuai dengan firman Allah QS.
Saba’ 28:
“Dan kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS.
Saba: 28)
Kepada manusia yang belum beragama islam,
dakwah bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama islam, sedangkan kepada
orang-orang yang sudah beragama islam dakwah bertujuan meningkatkan kwalitas
iman,islam,ihsan.
Mad’u (mitra dakwah) terdiri dari
berbagai macam golongan manusia. Oleh karena itu, golongan mad’u sama dengan
menggolongkan manusia itu terdiri, profesi, ekonomi dan seterusnya.
Muhammad abduh membagi mad’u menjadi tiga
golongan yaitu:
- Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran, dapat berpikir secara kritis, cepat menangakap persoalan.
- Golongan awam, yaitu, kebanyakan orang yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi
- Golongan yang berbeda dengan golongan diatas mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup mendalam benar
Mad’u juga dapat dilihat dari derajad
pemikirannya sebagai berikut:
- umat yang berfikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu berfikir mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan padanya
- umat yang mudah di pengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham baru tanpa menimbang-nimbang secara mantapapa yang dikemukakan kepadanya.
- umat bertaklid, yaitu golongan fanatic, buta berpegang pada tradisi, dan kebiasaan turun-menurun tempat menyelidiki salah satu benar.
Jadi yang dikatakan mad’u adalah orang
yang menjadi sasaran dakwah dimana mad’u terdiri dari berbagai macam keadaan
yang harus disiasati oleh para pendakwah untuk sesuai memberikan dakwah sesaui
dengan kemampuan mad’unya, maka seorang da’I harus tepat membaca mad’unya.
3. Kondisi manusia sebagai
mad’u
Salah satu unsur dakwah adalah madu,
yakni manusia yang merupakan individu atau bagian dari komunitas
tertentu.Mempelajari tentang unsure ini merupakan suatu keniscayaan dalam
keberhasilan suatu dakwah. (Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, 2006: 70)
4. Manusia sebagai individu
Individu merupakan sebutan yang dapat
dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas.Individu
adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan yang khas dalam
lingkungan sosialnya melainkan juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku
yang sepesifik.Dala dirinya terkandung tiga aspek yang saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya, yaitu aspek organic jasmaniah, psikis rohaniah, dan aspek
social.
Dalam membentuk kepribadian seorang
manusia, factor intern (bawaan) dan factor ekstern (lingkungan) saling
mempengaruhi, pribadi terpengaruh lingkungan dan lingkungan di ubah oleh
pribadi.Factor intern yang ada dalam diri manusia terus berkembang, dan hasil
perkembangannya dipergunakan untuk mengembangkan pribadi tersebut lebih lanjut.
Dengan demikaian jelaslah bagaimana uniknya pribadi tersebut, sebab tentu saja
tidak ada pribadi yang sama, yang benar-benar identik dengan pribadi yang lain.
Secara psikologis, manusia sebagai objek
dakwah dibedakan oleh berbagai aspek (faizah dan lalu muchsin effendi, 2006 :
70)
- Sifat-sifat kepribadian (personality traits) yaitu adanya sifat-sifat manusia yang penakut, pemarah, suka bergaul, peramah, sombong dan sebagainya.
- Inteligensi yaitu aspek kecerdasan seseorang mencakup kewaspadaan, kemampuan belajar, kecepatan berpikir, kesanggupan untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat, kepandaian menangkap dan mengolah kesan-kesan atau masalah dan kemampuan mengambil kesimpulan.
- Pengetahuan
- Keterampilan
- Nilai-nilai
- Peranan
Ketika dakwah dilakukan kepada seorang
individu, perubahan individu harus diwujudkan dalam satu landasan yang kokoh
serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya
itu menciptakan arus, gelombang atau paling tidak riak yang menyentih orang
lain. Pembinaan individu harus dilakukan bebarengan dengan pembinaan
masyarakat, pada saat yang sama masing-masing menunjang yang lain,
pribadi-pribadi tersebut menunjang terciptanya masyarakat dan masyarakat pun
mewarnaipribadi-pribadi itu dengan warna yang dimilikinya.
5. Manusia sebagai anggota
masyarakat
Manusia secara hakiki merupakan mahluk
social, sejak ia dilahirkan ia memerlukan orang lain untuk memenuhi segala
kebutuhannya. Pada tahap awal pertumbuhannya ia memerlukan orang tuanya atau
keluarganya. Menginjak dewasa ia mulai terlibat kontak social dengan
teman-teman sepermainannya, ia mulai mengerti bahwa dalam kelompok
sepermainannya terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma social yang
harus dipatuhi.Dengan demiakian sejak awal manusia sudah mengenal norma-norma,
nilai-nilai yang ada pada masyarakat atau kelompok dimana ia hidup dan sejak
dini juga telah tertanam dalam pribadi seorang anak, karenanya walaupun secara
pribadi manusia adalah unik namun tak terlepas dari pengaruh budaya
masyarakat dimana ia hidup.
Masyarakat sebagai objek dakwah atau
sasaran dakwah adalah salah satu unsure yang penting dalam system dakwah yang
tidak kalah perannanya dibandingkan dengan unsure-unsur dakwah yang lain.
Masyarakat dapat memiliki arti luas dan sempit.Dalamarti luas masyarakat adalah
keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh
lingkungan, bangsa dan sebagainya.Dalam arti sempit yang dimaksud masyarakat
adalah hubun gan sekelompok manusia yang dib atasi oleh aspek-aspek tertentu.
C. Pengaruh Dakwah
Islam Terhadap Individu dan Masyarakat
Islam sebagai agama yang universal sangat
nenerhatikan manusia sebagai individu, karena individu merupakan dasar bagi
terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur yang berkeadilan dsn damai. Suatu
masyarakat tidak akan sejahtera, damai ,aman dan berkeadilan, jika tidak di
tanamkan sendini munngkin makna dari nilai-nilai kekedamaian, keadilan dan
kesejahteraan kepada setiap indivdi masyarakat, karena m asyarakat pada
hakikatnya adalah komunitas yang terdiri dari andividu yang hidup di
suatui daerah yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk saling dapat
di memenuhib kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Dan manusia tidak akan mampu
bertahan hidup hanya dengan kesendirian (individu) tanpa bantuan yang lain.
Karena itu, manusia oleh para sosiolog di anggap sebagai mahluk social.
Dalam islam, manusia secara individu di
anjurkan untuk memperhatikan dan meningkatkan kualitas hidupnya, baik yang
berkaitan dengan dunia yang ia jalani saat ini, atupun kehidupan akhirat yang
akan di jalani kelak.
Hal ini telah di contohkan oleh
Rosulullah kehidupan pribadinya yang berkaitan dengan keduniaan sebagi seorang
pengembala dan pedagang di satu sisi, dan di sisi lain berkaitan dengan
kehidupan akhikrat sebagai seoran g hamba yang sangat taat beribadah siang dan
malam kepada Allah SWT. Sebagai bekal kelak di akhirat. Islam sebagi agama yang
nmenmbawa syariat baru sebagi pelengkap syariat-syariat sebelumnya, juyga
melandaskan ajarannya ada kemaslahatan (mashalih al-ibad) yang berarti bahawa
ajaran islam di turunkan oleh Allah utuk memeberikan bimbingan-bimbingan
arah-arahan demi kemaslahatan mnusia agar dapat mencapai individu-individu yang
saleh dan beguna bagi diri sendiri dan masyaraakat. Shalt misalkan,di wajibkan
oleh Allah sebagi penyuci jiwa dan raga sehingga dapat m,enghindarkan diri dari
per buatan-perbuatan keji dan mungkar seperti dalam firman Allah surat
Al-Ankabut ayat 45: yang artinya “ bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu al-kitab (al-quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.Dan sesungguhnya mengingat Allah
adalah lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut al-sayyid sabiq, dakwah islam
memberikan perhatian terhadap manusia sebagai individu dalam tiga hal, jasmani,
akal, dan moral. Perhatian terhadap jasmani mencakup penjagaan terhadap
kesehatan jasmani agar ia mempunyai raga yang kuat yang jauh dari penyakit,
sehingga akan mampu menghadapi berbagai macam kesulitan. Sedangkan yang
brekaitan dengan akal, islam mengajak agar setiap individu agar berpikir sehat
dan jernih sehingga dapat mengambil keputusan berdasarkan kejujuran, keadilan
dan mampu untuk memahami lingkungan yang mengelilingi dan dapat belajar dari
perjalanan umat-umat yang terdahulu. Sedangkan moral berkaitan dengan ajakan
untuk melatih hati agar mempunyai kecendrungan akan kebaikan dan menjauhi
keburukan.
–oo0()0oo–
BAB VII
HAKIKAT PESAN DAKWAH
A. Pengertian Hakekat
Pesan dakwah
Pesan menurut bahasa
adalah perintah, nasehat, permintaan, amanat, yang
harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain. Dalam Ilmu
Komunikasi, pesan mengandung arti keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh
komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan (tema) yang sebenarnya menjadi
pengarah di dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan.
Dakwah secara etimologi adalah memanggil,
mengundang, mengajak, menyeru, mendorong dan memohon. Sedangkan secara
terminology menurut pendapat Syeikh Ali makhpuz dalam kitabnya Hidayat al
Mursyidin bahwa dakwah adalah mendorong manusia agar memperbuat kebaikan dan
menurut petunjuk, menyeru mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari
perbuatan mungkar, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hakikat pesan dakwah adalah Islam atau
Syariat sebagai kebenaran hakiki yang datang dari Allah melalui Malaikat Jibril
kepada para nabi-Nya dan terakhir kepada Nabi Muhammad SAW. Pesan dakwah ini
dalam al-Qur’an diungkapkan dengan term yang beraneka ragam yang menunjukan
fungsi kandungan ajaran-Nya, misalnya dalam Q.S An-Nahl: 125 disebut dengan
Sabili rabbika (jalan Tuhanmu).
Sumber utama ajaran Islam sebagai pesan
dakwah adalah al-Qur’an itu sendiri, yang memiliki maksud spesifik, paling
tidak terdapat sepuluh maksud pesan al-Qur’an sebagai sumber utama Islam,
yaitu: (1) Menjelaskan hakekat tiga rukun agama Islam, yaitu Iman, Islam, Ihsan
yang telah didakwahkan oleh para rasul dan nabi. (2) Menjelaskan segala sesuatu
yang belum diketahui oleh manusia hakikat kenabian, risalah, dan tugas para
Rasul Allah. (3)Menyempurnakan aspek psikologis manusia secara individu,
kelompok dan masyarakat. (4) Mereformasi kehidupan social kemasyarakatan dan
social politik diatas dasar kesaatuan nilai kedaimaian dan keselamatan dalam
keagamaan. (5) Mengokohkan keistimewaan universalitas ajaran Islam dalam
pembentukan kepribadian melalui kewajiban dan larangan.(6)Menjelaskan hukum
Islam tentang kehidupan politik Negara.(7) Membimbing penggunaan urusan harta.
(8)Mereformasi system peperangan guna mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan
manusia dan mencegah dehumanisasi. (9) Menjamin dan memberikan kedudukan yang
layak bagi hak- hak kemanusiaan wanita dalam beragama dan berbudaya. (10)
Membebaskan perbudakan.[32]
Al-Qur’an menjelaskan Islam sebagai pesan
dakwah memiliki karakteristik unik dan selalu masa kini, yaitu:
- Islam sebagai agama fitrah (Q.S Ar-rum:30)
- Islam sebagai agama rasional dan pemikiran (Q.S Al-Baqoroh :164, Ali-Imron: 191, dan Ar-rum: 8)
- Islam sebagai agama argumentative (hujjah), dan demonstrative (burhan), (Q.S An-nisa: 172, dan Al-an’am: 83)
- Islam sebagai agama hati (qalb), kesadaran (wijdan), dan nurani (dhamir). (Q.S Qaff: 37, Al-Syuara: 88-89, Ar-Ra’du: 70)
- Islam sebagai agama kebebasan (huriyah dan kemerdekaan (istiqlal) Q.S Al-Baqoroh 170, 256, dan Al-Maidah.
- Islam sebagai agama kebebasan (huriyah) dan kemerdekaan (istiqlal) Q.S Al-Baqarah 170, 256, dan Al-Maidah:107)
- Selain yang telah dikemukakan, islam juga sebagai agama kedamaian dan kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan al-a’lamin)
Murtadha Muthahari (1991) mengemukakan
karakteristik filosofis pandangan dunia Islam sebagai pesan dakwah yang
dirumuskan dalam proposisi-proposisi sebagai berikut:
- Alam semesta ini memiliki sifat ilahi (divine nature).
- Alam semesta yang realitasnya tergantung pada-Nya dan yang diciptakan dalam zat-Nya, juga diciptakan dalam artian temporal.
- Apapun yang nyata didunia ini, adalah tingkatan yang lebih rendah dari realitas yang termasuk dalam dunia lain yang disebut alam ghaib.
- Alam semesta mempunyai tabiat kembali kepada-Nya
- Alam semesta adalah suatu sistem sebab-akibat yang ketat.
- System sebab-akibat tidak terbatas pada sebab dan akibat yang bersifat psikologis saja;
- Terdapat serangkaian tradisi (sunnah) dan hukum-hukum yang kokoh yang menganut dunia dan esensial bagi sistem sebab dan akibat dialam semesta;
- Alam semesta adalah suatu realitas yang terbimbing dan perkembangan alam semesta adalah perkembangan yang terbimbing;
- Dunia mengandung kebaikan dan kejahatan keserasian dan ketidakserasian, kemurahan dan kekikiran, cahaya dan kegelapan, gerakan dan diam; tetapi kebaikan , keserasian, kemurahan hati, cahaya dan gerakan mempunyai eksistensi yang asli, sementara kejahatan, kontradiksi, kekikiran, kegelapan dan diam, mempunyai eksistensi yang bersifat parasitis dan sub-ordinate. Namun eksistensi yang parasitisdan subordinate itu memainkan peranan yang sangat penting dalam menciptakan kebaikan, keserasian, kemurahan hati, cahaya, gerakan dan perkembangan;
- Karena alam semesta merupakan kesatuan yang hidup, artinya, karena alam semesta diatur oleh kekuatan-kekuatan yang cerdas (Q.S Anl-Naziat:5), maka ia adalah alam semesta aksi dan reaksi. Alam semesta tidaklah acuh terhadap kebaikan dan kejahatan manusia, ada pahala dan hukuman, pertolongan dan pembalasan yang seimbang (Qishash) didunia ini, disamping yang akan datang diakhirat. Bersyukur dan berbuat kufur tidaklah sama (Q.S Ibrahim:7);
- Sesudah kehidupan yang sekarang ini, manusia akan mengalami kehidupan abadi dimana manusia akan diberi pahala atau hukuman sebagai hasil dari awal perbuatannya dal;am kehidupan yang sekarang ini;
- Ruh manusia adalah kenyataan yang abadi;
- Prinsip dasar dan dasar-dasar kehidupan, yakni prinsip- prinsip kehidupan moral dan manusiawi adalah abadi dan tetap;
- Kebenaran juga adalah abadi;
- Alam semesta, bumi dan langit dibangun dengan adil (Q.S al-Ahqaf:3);
- Kehendak ilahi menggariskan kemenangan akhir kebenaran atas kebatilan (Q.S Al- Syafat :171-173);
- Manusia diciptakan sederajat dan tak seorangpun mempunyai hak istimewa atass orang lain, karena rupa kejadiannya, sebab manusia hanya dibedakan menurut (a) Ilmunya (Q.S al-Zumar:9), (b) perjuangan keagamaan dan spiritualnya dijalan Tuhan (Q.S al-Nisa:95), dan (c) ketaqwaanya (Q.S al-Hujarat:13);
- Menurut tabeatnya, manusia memiliki serangkaian pembawaan moral dan religius;
- Karena setiap orang dilahirkan dengan membawa fitrah manusiawi, maa orang yang paling jahatpun kemampuan untuk menerima nasihat dan bertaubat;
- Meskipun manusia merupakan satu kesatuan yang riel, ia juga merupakan gabungan (dari unsure-unsur yang berbeda);
- Karena manusia memiliki esensi spiritual yang mandiri dan kehendak seseorang bersumber realitas spiritualnya, maka manusia adalah merdeka independent;
- Umat manusia, seperti halnya individu, adalah juga gabungan (dari unsure-unsur yang bertentangan) dan memiliki hukum-hukum, tradisi-tradisi (sunah) dan institusi-institusi, dan sebagai suatu keseluruhan sepanjang sejarahnya belum pernah tergantung pada kehendak satu orang manusia tertentu. Unsur-unsur bertentangan yang membentuk struktur masyarakat umat manusia, yaitu kelompok-kelompok intelektual, bisnis, politik, dan ekonomi sama sekali tidaklah kehilanagan identitas mereka;
- Tuhan tidak mengubah suatu nasib suatu kaum kecuali jika mereka sendiri mengubah diri mereka sendiri (terlebih dahulu) mengubah apa yang ada dalam diri mereka (Q.S al-Ra’d:11);
- Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan alam semesta termasuk manusia, adalah Dzat Yang Maha Kaya, lengakap dalam segala aspek dan sempurna secara mutlak;
- Alam semesta memiliki ketetapan khusus, seperti keterpaduan organis diri suatu makhluk hidup, sebab ia berasal dari satu sumber (Tuhan) dan kembali kepada-Nya dalam jalan yang serasi.
Selanjutnya, Murtadha Muthahari (1991)
merinci karakteristik utama ideology Islam sebagai pesan dakwah ini kedalam
proposisi-proposisi[33] berikut:
- Salah satu kelebihan Islam dari agama-agama lain atau lebih tepatnya, salah satu kelebihan agama Tuhan dalam bentuknya yang sering meliput dari bentuk-bentuknya yang sebelumnya adalah kelengkapannya.
- Aplikabilitas metode ijtihad.
- Kemudahan dan keluwesan
- Orientasi kepada kehidupan
- Amar ma’ruf nahi munkar bersumber dan bertanggung jawab sosial.
- Hak dan kebebasan individu;
- Prioritas hak masyarakat atas hak individu;
- Prinsip musyawarah dalam membuat keputusan;
- Asas kemanfaatan;
- Penapian kerugian;
- Ketentuan transaksi bisnis haruslah bermanfaa’at;
- Jika modal tidak terlibat dalam penggunaan praktis, dan karenanya tidak terkena resiko kerugian atau kebangkrutan, yakni jika ia mengambil bentuk pinjaman kepada orang lain, maka ia menjadi mandul dan tak produktif, dan keuntungan apapunyang dihasilkannya melalui “Bunga”, adalah riba dan secara tegas “diharamkan”,
- Setiap penghasilan kekayaan harus dilakukan dengan kesadaran penuh dari kedua belah pihak, dan informasi yang diperlukan harus diperoleh sebalumnya sebab transaksi bisnis yang dilakukan dengan jalan resiko dan ketidaktahuan adalah hampa;
- Menentang ketidak masuk-akalan;
- Menentang hal-hal yang merintangi kemauan;
- Etos kerja yang memusuhi pengangguaran;
- Kesucian kerja dan propesi;
- Larangan pemerasan;
- Larangan penghamburan dan penyia-yiaan;
- Peningkatan kehidupan;
- Larangan menyuap;
- Larangan menimbun barang;
- Mempunyai penghasilan adalah dibenarkan selama penghasilan tersebut memberikan konstribusi kepada kesejahteraan masyarakat;
- Kewajiban membela hak-hak masyarakat, baik hak individu maupun hak social dan melawan aggressor (Q.S al-Nisa:148);
- Mengusahakan perbaikan dan terus menerus memerangi kejahatan;
- Tauhid landasan teori dan peraktik berfikirdan berperilaku;
- Tidak ada perantara dalam menyembah Allah;
- Hidup berdampingan dengan monotheisme yang lain;
- Persamaan derajat, tidak dibenarkan diskriminasi;
- Hak-hak kewajiban dan hukum dibedakan menurut jenis kelamin demi menegakan keadilan.
B. Efektifitas
Pesan Dakwah secara verbal (lisan)
Dakwah secara verbal (lisan) adalah
penyampaian informasi / pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi
langsung antara subjek dan objek dakwah). Yang dimaksud dengan efektifitas
dakwah secara verbal (lisan) disini adalah apakah ceramah-ceramah agama yang
dilakukan oleh para da’I itu mempunyai manfaat nyata atau hanya sekedar
informasi verbal yang kurang memberi pengaruh terhadap mad’u. Dakwah secara
verbal (lisan) dapat dinyatakan efektif bilamana :
- Berkaitan dengan acara-acara ritual seperti khutbah jum’at, khutbah hari raya. Dikatakan efektif karena ia merupakan dari “ibadah”, selagi isi dan sistematikanya menarik serta rentang waktunya ideal. Karena sering terjadi bila para mad’u bosan mendengar karena tidak terpenuhinya salah satu syarat diatas, mereka akan bubar meninggalkan khotib. Hal ini sering terjadi bila shalat jema’ah tersebut terbuka.
- Kajian materi yang disampaikan berupa tuntunan praktis dan disampaikan kepada mad’u yang terbatas baik jumlahnya maupun luas ruangan. Misalnya materi tentang perawatan jenazah, cara berwudhu, cara sholat yang benar dan sebagainya.
- Disampaikan dalam konteks sajian terprogram secara rutin dan memakai kitab-kitab sebagai sumber kajian. Dikatakan efektif karena bahannya dapat diperoleh dan dipelajari lebih dalam oleh mad’u. Dan sistem penyampaian maupun penyerapan materinya oleh mad’u secara bersambung, sekaligus menghindari duplikasi materi yang bisa berakibat membosankan mad’unya.
- Disampaikan dengan sistem dialog dan bukan monologis, sehingga mad’u dapat memahami materi dakwah secara tuntas, setidak-tidaknya metode ceramah masih dapat dikatakan efektif manakala diiringi tanya jawab dua arah. Manfaat lain disamping lebih komunikatif juga lebih semarak, lebih semangat dan lebih menarik.
Selanjutnya dakwah secara verbal (lisan)
terasa kurang efektif, manakalanya penyampaian tidak mengacu kepada
ketentuan-ketentuan tersebut. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa dakwah
dirasakan kurang efektif antara lain:
- Diadakan secara rutin tapi tidak terprogram, disamping oleh orang yang berbeda-beda sehingga sering terjadi duplikasi materi dari orang yang sama maupun dari orang yang berbeda.
- Disampaikan secara insidentil, seperti pada hari-hari besar Islam, meskipun manfaatnya juga besar terutama dari sisi syiar Islam, namun hasil serapannya bagi mad’u kurang maksimal, terutama kalau tidak ada follow upnya, bahkan bisa jadi terkesan mubadzir. Sangat dimaklumi, bahwa tidak mudah merubah hal-hal rutin yang telah mentradisi, bisa menimbulkan gejolak / asumsi negative misalnya dianggap merusak syiar Islam dan sebagainya.
Didalam menentukan materi dakwah ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Memilih bahan yang tepat
Yang dimaksud dengan memilih bahan yang
tepat ialah yang ada hubungannya dengan :
- Bentuk acara yang sudah disediakan, agar lebih cepat memandang pemikiran si pendengar, karena acara tersebut sudah direncanakan. Akan terasa janggal dan asing bila materi pembahasan tidak ada kaitannya dengan acara yang dibicarakan.
- Pekerjaan atau usaha, maksudnya dalam penyampaian materi dakwah seorang da’I dituntut dalam pembahasannya mempunyai hubungan dengan pekerjaan dan usaha dari masyarakatnya.
- Jangkauan ilmu tentang bahan tersebut
Materi tabligh yang disampaikan oleh da’I
yang bersangkutan betul-betul dapat menguasai bahan/materi dakwah. Apabila da’I
tidak mempersiapkan materinya dengan seoptimal mungkin maka akibatnya akan fatal,
sering ditemui para da’I yang tidak mempunyai persiapan maka akan menyebabkan
timbulnya sifat ragu kaku, hilangnya konsentrasi, keluarnya keringat-keringat
dingin, dan lain sebagainya. Oleh karena itu bila materi dan bahan dakwah belum
dipersiapkan seoptimal mungkin, maka para da’I lebih baik tidak memberikan
dakwahnya.
2. Menyusun secara sistematis
Menyusun bahan tabligh secara sistematis
memang sangat diperlukan oleh seorang da’I . Adapun susunannya adalah Judul,
Pendahuluan, Isi, dan Penutup (kesimpulan dan saran)
3. Menguasai bahan
Setelah judul dari suatu uraian sudah
kita tetapkan dan kerangkanya pun sudah disiapkan, sehingga sudah jelas mau
kemana si mad’u kita ajak. Maka tugas selanjutnya ialah menguasai bahan
tersebut tahap demi tahap. Hal ini bukan menghafal teks atau kalimat demi
kalimat akan tetapi menguasai dari kerangka tersebut mau kemana titik fokus
uraian dari ayat-ayat dan hadist-hadist sebagai argumentasinya serta
contoh-contoh yang akan mempercepat paham si mad’u.
Secara umum materi dakwah dapat
diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok, yaitu:
1. Masalah Akidah (Keimanan)
Masalah pokok yang menjadi materi dakwah
adalah akidah Islamiyah . Aspek akidah ini yang akan membentuk moral (akhlaq)
manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah Islam
adalah masalah akidah / keimanan. Akidah yang menjadi materi utama dakwah ini
mempunyai cirri-ciri yang membedakan dengan kepercayaan lain, yaitu :
- Keterbukaan melalui persaksian(syahadat). Dengan demikian seorang muslim harus jelas identitasnya dan bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain.
- Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan kelompok atau bangsa trtentu. Dan soal kemanusiaan juga diperkenalkan kesatuan asal usul manusia. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan bahwa seluruh ajjaran akidah baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami.
- Ketahanan antara iman dan Islam atau antara Iman dan amal perbuatan. Dalam ibadah-ibadah pokok yang merupakan manifestasi dari iman dipadukan dengan segi-segi pengembangan diri dan kepribadian seseorang dengan kemaslahatan masyarakat yang menuju pada kesejahteraannya. Karena akidah memiliki keterlibatan dengan soal-soal kemasyarakatan.
- Keyakinan demikian yang oleh Al-Qur’an disebut dengan iman . Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Iman juga erat kaitannya antara akal dan wahyu.
2. Masalah Syariah
Hukum atau syariah sering disebut sebagai
cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna,
maka peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan syariah
merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang melestarikan dan
melindunginya dalam sejarah. Syariah inilah yang akan selalu menjadi kekuatan
peradaban di kalangan kaum muslim.
Materi dakwah yang bersifat syariah ini
sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. Ia merupakan jantung yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat Islam diberbagai penjuru dunia, dan sekaligus
merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariah Islam antar
lain, adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Syariah ini
bersifat universal, yang menjelaskan hak-hak umat muslim dan nonmuslim, bahkan
hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariah ini, maka tatanan system
dunia akan teratur dan sempurna.
3. Masalah Mu’amalah
Islam merupakan agama yang menekankan
urusan mu’amalah lebih besar porsinya daripada urusan ibadah. Islam lebih
banyak memerhatikan aspek kehidupan social daripada aspek kehidupan ritual.
Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini mesjid, tempat mengabdi
kepada Allah. Ibadah dalam mu’amalah di sini, diartikan sebagai ibadah yang
mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT.
4. Masalah Akhlak
Ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya
meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi
kejiwaannya. Akhlak dalam Islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat
diimplementasikan, dan bukan pula sekumpulan etika yang telepas dari kebaikan
norma sejati. Dengan demikian, yang menjadi materi akhlak dalam Islam adalah
mengenai sifat dan criteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang
harus dipenuhinya. Karena semua manusia harus mempertanggungjawabkan setiap
perbuatannya, maka Islam mengajarkan kriteria perbuatan dan kewajiban yang
mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan.
C. Efektifitas
Pesan Dakwah Secara Nonverbal (Hal)
Dakwah secara nonverbal (hal) adalah
dakwah dengan perbuatan nyata seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, terbukti
bahwa pertama kali tiba di madinah yang dilakukan adalah pembangunan Masjid
Quba, mempersatukan kaum Ansor dan Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah dan
seterusnya.
Ada beberapa ciri-ciri umum dalam dakwah
nabi di Madinah yang dapat di identifikasi, yaitu:
- Menjaga kesinambungan tarbiyah dan tazkiyah bagi sahabat yang telah memeluk Islam. Program yang dilakukan adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk semua masyarakat, menyucikan jiwa dan mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an dan As-sunnah, membangun masjid dan mempersaudarakan antara orang-orang muhajirin dan orang-orang ansar.
- Mendirikan daulah Islamiyyah. Daulah adalah sarana dakwah yang paling besar, dan mempunyai lembaga terpenting yang secara resmi menyuarakan nilai-nilai dakwah. Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang jika kami
teguhkan kedudukan mereka di bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allah lah kembali segala urusan.”(Q.S Al-Hajj: 41).
Adapun beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam pembentukan daulah yang terdiri dari tiga syarat berikut:
- Adanya basis massa kaum muslimin yang solid.
- Adanya negeri yang layak dan memenuhi syarat.
- Tersedianya perangkat sistem yang jelas.
- Adanya keseriusan untuk menetapkan hukum syariat untuk seluruh lapisan masyarakat, baik sekala personal maupun jemaah. Seperti melaksanakan syiar-syiar Islam, menerapkan hudud dan memutuskan perkara diantara orang yang berselisih. Keseriusan penerapan syariat ini adalah dalam rangka menegakan hukum Allah dimuka bumi serta memberikan contoh nyata model masyarakat Islam yang layak untuk diikuti disetiap masa dan tempat.
- Hidup berdampingan dengan musuh islam yang menyatakan ingin hidup damai dan bermuamalah dengan mereka dengan aturan yang jelas. Toleransi ini disatu sisi bertujuan untuk mempertontonkan secara langsung kepada mereka indahnya model masyarakat Islam, dan disisi lain dapat menciptakan kestabilan hidup bernegara.
- Menghadapi secara tegas pihak yang memilih perang serta melakukan psy war (perang urat saraf) bagi kelompok yang selalu mengintai peluang atau menunggu kesempatan untuk menyerang daulah islamiyah dengan mengirim pasukan-pasukan kecil, serta melakukan persiapan kekuatan kesinambungan untuk menghadapi beberapa kemungkinan-kemungkinan tersebut. Allah berfirman:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat
untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah,
musuh mu dan orang-orang selain mereka yang tidak kamu mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya Apa yang kamu Nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(Q.S. Al-Anfal: 60).
- Merealisasikan universalitas dakwah islam dengan merambah seluruh kawasan dunia.
- Melalui surat, mengirim duta, mengirim rombongan, menerima utusan yang datang dan seterusnya.
Dakwah secara nonverbal (Hal) ini
ternyata sangat efektif. “Lisanul Hali Afsohu min Lisanil Maqoli”. Akan tetapi
sebagian umat Islam kurang memperhatikan efektifitas dakwah dengan cara ini,
sehingga mereka lebih suka dakwah secara verbal (lisan). Padahal hasilnya tidak
maksimal dan sangat lamban. Berbeda dengan dakwah secara nonverbal (hal) yang
menghasilkan karya nyata yang mampu menjawab hajat hidup manusia, misalnya
menyantuni yatim piatu, membayarkan SPP anak-anak kuranga mampu, memberikan
pelayanan kesehatan, membagi-bagikan sembako, membantu korban bencana alam dan
sebagainya.
Sebenarnya konsep dakwah nonverbal (hal)
ini bersumber pada ajaran Islam yang dicontohkan langsung oleh Rasululah dan
para sahabatnya, sehingga umat Islam yang seharusnya menjadi pelopor
pelaksanaan dakwah ini. Namun kalau kita menengok sekeliling kita, ternyata
para misionaris Kristen katolik yang mempraktekkannya, sedangkan dakwah Islam
tetap terjebak pada nilai normalistik yang kaku, sehingga sering terjadi
perpindahan agama khususnya dipelosok-pelosok yang kondisi ekonomi masyarakat
Islamnya memprihatinkan. Bagi mereka (orang awam) yang terpenting bagaimana
bisa bertahan hidup.
Kenyataan ini membuktikan betapa
efektifnya dakwah secara nonverbal (hal) tanpa mengabaikan dakwah secara verbal
(lisan), maka dakwah secara nonverbal (hal) seharusnya menjadi prioritas utama,
sekaligus merupakan usaha preventif bagi umat Islam (dipelosok desa) agar tidak
pindah agama.
–oo0()0oo–
BAB VIII
HAKIKAT UMMAT/MASYARAKAT SEBAGAI MAD’U
A. Pengertian Ummat
1. Pengertian Ummat Menurut Bahasa
Berdasarkan kamus Al-Munjid fi Al-Lughah
Wa Aa’lam kata “ummah” memiliki tiga arti, yaitu:
- Ath-thariqah berarti jalan atau suatu pola hidup.
- Ummah sebagai kata jamak meskipun memilki bentuk jamak, yaitu, “umam” . dalam posisi ini, ummah berarti sekumpulan manusia, al-jayl (suatu generasi manusia), dan al-wathan (negara).
- Al-Hiin/Al-Qamah, berarti batas waktu tertentu.
Dengan pengertian lughawi (etimologi)
ini, ummah dapat dipahami sebagai sekelompok manusia yang hidup pada suatu
batas tertentu, wilayah tertentu, atau memiliki pola hidup tertentu. Oleh
karena itu kata ummah dapat disatukan dengan kata yang menggambarkan ketiga
batasan tersebut, seperti “ummat islam” berarti sekelompok manusia yang berpola
hidup islami atau yang beragama islam. “Ummat Muhammad” berarti sekelompok
manusia sejak diutusnya nabi muhammad hingga berakhirnya keberlakuan
risalahnya. Dapat pula dibatasi dengan suatu sifat dan pada posisi ini
“umat” berarti hanya sekelompok manusia.[34]
Artinya: Ummah = tanah air, jalan
besar, masa suatu kurun (masa atau zaman) dari manusia. Setiap umat memiliki
nabi yang diutus kepada mereka. Karena itu setiap umat selalu dikaitkan dengan
seorang nabi, sehingga dikatakan umat nabi Nuh AS, umat nabi Ibrahim AS, umat
nabi Isa AS, dan umat nabi Muhammad SAW. Diantara mereka ada yang ingkar dan
ada pula yang beriman. Karena itu setiap generasi manusia yang kepada meraka diutus
seorang nabi adalah umat yang satu. umat bisa juga berarti Al-Jama’ah (jamaah)
yakni suatu generasi dari manusia atau Bangsa (Al-Watan).
Sumber lain mengartikannya a People
(orang-orang, rakyat, sanak keluarga, kelompok atau kelastertentu), Nation
(negara, bangsa) dan Sect (golongan agama, golongan kecil yang
beranggotakan orang-orang yang mempunyai prinsip politik, kepercayaan dan
pendapat yang sama, golongan agama yang memisahkan diri dari gereja). Dalam
bahasa Indonesia arti umat adalah para penganut suatu agama atau nabi (seperti
umat islam dan umat kristen) atau orang banyak. Umat manusia berati sekalian
(bangsa) manusia.[35]
Berhubungan dengan hal ini, kata manusia
dalam Al-Qur’an disebutkan dengan menggunakan kata Unas,Insan,Annas[36] yang berarti
jenis makhluk individual yang memiliki kebebasan ikhtiar, kehendak dan
bertanggungjawab atas perbuatan sesuai pilihannya. Sebagai makhluk yang
diberikan akal, dan potensi kemampuan berbuat baik dan berbuat tidak baik.
Sebagai makhluk yang lupa akan janji pengakuannya bahwa Allah Tuhannya ketika
di alam ruh sebelum ruh itu bersatu dengan jasad.
Dalam Al-Qur’an juga pengertian manusia
ini disebutkan dengan kata Basyar, Basyirin, Tsaqolan, Anam[37] yang berarti
jenis makhluk yang tidak hidup menyendiri tetapi membutuhkan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai makhluk social yang saling membutuhkan
antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan dalam mencapai tujuan
hidupnya dan sebagai makhluk berbudaya dan berpendidikan.
Umat pada hakekatnya adalah individu
insan yang berinteraksi dalam komunitas sebagai al-Basyar, yang membentuk
struktur, fungsi dan peran masing-masing dalam menjalankan fungsi keabidan dan
kekhalifahan di atas dasar kebebasan, penghambaan, kebebasan berakidah,
kebebasan akal dan pendapat serta kebebasan berkehendak. Term al-Mala,
al-Mustadafin.
2. Pengertian Ummat Menurut Istilah
Kata ummat artinya Jamaah, yang berarti
golongan. Dalam kamus Al-Munjid disebutkan bahwa istilah jamaah tidak hanya
terbatas kepada manusia saja, akan tetapi istilah Jamaah juga digunakan untuk
hewan. Maka berdasarkan penjesan ini, jelaslah bahwa kata ummat bermakna
golongan atau sekumpulan apa saja, baik itu manusia ataupun hewan.
Menurut istilah kata ummat terdapat
perbedaan pengertian diantara mufassirun, walaupun tidak sedikit juga diantara
mereka yang memberi pengertian yang sama dengan arti harfiahnya, yaitu
mengartikan ummat dengan jamaah (golongan), jadi pengertian ini sama dengan
pengertin hafiah[38].
B.
Hakikat Ummat
Kata “umat” pada hakekatnya adalah
individu Insan yang berinteraksi dalam komunitas sebagai Al-Basyar, yang
membentuk struktur, fungsi dan peran masing-masing dalam menjalankan fungsi
keabidan dan kekhalifahan di atas dasar kebebasan, penghambaan, kebebasan
berakidah, kebebasan akal dan pendapat serta kebebasan berkehendak. Term
al-Mala, al-Mustadafin.[39]
Kebebasan individu dalam komunitas
Al-Basyar akan berkaitan dengan problem kebebasan, individual, kekuatan social,
tanggungjawab individual dan social, nilai dan norma individual dan sosial, hak
dan kewajiban dalam upaya mencapai kebaikan dan kebenaran hidup insan yang
berinteraksi dalam komunitas al-Basyar. Pencapaian tujuan ini hanya didapat
melalui penegakan dakwah Islam dalam berbagai konteksnya. Situasi dan kondisi
ketercapaiannya tujuan itu disebut khaira ummah. Dengan demikian umat merupakan
medan terjadinya peristiwa aktifitas dakwah Islam diluar konteks dakwah
nafsiyah (intra individu).
Komunitas ummah setelah datangnya dakwah
Islam kepada mereka terbagi menjadi dua kategori, yaitu Umat Muslim dan umat
muhamadiyah dan umat non muslim. Bagi yang pertama dicirikan dengan adanya
interaksi kasih sayang diantara sesame, melakukan ruku dan sujud dalam mencapai
Ridha Allah SWT. Berbarengan dengan itu mereka tidak terlibat dengan perbuatan
pembangkangan terhadap kebenaran. Kemudian, jika dilihat dari sisi territorial,
ummah dan komunitas itu terdiri dari Al-Islam dan Al-Harb.
Teori-teori tentang hakikat masyarakat
yang berkembang dan dianut dunia pada umumnya adalah :
a. Teori Atomistic
Pada periode masyarakat sebelum
terbentuknya negara seperti yang kita kenal sekarang (pre social state) manusia
sebagai pribadi adalah bebas dan independen. Dengan demikian masyarakat
dibentuk atas dasar kehendak bersama, untuk tujuan bersama para individu, yang
kemudian menjadi warga masyarakat itu.
Pribadi manusia sebagai individu memiliki
kebebasan, kemerdekaan dan persamaan diantara manusia lainnya. Karena didorong
oleh kesadaran tertentu, mereka secara sukarela membentuk masyarakat, dan
masyarakat dalam bentuknya yang formal ialah negara. Oleh sebab itu masyarakat
adalah perwujudan kontrak sosial, perjanjian bersama warga masyarakat itu.
Berdasarkan asas pandangan atomisme ini penghargaan kepada pribadi manusia adalah
prinsip utama. Artinya setiap praktek tentang kehidupan di dalam masyarakat
selalu diarahkan bagi pembianaan hak-hak asasi manusia, demi martabat manusia.
b. Teori Organisme
Pada dasarnya setiap individu dilahirkan
dan berkembang di dalam masyarakat. Manusia lahir dalam wujud yang serba lemah,
lahir dan bathin. Keadaannya dan perkembangannya amat tergantung (dependent)
kepada orang lain, minimal kepada keluarganya. Kenyataan ini tidak hanya pada
masa bayi dan masa kanak-kanak, bahkan di dalam perkembangan menuju kedewasaan
seseorang individu masih memerlukan bantuan orang lain. Misalnya dalam
penyesuaian kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu manusia saling membutuhkan
sesamanya demi kelanjutan hidup dan kesejahteraannya.
Prinsip pelaksanaan pola-pola kehidupan
di dalam masyarakat menurut teori organisme ialah:
- Bahwa kekuasaan dan kehendak masyarakat sebagai lembaga di atas hak, kepentingan, keinginan, cita-cita dan kekuasaan individu.
- Lembaga masyarakat yang meliputi seluruh bangsa, secara nasional, bersifat totalitas, pendidikan berfungsi mewujudkan warga negara yang ideal, dan bukan manusia sebagai individu yang idea.
c. Teori Integralistik
Menurut teori ini meskipun masyarakat
sebagai satu lembaga yang mencerminkan kebersamaan sebagai satu totalitas,
namun tidak dapat diingkari realita manusia sebagai pribadi. Sebaliknya manusia
sebagai pribadi selalu ada dan hidup di dalam kebersamaan di dalam masyarakat.
Jelas bahwa pribadi manusia adalah suatu realita di dalam masyarakat, seperti
halnya masyarakat pun adalah realita diantara bangsa-bangsa di dunia ini dan
komplementatif. Masyarakat ada karena terdiri dari pada individu-individu warga
masyarakat. Dan pribadi manusia, individu-individu dalam masyarakat itu
berkembang dan dipengaruhi oleh masyarakat.
Perwujudan masyarakat sebagai lembaga
kehidupan sosial tiada bedanya dengan kehidupan suatu keluarga. Tiap-tiap
anggota keluarga adalah warga yang sadar tentang status dirinya di dalam
keluarga itu, sebagaimana ia menyadari tanggung jawab dan kewajibannya atas
integritas keluarga tersebut. Sewajarnya tidak bertentangan dengan kepentingan
dan terutama kehormatan dan martabat keluarga. Bahkan kehormatan keluarga
adalah kehormatan anggota keluarga, demikian pula sebaliknya.
Pelaksanaan asas-asas menurut teori integralistik
yang dapat penulis samakan dengan teori kekeluargaan adalah berdasarkan
keseimbangan antara hak-hak (asasi) dan kewajiban-kewajiban (asasi). Praktek
tata kehidupan sosial berdasarkan kesadaran nilai-nilai, norma-norma sosial
yang berlaku dan dijunjung bersama baik oleh individu sebagai pribadi, maupun
oleh masyarakat sebagai lembaga. Kepentingan dan tujuan hidup individu meskipun
amat bersifat pribadi, tak dapat dipertentangkan dengan kepentingan dan tujuan
sosial. Sebab tiap individu menyadari hak dan kewajibannya masing-masing. Ini
berarti bahwa kebebasan (kemerdekaan) dan hak-hak individu dengan sendirinya
dibatasi oleh kemerdekaan dan hak-hak individu lain di dalam masyarakat.
Kesadaran atas nilai-nilai asasi demikian berarti merupakan dasar bagi tiap
individu untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara maksimal.
Kesadaran atas hak-hak asasi dan
kewajiban dalam antar hubungan manusia sudah pasti berdasarkan nilai-nilai
sosial yang berlaku berdasarkan norma-norma nilai tertentu. Nilai-nilai itulah
sebagai asas normatif. Asas normatif merupakan dasar terwujudnya harmonis di
dalam masyarakat. Tetapi, pelaksanaan asas normatif ini sudah tentu berbeda
dengan yang berlaku di dalam masyarakat yang berlatar belakang pandangan
filosofis atomisme atau organisme. Dalam masyarakat menurut teori
integralistik, asas kekeluargaan menjadi prinsip kehidupan bersama demi
kesejahteraan bersama, baik individu maupun keseluruhan. Walaupun pada
hakekatnya yang diutamakan adalah keseluruhan warga masyarakat, namun pandangan
integralistik tak mengabaikan individu. Karena realitas yang wajar ialah
menghormati pribadi sama dengan menghormati keseluruhan masyarakat sebagai satu
totalitas.
C. Mengenal
Strata Mad’u
Objek dakwah atau lebih dekenal dengan
sebutan adalah seluruh manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani
menjalankan agama islam dan diberi kebebasan untuk berikhtiar, kehendak dan
bertanggung jawab atas perbuatan sesuai dengan pilihannya, mulai dari individu,
keluarga, kelompok, golongan, kaum, masa, dan ummat manusia seluruhnya. Sebagai
makhluk Allah yang dineri akal dan potensi kemampuan berbuat baik dan berbuat
buruk, sebagai makhluk yang terkena sifat lupa akan janji dan pengakuannya
bahwa Allah adalah Tuhannya ketika dialam ruh sebelum ruh tersebut bersatu
dengan jasad.[40]
Manusia sebagai makhluk yang tidak hidup
menyendiri tetapi membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia
sebagai makhluk social yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya,
saling ketergantungan dalam mencapai tujuan hidupnya dan sebagai makhluk
berbudaya. Kemudian, manusia dengan potensi ruhani yang dimilikinya dapat
menerima dan menolak Syariat Islam yang diperuntukan dan berfungsi sebagai
aturan dan pedoman kehidupannya baik sebagai hamba maupun sebagai Khalifah
Tuhan di muka bumi. Perilaku manusia baik penolakan maupun penerimaan terhadap
ajaran Islam pada dasarnya merupakan ekspresi dan akumulasi potensi nafs (jiwa)
yang dimilikinya.
Potensi nafs yang dimiliki manusia ini
akan membawa posisi manusia yang baik dan benar, dan bisa juga membawa manusia
pada possisi buruk dan salah. Potensi manusia itu dalam penjelasan Al-Qur’an
terbagi pada empat macam, yaitu: Nafs Mutmainah, Nafs Mulhamah Sufiah, Nafs
Amarah, Nafs Lawwamah[41]. Nafs-nafs
tessebut senantiasa mempengaruhi akal budi manusia, nafs mutmainah misalnya,
akan mempengaruhi aktivitas akal budi manusia untuk selalu bergerak kearah
kemuliaan, kesucian, mendekat kearah lahut. Sedangkan tiga nafs lainnya akan
mempengaruhi kearah kecelakaan, kerendahan, dan menjauh dari alam lahut.
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah
adalah menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah.
Disaat terjun ke sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seseorang
mad’u, dai’ yang baik terlebih dahulu harus memepelajari data riil tentang
komunitas atau pribadi yang bersangkutan.
- Di awal surat Al-Baqarah, mad’u dikelompokan dalam tiga rumpun, yaitu: mu’min, kafir dan munafik.
- Secara umum mad’u menurut imam Habib Abdulah Haddad dapat dikelompokkan dalam delapan rumpun, yaitu:
- Para Ulama
- Ahli Zuhud dan Ahli Ibadah
- Penguasa dan Pemerinrah
- Kelompok Ahli Perniagaan, Industri dsb
- Fakir Miskin dan Orang Lemah
- Anak, Istri dan Kaum Hamba
- Orang Awam yang Taat dan Berbuat Maksiat
- Orang yang tidak Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
- Abdul Karim Zaidan dalam Usul Dakwah mengelmpokan mad’u dalam empat rumpun, yaitu: Al-Mala (penguasa), Jumhur Al-Anas (mayoritas masyarakat), Munafikun dan Ahli Maksiat.
- M. Bahri Ghazali mengelompokkan mad’u berdasarkan tipologi dan klasifikasi masyarakat[42].
Berdasarkan tipologi, masyarakat dibagi
dalam lima tipe, yaitu:
- Tipe Innovator, yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena social yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan antisifatif dalam setiap langkah.
- Tipe Pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan pertimbangan tidak semua pembaharuan dapat membawa perubahan yang positif.
- c. Tipe Pengikut Dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya adalah kelompok kelas dua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas kemasyrakatan.
- Tipe Pengikut Akhir, masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptic terhadap sikap pembaharuan.
- Tipe Kolot, cirri-cirinya, tidak mau menerrima pembaharun sebelum mereka benar-benar terdesak lingkungannya.
Sedangkan berdasarkan klasifikasi,
masyarakat dapat dihampiri dengan sua pendekatan, yaitu:
- Pendekatan kondisi sosial budaya yang terbagi dalam masyarakat kota dan desa.
- Pendekatan tingkat pemikiran, terbagi dalam dua kelompok, yaitu: kelompok masyarakat maju (industrI), dan kelompok masyrakat terbelakang.
Berdasarkan data-data rumpun mad’u
diatas, dapat dikelompokkan dengan lima tinjauan, yaitu:
a) Mad’u
ditinjau dari segi penerimaan dan penolakan ajaran islam, terbagi dua, yaitu
muslim dan non muslim.
b) Mad’u
ditinjau dari segi tingkat pengalaman ajaran agamanya, terbagi tiga, dzalimun
linafsih, muktasyidh dan sabikun bil khairat.
c) Mad’u
ditinjau dari segi pengetahuan agamanya terbagi tiga, ulama, pembelajar dan
awam.
d) Mad’u ditinjau
dari segi struktur sosialnya, terbagi tiga, pemerintah, masyarakat maju dan
terbelakang.
e) Mad’u
ditinjau dari prioritas dakwah, dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat
dan seterusnya.
Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan
fisika kelahiran Perancis yang mendapat hadiah Nobel mengungkapkan seperti yang
dikutip oleh Quraish Shihab, “Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang
makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang
telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah
makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran
untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara
utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungan-nya
dengan alam sekitar[43].”
Untuk memahami hakikat manusia, beberapa
sarjana merumuskan beberapa pendekatan. Pertama, mempelajari dan menyelidiki
manusia dalam hakikatnya yang murni dan esensial. Pendekatan ini lebih banyak
dilakukan oleh para psikolog, filsuf, dan teolog. Kedua, melalui pendekatan
ideologis dan spiritual yang mengatur tindakan manusia yang mempengaruhi
dan membentuk personalitasnya, ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh ahli
moral, tasawuf, dan sosiologi. Ketiga, mengambil konsep tentang manusia dari
penyelidikan tentang lembaga-lembaga etika dan yuridis yang telah terbentuk dari
pengalaman-pengalaman sejarah yang dihormati, oleh karena lembaga-lembaga
tersebut telah dapat melindungi manusia, pendekatan ini dilakukan oleh ahli
hukum dan sejarah.
1. Kedudukan Nafs dan Struktur
Kepribadian Manusia.
Menurut Achmad Mubarok, kata nafs dalam
Al-Qur’an mempunyai beberapa makna;
- Nafs sebagai diri atau seseorng, seperti dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 61.
- Nafs sebagai diri Tuhan, seperti dalam surat al-an’am ayat 54.
- Nafs sebagai person tertentu, seperti dalam surat al-furqan ayat 3.
- Nafs sebagai ruh, seperti dalam surat al-an’am ayat 93.
- Nafs sebagai jiwa, seperti dalam surat asy-syam ayat 7 dan al-fajr ayat 27.
- Nafs sebagai totalitas manusia, seperti dalam surat al-Maidah ayat 32.
- Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku, seperti dalam surat ar-Rad ayat 11.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
(QS. Ar-Rad: 11)
Nafs sebagai totalitas manusia
mengisyaratkan bahwa manusia memilki dua dimensi, dimensi jiwa dan dimensi
raga. Kedua dimensi ini harus ada dalam diri setiap manusia, jasad tanpa jiwa
dengan fungsi-fungsinya dipandang tidak sempurna, begitu juga jiwa tanpa jasad
maka jiwa itu tidak akan dapat menjalankan fungsi-fungsinya[44].
2. Segi Positif dan Negatif Manusia
Dalam kepribadian manusia terkandung
berbagai sifat hewani yang tercermin dalam berbagai kebutuhan fisik yang
harus dipenuhi demi kelangsungan hidup dirinya. Selain itu, dalam kepribadian
manusia juga terkandung berbagai sifat malaikat yang tercermin dalam kerinduan
spiritualnya untuk mengenal Allah SWT.
Al-Qur’an membagi tingkatan nafs pada dua
kelompok besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs
martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang bertaqwa, yag takut kepada Allah
dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sedangkan
nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah
dan yang mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya, serta orang-orang yang sesat yang
cenderung berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.
Secara eksplisit, Al-Qur’an menyebut
adanya tiga jenis nafs, yaitu :
1) Nafs
Mutmainnat[45], yaitu nafsu
yang tenang, jauh dari segala keguncangan, selalu mendorong berbuat kebajikan.
2) Nafs
Ammarat[46], yaitu nafsu
yang selalu mendorong berbuat kejahatan, tunduk kepada nafsu syahwat dan
panggilan setan.
3) Nafs
Lawwamat[47], yaitu nafsu
yang belum sempurna, selalu melawan kejahatan tapi suatu saat melakukan
kejahatan hingga disesalinya.
Ciri umum dari nafs kualitas rendah
menurut Al-Qur’an ada empat :
1) Mudah
melanggar apa-apa yang dilarang Allah.
2) Menuruti
dorongan hawa nafsu.
3)
Menjalankan maksiat.
4) Tidak
mau memenuhi panggilan kebenaran.
D.
Mad’u (Objek Dakwah) dan Kondisinya
Pendekatan sistem adalah pendekatan yang
dipergunakan dalam aktivitas dakwah. Artinya aktivitas dakwah tidak akan sukses
tanpa adanya suatu unsure atau faktot tertentu. Ketika dakwah dilakukan
terhadap seorang individu, perubahan individu harus di wujudkan dalam satu
landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang
terjadi pada dirinya menciptakan arus, gelombang atau paling tidak riak yang
menyentuh orang lain.
Masyarakat sebagai objek dakwah atau
sasaran dakwah adalah salah satu unsur yang penting dalam sistem dakwah yang
tidak kalah perannya dibandingkan dengan unsure-unsur dakwah yang lain.
Masyarakat yang merupakan sasaran dakwah (objek dakwah) tersebut meliputi
masyarakat yang dilihat dari berbagai segi :
- Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat di lihat dari sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.
- Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah, dan keluarga.
- Sasaran yang berupa kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiokultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terletak dalam masyarakat Jawa.
–oo0()0oo–
BAB IX
HAKIKAT STRUKTUR DAN FUBGSI DAKWAH
SEBAGAI SEBUAH SISTEM
A. Sistem Dakwah
Sebelum membahas lebih jauh mengenai
sistem dakwah, perlu kita renungi kembali makna dari sistem dan dakwah itu
sendiri. Adapun sistem berasal dari kata systeem (Belanda),
systeme (Perancis) dan Systema (yunani-latin). Sistem adalah sebuah
kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait (interrelasi) dan
saling bergantung (interedepedensi) untuk mencapai tujuan.[48] Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ‘sistem’ berarti : perangkat unsure yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sedangkan dakwah dapat diartikan
sebagai suatu kewajiban mengajak manusia kepada jalan Tuhan dengan cara hikmah,
mauidzah hasanah, dan mujalah dengan ahsan. Aktivitas ini dalam prosesnya akan
melibatkan unsur-unsur pokok dalam dakwah, yaitu: (1)da’i, (2) mad’u, (3)
pesan, (4) metode, (5)media, dan (6) tujuan, dimensi ruang dan waktu.[49]
Adapun system dakwah yang dimaksud ialah,
sejumlah unsur dan perangkat dalam kegiatan dakwah yang saling terkait
(integral) untuk mencapai tujuan dan target dakwah. Beberapa unsur penting
dalam kegiatan dakwah sebagai berikut:
1. Da’i (subjek Dakwah)
Da’i adalah orang yang mengajak kepada
orang lain baik secara langsung atau tidak langsung melalui lisan, tulisan atau
perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran islam atau menyebarluaskan ajaran
islam, melakukan upaya perubahan ke arah kondisi yang lebih baik menurut ajaran
islam. Da’i dalam posisi ini disebut subjek dakwah, yaitu pelaku dakwah yang
senantiasa aktif menyebarluaskan ajaran islam.
2. Maudhu (Pesan Dakwah)
Maudhu atau pesan-pesan dakwah adalah
pesan-pesan, materi atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh da’i
(subjek dakwah) kepada mad’u (objek dakwah), yaitu keseluruhan ajaran islam
yang ada di dalam Al-Quran dan hadits.
3. Uslub (Metode Dakwah)
Metode dakwah adalah suatu cara dalam
melaksanakan dakwah, menghilangkan rintangan atau kendala-kendala dakwah agar
mencapai tujuan dakwah secara efektif dan efisien.
4. Media Dakwah (Wasilah Al-dakwah)
Yaitu alat objektif yang menjadi saluran
yang dapat menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan
irat nadi dalam totalitas dakwah yang keberadaannya sangat urgen dalam
menetukan perjalanan dakwah.
5. Mad’u
Mad;u atau sasaran objek adalah seluruh
manusia sebagai makhluk Allah yang dibebani menjalankan agama islam dan diberi
kebebasan untuk berikhtiar, berkehendak dan bertanggungjawab atas perbuatan
sesuai dengan pilihannya, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan,
kaum, masa dan umat manusia seluruhnya.
6. Tujuan Dakwah
Adalah nilai atau hasil akhir yang ingin
dicapai atau diperoleh keseluruhan tindakan dakwah.
B. Hakikat Struktur Dakwah
Dalam kamus besar bahasa indonesia,
struktur dapat diartikan suatu cara sesuatu disusun dengan pola tertentu; dapat
pula berarti pengaturan unsur-unsur atau bagian dari suatu benda atau wujud.[50] Hakikat struktur dakwah
dapat diartikan sebagai pengaturan atau penyusunan unsur-unsur dakwah dengan
pola tertentu. Dilihat dari segi pelakunya, terdapat lima struktur dalam dakwah
islam, yaitu sebagai berikut:
1. Struktur Dakwah Allah
Dakwah Allah dapat pula dikatakan sebagai
dakwah ilahiyyah. Dalam struktur dakwah ilahiyah ini, Allah merupakan
Da’i pertama dalam proses berdakwah sebagaimana tersirat dalam
definisi tanzil Al-Quran, yaitu: “firman Allah yang diturunkan oleh
malaikat jibril kedalam qalbu utusan Allah, Muhammad ibnu Abdullah dengan
kata-kata berbahasa arab dengan maknanya, agar menjadi argumen atas kerasulan
Muhammad sebagai tuntunan hidup manusia, membacanya menjadi ibadah, yang
ditulis dalam mushaf yang diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan
surat an-naas yang sampai kepada kita secara mutawatir baik tulisan maupun
penuturannya dari satu generasi ke generasi yang lain yang tetap terjaga dari
perubahan dan berlaku sepanjang masa.”
Dengan demikian, berdasarkan proses
tanzil Al-Quran tersebut maka dalam perspektif dakwah terdapat
unsur-unsur dakwah apalagi jika kita kaitkan dan kita bandingkan dengan
paradigma komunikasi sebagai berikut:
- Allah sebagai Da’i pertama, yaitu sebagai penyampai dakwah (subjek).
- Al-Quran sebagai Maudhu al-da’wah atau pesan dakwah.
- Malaikat jibril sebagai washilah al-da’wah atau media dakwah.
- Penampakan langsung atau tidaknya malaikat jibril sebagai ushlub al-da’wah atau metode dakwah.
- Nabi Muhammad SAW sebagai mad’u atau objek dakwah (dalam tataran proses dakwah kepada sesama manusia, Nabi Muhammad SAW sebagai da’i kedua). [51]
Selain berdasarkan proses tanzil
Al-quran sebagaimana disebutkan diatas, juga didasarkan pada firman Allah
SWT Qs. Yunus: 25 sebagai berikut:
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam
(surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus
(Islam)[685].
Mengacu pada ayat tersebut, dapat
ditemukan prinsip-prinsip dakwah Ilahiyah, yaitu sebagai berikut:[52]
- Dakwah Allah bersifat tanazuli (vertikal)
- Pesan dakwah Allah berupa shirath mustaqim (jalan kehidupan yang lurus)
- Tujuan dakwah Allah adalah dar as-salam (situasi dan kondisi kehidupan yang damai, sejahtera dan selamat)
- Metode dakwah Allah adalah hidayah
- Menggunakan media malak jibril dan muqarabiin dan dapat pula langsung tanpa media
- Mad’u dakwah Allah adalah makhluknya
- Hidayah sebagai metode dalam dakwah Allah. Dalam pemahaman rasyid Ridha (Endang Saifudin Ansori (1986: 56) mendefinisikan hidayah sebagai petunjuk halus yang memudahkan sesuatu sampai pada tujuan.[53] lebih lanjut lagi Ibnu Al-qayim menyebutkan 10 macam atau peringkat/(martabat) hidayah sebagai bentuk aktualisasi Metode dakwah Ilahiyah, yaitu sebagai berikut:
- Martabat Li takliim, yaitu Berfirman langsung pada hamba-Nya dalam keadaan bangun tanpa perantara.
- Martabat Lil Wahyu, yaitu Wahyu khusus kepada para nabi.
- Martabatu lil Irsyadul Malaikat yaitu Mengutus malaikat kepada manusia yang di pilih menjadi rasul-Nya dengan mewahyukan segala perintah dan larangannya dari Allah swt.
- Maratabat li tahdits yaitu Percakapan transcendental di luar konteks wahyu (Al-tahdits).
- Maratabat lil fahmi, yaitu Memberikan kemampuan ketajaman pemahaman tentang segala persoalan melalui daya nalar (AL-ifham).
- Memberikan penjelasan umum tentang kebenaran melalui bukti-bukti fenomena hukum alam yang teramati (al-ayat al-masyudah al-maiyah) dan penuturan symbol bahasa (al-masmu’ah al-matluah) .
- Martabat lil Bayan , yaitu Memberikan penjelasan khusus melalui pemberian kemampuan penyesuaian prilaku diri dengan ajaran.
- Martabat Lil isma’, yaitu Memperdengarkan sesuatu kepada potensi pendengaran telinga, hati, dan damir manusia.
- Martabat Ilham, yaitu Memberikan inspirasi dan intuisi tanpa di dahului oleh usaha manusia untuk memperolehnya (Al-ilham).
- Martabat al-Ruyah shalihat, yaitu Mentransmisikan informasi melalui mimpi yang valid (Al-ru’yah al-shadiqah).
2. Struktur Dakwah Nabi
Adanya dakwah ini dapat dilihat dari
kerangka epistemologinya, yaitu Qs. Al-Ahzab: 43-45, Qs. An-Nahl: 44 dan Qs.
Al-Jumuah: 2. Mengacu pada kerangka epistemolgi dakwah nabi ini, maka dapat
diturunkan prinsip-prinsip dakwah Nabi dan Rasul Sebagai berikut:
- Nabi adalah pembawa informasi ilahiyah kepada orang lain (umatnya) agar hanya dapat beribadah kepada Allah SWT, dan Rasul adalah pembawa atau utusan Allah kepada manusia (umat-Nya) dengan membawa pesan (risalah) agar manusia hanya beribadah kepada Allah SWT.
- Dakwah Nabi berlangsung secara linier atau horizontal.
- Pesan nubuat dan risalah di sampaikan kepada manusia dengan metode :
1)
Tasyid, pembuktian dengan argumentasi dan perbuatan
2)
Tabsyir, penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakannbagi
orang-orang yang mengikuti dakwah.[55]
3)
Tandzir atau indzar yaitu penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan
terhadap manusia tentang adanya kehidupan akherat dengan segala konsekuensinya.
[56]
4)
Dakwah, yaitu seruan dan ajakan;
5)
Sirajammunira, yaitu penyuluhan dan penerangan;
6)
Tilawah, yaitu membaca sambil memahami;
7)
Tazkiyah, yaitu membersihkan jiwa dan nafsu negative;
8)
Ta’lim yaitu dengan memberikan pengajaran;
9)
Khitabah, menuuliskan pesan; atau dapat diartikan pula sebagai upaya
sosialisasi nilai-nilai islam melalui media lisan, baik yang terkait langsung
dengan pelaksanaan ibadah mahdah maupun yang tidak terkait dengan ibadah
mahdah;[57]
10) Hikmah, yaitu
menempatkan berbagai persoalan sesuai peran, fungsi dan tempatnya;
11) Tabyin, yaitu
penjelasan dengan lisan dan perbuatan.
- Media yang digunakan dalam menyalurkan pesan nubuah dan risalah adalah bahasa lisan dan tulisan dari instrument lisan dan amal badan (uswatun hasanah)
- Mad’u penerima pesan nubuah dan risalah adalah individu (nafsiyah), keluarga (fardiyah), kelompok (hizbiyah) dan komunitas (ummah);
- Respon mad’u terhadap pesan nabi dan Rasul, ada yang menerima (sami’nawaath’na) dan ada yang menolak (sami’nawaash’ina).
3. Struktur Dakwah Umat Nabi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata
“umat” diartikan sebagai (1). Para penganut atau pengikut suatu agama, (2).
Makhluk manusia. Lebih lanjut lagi para pakar bahasa Al-Quran dalam buku Al-Mufradat
fi Gharib Al-Quran, menjelaskan bahwa kata umat didefinisikan sebagai semua
kelompok yang dihimpun uleh sesuatu, seperti agama, waktu atau tempat yang
sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.[58]
Kerangka epistemologi dakwah umat Nabi
ini dapat dilihat dari Qs. AL-imran (3):104, 110, 112, dan Qs. An- Nahl
(16):125. Mengacu kepada beberapa ayat ini dapat diturunkan prinsip-prinsip
dakwah umat Nabi dan Rasul sebagai dakwah Islam, sebagai berikut (Shalih
Al-Mursyid, 1989):
- Da’I adalah laki-laki dan wanita yang akil baligh mampu mengendalikan nafsnegatifnya dan menguasa iserta mengamalkan pesan dakwah terlebih dahulu.
- Pesan dakwah yang terkandung dalam dakwah umat nabi adalah al-Islam itu sendiri yang memiliki konsep biologis dan pandangan duniab ersumber kepada al-Qur’an, sunnah dan ijtihad serta sejarah peradaban Islam di sepanjang zaman.
- Metode yang dipakai dalam dakwah umat Nabi adalah melalui metode al-Quwah (kekuasaan), al-qaul (bahasa lisan, tulisan), dan al Sairah al-hasanah (perbuatan )seperti jihad menegakan agama Islam, menegakkan keadilan mewujudkan keamanan dan kemerdekaan dan mengelola sumber daya manusia dan alam. Semua meyode tersebut merupakan upaya merealisasikan interaksidengan Tuhan, manusia dan alam.
- Pesan dakwah di salurkan melalui media lingkungan, keluarga, lingkungan, sekolah, berbagai karya tulis dan media elektronik.
- Mad’u dalam dakwah umat Nabi adalah seluruh manusia yang berbeda suku, bahasa dan bangsa. Jika manusia itusu dah menerima Islam, maka dakwah bagi mereka berupa intensifikasi, sedangkan jika manusia itu belum menerima Islam, maka dakwah bagi mereka berupa ekstensifikasi (futuhat).
- Dakwah Islam berproses diatas dasar rasional (al-aqliyah), kebebasan (al-huriah) dan perjuangan (al-jihad), dalam konteks nafsiyah, fardiyah, fiah, hizbiyah/Jemaah, ummah dan syu’ubiyah (antarbudaya).
Respon mad’u terhadap da’I dan pesan
dakwah berlaku hukum taqabul (pasangan yang berlawanan), yaitu : menerima dan
menolak sebagai ekspresi dari kebebasan yang di miliki mad’u sebagai manusia.
4. Struktur Dakwah Kafir
Adanya dakwah kafir dapat dilihat dari
kerangka epistemologinya yaitu Qs. Al-Baqarah (2):221, yunus (10): 66, dan
al-qashash (28):41. Mengacu kepada beberapa ayat teresbut dapat di
turunkan prinsip-prinsip dakwah kafir atau non muslim sebagai tantangan dakwah
Islam (gazw al-da’wah), yaitu:
- Dakwah kafir atau non muslim sebagai ekspresi nafs yang mengikuti kecenderungan (hawahu) dan bergerak kearah bawah yakni mengikuti nafsu amarah.
- Pesan dakwah kafir atau non muslim adalah tatanan hidup produk akal yang di dominasi oleh hawahuzhulumat(kegelapan).
- Metode dakwah yang di gunakan adalah bujukan lisan, bujukan materi dan bujukan perbuatan yang antara lain lewat perkawinan silang.
- Media dakwah yang di gunakan adalah instrument lisan, badan, media cetak, dan elektronik (abad modern).
- Mad’u dakwah ini adalah orang muslim dan non muslim lagi.
- Respon mad’u dakwah kafir dan non muslim ada yang menerima dan ada yang menolak, bagi yang menerima berarti murtad dan bagi yang menolak tetap menjadi muslim yang lulus ujian.
5. Struktur Dakwah Syaithan
Adanya dakwah ini di isyaratkan oleh
Al-qur’an, antara lain dalam Qs. al-maidah (5): 91-92, luqman (31): 21,
an-Nasr:1-6. Dakwah syaithan merupakan ajakan syaithan kepada manusia
menuju jalan kesesatan. Dari beberapa ayat teresbut dapat di turunkan beberapa
prinsip dakwah syaithan sebagai berikut:
- Da’i dalam Dakwah ini adalah jin kafir dan manusia kafir yang terdominasi oleh hawa nafsunya dan di tujukan kepada manusia muslim sebagai lawan Islam (gazw al-da’wah).
- Pesan dakwah ini antara lain berupa fahsya, munkar, khamar (minumanterlarang) maisir (jud)i, anshab (berkorban untuk berhala), azlam (mengundi nasib dengan panah dan sejenisnya), adawah (permusuhan), baghdha (kebencian), shadu ‘an zikrillah (menghalangi mengingat Allah), dan shadu ‘an shalah (menghalangi shalat).
- Metode dakwah ini melalui penggunaan nafs amarah, nafs lawwamah, nafs mulhamah, nafs mardiyah dan nafs kamilah[59] dalam bentuk yuwaswisu fisudurinnas (membisikan kejahatan didalam nafs)
- Media dakwah ini melalui penggunaan energy yang di miliki jin kafir. Energi disini maksudnya energi negatif yang ditujukan kepada manusia untuk berbuat maksiat.
- Mad’u dakwah ini adalah muslim yang taat menjalankan ajaran islam dengan ujuan zhulumat dan naar (kegelapan kehidupan dan kecelakaan )
- Mad’u merespon dakwah ini ada yang merespon positif (menerima) dan ada yang menolak, bagi yang menerima ia akan menjadikan al-An’am bal hum adhalun (bagaikan binatang bahkan lebih sesat dan jahat), dan bagi yang menolak, ia merupakan muslim yang lulus ujian.
C. Hakekat
Fungsi Dakwah
- Menuntun keyakinan umat manusia sesuai dengan fitrahnya, yaitu tauhidullah (memiliki keyakinan kepada Allah SWT).
- Membangun keimanan umat manusia yang senantiasa pluktuatif (bertambah dan berkurang) agar senantiasa stabil (kokoh) dalam beriman dan beramal shaleh dibawah landasan karena Allah
- Dakwah merupakan penuntun akal manusia dalam mencari dan menjalankan kebenaran.
- Dakwah Islam menjadi dasar dan alasan bagi akal untuk melaksanakan kewajiban beriman kepada Allah.
- Merealisasikan Islam sebagai rahmatan li al-alamin (menebar kasih sayang Tuhan dan keselamatan bagi seluruh alam).
Dilihat dari segi fungsinya, dakwah Islam
dengan mengacu kepada kitab Al-Qur’an sebagai kitab dakwah, antara lain dapat
di rumuskan sebagai berikut:[60]
- Merupakan upaya mengeluarkan manusia dari kegelapan hidup (zhulumat) kepada cahaya kehidupan yang terang (nur).
- Upaya menegakkan fitrah insaniyah.
- Mengestapetkan tugas kenabian dan kerasulan .
- Upaya menegakan aktualisi pemeliharaan agama, jiwa, akal, generasi, dan sasaran hidup
- Perjuangan memenangkan ilham taqwa atas ilham fujur dalam kehidupan individu, keluarga, kelompok, dan komunitas manusia.
–oo0()0oo–
BAB X
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER INSFIRASI
FILSAFAT DAKWAH
A. Konsep Dakwah Dalam
Al quran
Dalam perspektif dakwah, al-quran
dipandang sebagai kitab dakwah yang merupakan rujukan pertama dan utama.
Al-quran memperkenalkan sejumlah istilah kunci yang melahirkan konsep dasar
dakwah. Dalam al-quran, istilah-istilah dakwah tersebut selalu diekspresikan
dalam konteks bagaimana kedudukan, fungsi,dan peran manusia sebagai mukhatab
utamanya dalam kaitan dengan hak dan kewajibannya terhadap tiga dimensi hubungannya
vertikal dan horizontalnya,yakni habl min Allah, habl min al-nas dan habl ma’a
al-alam. Isyarat ayat-ayat yang berkenaan dengan hal itu menegaskan keberadaan
gagasan, visis,misi, dan prinsip dakwah dalam wawasan al-Quran.
Istilah-istilah dakwah dalam al-Quran
yang dipandang paling popular adalah ‘yad’una ila al-khayr, ya’muruna bi
al-ma’ruf dan yanhauna ‘an al-munkar. Dalam konteks ini, seorang muslim secara
khusus, mempunyai tanggung jawab moral untuk hadir di tengah-tengah kehidupan
social masyaraktnya sebagai figure bukti dan saksi kehidupan islami (syuhadaa
‘ala al-nas), umat pilihan (khoero ummah) yang mampu merealisasikan nilai-nilai
illahi, yaitu menyatakan dan menyerukan al-khayar sebagai kebenaran prinsipil
dan universal (yad’uuna ila al-khaer), melaksanakan dan menganjurkan al ma’ruf,
yaitu nilai-nilai kebenaran cultural (ya’muruuna bi al ma’ruf), serta menjauhi
dan mencegah kemunkaran (yanhauna ani al-munkar). Di samoing istilah tersebut
tersebut dalam al-Quran mengenalkan istilah-istilah lain yang dipandang
berkaitan dengan tema umum dakwah, seperti tabligh (penyampaian berita
gembira), tandzir (penyampaian ancaman), tawsiyah (nasehat), tadzkir dan tanbih
(peringatan). Substansi istilah-istilah itu adalah adanya pesan moral dan misi
suci tentang nilai kebenaran, kebaikan, dan kesucian sebagai hidayah illahi
yang perlu terus menerus diperjuangkan.
Ketika berbicara tentang ontology dakwah, al-quran memperkenalkan sejumlah
istilah atau konsep dasar dakwah yang lebih banyak di ekspresikan dalam bentuk
kata kerja transitif (fi’il muta’adi). Bahkan, ada yang secara tegas
menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr). Hal ini mengisyaratkan bahwa
kegiatan dakwah perlu dilakukan secara sistematis, serius, professional, dan
proporsional.
Secara profesional, al-Quran
mengisyaratkan bahwa di antara orang-orang islam perlu ada sekelompok orang
(tha’ifah) yang secara khusus mendalami ilmu pengetahuan (tafaqquh fi al-din)
yang perlu di proyeksikan sebagai pencerahan, pembawa angin segar kehidupan,
peringatan dan motivator bagi pembangunan masyarakatnya. Sehingga, tampillah
para pemimpin umat yang berperan membawa masyaraktnya ke arah pembinaan dan
perbaikan masa depannya.
Ketika berbicara tentang epistemology
dakwah, alquran mengenalkan gagasan dan visi dakwah yang akan melahirkan
prinsip dakwah Qur’ani. Hal ini diturunkan dari cara pandang al-Quran tentang
tiga hal yang berhubungan secara horizontal dan vertical dengan manusia sebagai
objek (mukhatab) utama al-quran, yaitu qur’am menjabarkan nilai-nilai
uluhiyyah, mulkiyah, milukiyyah dan rububiyah dalam prilaku kehidupan pribadi
dan masyarakat. Cara pandang ini akan melahirkan pesan normal yang mendasar,
yaitu : pertama dakwah yang berwawasan kemanusiaan dan cultural (perspektif
sosiologis-amtropologis), kedua, dakwah berwawasan lingkungan (prinsip
ekologis), dan ketiga, dakwah yang berwawasan moral ketuhanan (perspektif
teologis).
Prinsip-prinsip dakwah Qur’ani di atas
melahirkan kaidah-kaidah dakwah, antara lain;pertama, menghargai kebebasan dan
menghormati hak asasi masing-masing individu dan masyarakt,kedua menhgindati
kesulitan,kesempitan,dan kepicikan, ketiga menghindari kemudaratan dan
kerusakan, keempat, bertahap, gradual,dan mengikuti proses (al tadarry).
Kaidah tersebut melahirkan karakter atau watak dakwah qurani yang mengacu pada
pesan universal kehadiran rasul dan ajaran islam, yaitu rahmah li al-alamin
yang merefleksikan kemaslahatan,kemanfaatan,kesejahteraan, dan kegunaan bagi
semua pihak. Dengan demikian, iklim yang dibangun dalam dakwah adalah
pencerahan fikir, penyejuk hati nurani, kedamaian serta kterhindar dari cara
kasar dan kekerasan.
Selanjutnya yang ketiga itu adalah
tentang aksiologi dakwah, alquran menegaskan suatu misi dan tujuan sebagai
pesan moral utamanya. Adalah khilafah dan risalah. Hal itu diwujudkan dalam
wujud penghayatan (internalisasi), penyebaran (tyransmisi) dan perubahan atau
pembangunan (tranpormasi) nilai-nilai kebaikan (al birr) dan kebenaran serta
kesucian sebagai hidayah illahi yang perlu ditegakkan dalam kehidupan social
budaya dari masa ke masa, sesuai denagn makna serta tugas nabi dan rosul
sebagai pembawa kabar gembira dan penyampai pesan risalah illahi.
Tegasnya, tujuan dakwah qurani dapat
dikategorikan ke dalam empat bentuk : pertama, tujuan ideal. Ialah terciptanya
situasi dan kondisi dar al salam atau al-nur. Kedua, tujuan institusional yaitu
tegaknya tata aturan ibadah dan muamalah sesuai dengan ajaran islam, keempat,
tujuan opresaional adalah tegaknya al-birr dan al haqq yang dorefleksikan dalam
wujud akhlak mulia.
B.
Konstruksi Keilmuan Filsafat Dakwah dalam Al Quran
Dengan bahasan singkat mengenai
pandangan al-Quran sebagaimana diuraikan di atas, yang dijadikan pondasi
dalam membangun epistemology dakwah Islam dapat diketahui bahwa epistemology
dakwah dalam visi al-Quran harus didasarkan pada sumber pengetahuan, yakni
Allah SWT melalui kitab yang mengandung segala hikmah (al-Quran) dengan
menggunakan segenap potensi manusia (QS.16:78).
Pendekatan seperti ini sering disebut
sebagai pendekatan holistik. Dalam pendekatan holistik ini, menurut Nursamad
dikutip oleh Enjang As (1990), tidak mempersoalkan apakah potensi inderawi,
akal budi ataukah intuisi yang menjadi andalan pengetahuannya, tetapi yang
penting adalah kejernihan dan kepastian dalam setiap pengetahuan, baik dalam
bentuk inderawi, rasional maupun intuitif. Kejernihan dan kepastian itupun
tidak dapat diperoleh kecuali dengan cara ‘membersihkan jiwa (tazkiyah bi
alnafs) yang menjadi wadah potensi-potensi pengetahuan dari segala macam noda
dan penyakit yang dapat menghalangi tercapainya kebenaran hakiki, apapun bentuk
dan jenis pengetahuan tersebut.
Lebih lanjut, Nursamad mengatakan bahwa :
“prinsip-prinsip epistemology dalam al-hikmah (filsafat), didasarkan
kepada wahyu dan keimanan”. Dengan alasan : (1) karena tanpa wahyu niscaya
manusia mengalami keputusasaan untuk mecapai kebenaran yang pasti; (2) wahyu
dianggap sebagai stimulant bagi potensi-potensi intelektual ibarat air hujan
menyuburkan tanah kering; (3) berdasarkan hubungan dan keterikatan interaksi
antar wahyu dengan potensi pengetahuan, integritas dan harmonisasi
pengetahuan-pengetahuan empiric, rasional, dan intuitif dapat terjalin dengan
baik; (4) pengetahuan yang diperkenalkan melalui al-hikmah adalah pengetahuan
berdimensi intelektual dan moral. Dalam tarap inderawi, manusia menyerap
pesan-pesan wahyu yangkemudian terobsesi melakukan observasi (perenungan dan
pengamatan) dalam tarap rasional manusia yang kemudian meletakkan dasar-dasar
keilmuan bagi kegiatan perenungan tersebut, dan dalam tarap intuisi manusia
menghayati penemuannya dan (5) seluruh proses pengetahuan dan al-hikmah
ditentukan oleh kegiatan pembersihan diri karena bentuk dan jenis pengetahuan
apapun yang tercapai, kiranya merupakan gejala jiwa yangpada dasarnya tidak
terlepas dari tiga macam kecenderungan, yaitu; ego, hawa nafsu (termasuk godaan
syetan), dan bisikan ilahi.
Sebagai suatu disiplin, ilmu da’wah dalam
menjalankan fungsi keilmuannya dengan berdasarkan pada kajian tersebut – paling
tidak – melaui tiga metode, yaitu (1) metode istinbath, (2) iqtibas,
dan (3) istiqra. Definisi masing-masing “dapat” dirumuskan sebagai
berikut :
Metode istinbath adalah proses
penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah dengan
mengacu pada al-Quran, sunah, dan produk ijtihad ulama dalam memahami keduanya.
Produk metode ini menjadi teori utama dalam dakwah.
Metode Iqtibas adalah proses
penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah dengan
mengambil pelajaran dari teori ilmu social dan filsafat manusia. Hal ini dapat
dilakukan mengingat objek material ilmu dakwah bersentuhan dengan objek
material ilmu social dan filsafaat manusia yang mengkaji fenomena perilaku
manusia, dengan catatan hal-hal yang secara substansial bertentangan dengan
sumber utama dakwah, yaitu al-Quran dan al-Sunah. Produk metode kedua ini
menajdi “teori menengah” atau middle theory dalam ilmu dakwah.
Metode istiqra adalah proses
penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah
melalui kegiatan penelitian pada tataran konsep dan pada tataran realitas
macam-macam aktivitas dakwah dengan cara kerja ilmiah. Produk metode ketiga ini
menjadi teori ketiga dalam ilmu dakwah.
Selanjutnya dalam permasalahan verifikasi
(pengujian), pada tahap verifikasi ini karena disadari bahwa Tuhan (Allah Swt)
menurunkan ayat-ayat-Nya (ayat Kauniyah dan Qauliyah) semuanya
untuk dijadikan pelajaran dan sekaligus petunjuk (Haudan li al-nas)
untuk mencapai kebenaran yang didalamnya tidak ada pertentangan diantara
keduanya maka proses verifikasi pada suatu penyelidikan, diadakan
lanhkah-langkah pembenaran (konfirmasi dan justifikasi) satu dengan lainnya
untuk mendapatkan hasil penyelidikan yang didalamnya tidak terjadi pertentangan
antara pengujian terhadap ayat kauniyah dengan ayat qauliyah.
C. Hikmah
dalam Al-qur’an dan Kegiatan Dakwah
Dalam surat Al-Baqoroh ayat 269 Allah swt
berfirman:
“Allah menganugerahkan Al Hikmah
(kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang
dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqoroh ayat 269)
Dapat disimpulkan bahwa hikmah
adalah “ kemampuan rohani yang diberikan Allah kepada manusia yang di kehendaki
Nya”. Orang yang diberi hikmah akan memperoleh banyak kebaikan dan berbuat
kebajikan untuk kepentingan dirinya maupun masyarakat. Allah adalah pemilik dan
pemberi hikmah bagi manusia,karena Allah mempunyai nama/sifat al-hakim. Istilah
hakim mengingatkan orang kepada lembaga pengadilan yang berfungsi sebagai
pemberi keadilan. Allah sebagai Hakim memang mempunyai sifat Maha Adil.
Adil adalah memberikan (termasuk
melakukan dan memutuskan ) sesuatu kepada orang lain yang nilainya sesuai
dengan yang diharaplan jika pemberi diberi orang lain. Dalam hal ini terkandung
sifat empati dan pemberi,sehingga dia merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain. Dalam sifat adil terkandung sifat tepo seliro karena seseorang tidak
memberi sesuatu kepada orang lain apa yang bagi dirinya sendiri tidak senang
kalau orang lain melakukan kepada dirinya.
Dalam kaitannya dengan dakwah da’I yang
mempunyai hikmah seharusnya adil dalam perbuatannya,baik untuk dirinya maupun
untuk orang lain ,ia juga harus adil ketika berdakwah maupun dalam
kehidupan di luar dakwah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adil
merupakan manifestasi dan adanya hikmah. Sifat hikmah pada seorang da’I
terpancar dari perbuatan adilnya. Karena itu dakwah tidak akan sukses jika da’I
tidak memiliki sifat adil atau hikmah .
Dari perspektif etika, adil termasuk
sikap batin yang di dalamnya terkandung getaran yang disebut prasangka baik (khusnu
dzon) artinya orang yang adil tidak akan berprasangka jelek (Su’udzon) terhadap
orang lain, sama hal nya kita tidak berharap orang lain berprasangka jelek
kepada kita. Prasangka baik sebagai pancaran dari sifat adil harus di tumbuh
kembangkan dalam kehidupan sehari hari dan dalam kegiatan dakwah. Hikmah itu
adalah cahaya ( karunia Allah ) yang berselubung kaca, kaca yang menyatu dengan
cahaya itu membuat cahanya semakin dan terang menembus ke luar kaca menyinari
objek dakwah. Kaca selubung itu berupa sifat adil dan berprasangka baik. Pada
diri da’I ,hakikat hikmah diketahui dari sikap, tutur kata dan perilakunya, dan
jika hal ini sudah nampak pada diri da’I maka objek dakwah akan menerima diri
dan dakwahnya dengan simpati. Dengan begitu da’I akan sukses apabila da’I
mempunyai sikap ,tutur kata yang baik dan perilaku yang adil serta berprasangka
baik terhadap objek dakwahnya .
Hikmah dengan jari–jari sinarnya menembus
kaca selubung (adil dan prasangka baik) menerangi objek dakwah ,sehingga mereka
mudah kembali ke jalan Allah yaitu Addin Islam.
Dengan demikian tutur kata yang baik
kepada objek dakwah harus didasarkan atas etika dai 9adil dan berprasangka baik
)sebagai pancaran hikmah. Demikian juga sesuatu (diskusi ) yang lebih
baikharus dilakukan dengan adil dan prasangka baik termasuk dalam menyusun dab
memilih materi ,metode dan sistematika dakwah serta penggunaan sarana dan
media.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa hikmah itu:
- Hikmah menjadi hakikat atau prinsip dasar dari metode dan semua perangkat dakwah .
- Semua perangkat dakwah harus di jiwai dan diacukan kepda prinsip prinsip dasar atau hakikat (hikmah) tersebut agar dakwah sukses,hikmah harus menjadi dasar dalam pemilihan metode,teknik dan model dakwah,begitu juga dengan hikmah dalam pengenalan kondisi dan profil objek ,pemilihan materi ,waktu,media dan sarana serta tutur kata.
- Dengan demikian hikmah dalam dakwah dapat diartikan sebagai “seperangkat kemampuan yang di miliki dai yang diperoleh dari pemahaman terhadap Al-qur’an ,Al-Hadist dan sejarah dakwah ,guna memahami,memilih dan menerapkan perangkat dakwah secara tepat dan benar.
D. Pancaran
Adil dan Hikmah Dalam Dakwah
Dari perspektif etika ,adil termasuk
sikap batin yang di dalamnya terkandung getaran yang disebut prasangka
baik.(khusnu dzon )artinya orang yang adil tidak akan berprasangka jelek
(Su’udzon ) terhadap orang lain ,sama hal nya kita tidak berharap orang lain berprasangka
jelek kepada kita. Prasangka baik sebagai pancaran dari sifat adil harus di
tumbuh kembangkan dalam kehidupan sehari hari dan dalam kegiatan dakwah. Hikmah
itu adalah cahaya (karunia Allah ) yang berselubung kaca ,kaca yang menyatu
dengan cahaya itu membuat cahanya semakin dan terang menembus ke luar kaca
menyinari objek dakwah. Kaca selubung itu berupa sifat adil dan berprasangka
baik. Pada diri da’I ,hakikat hikmah diketahui dari sikap ,tutur kata dan
perilakunya,dan jika hal ini sudah Nampak pada diri da’I maka objek dakwah akan
menerima diri dan dakwahnya dengan simpati. Dengan begitu da’I akan sukses
apabila da’I mempunyai sikap ,tutur kata yang baik dan perilaku yang adil serta
berprasangka baik terhadap objek dakwahnya .
Hikmah dengan jari-jari sinarnya menembus
kaca selubung (adil dan prasangka baik) menerangi objek dakwah ,sehingga mereka
mudah kembali ke jalan Allah yaitu Addin Islam. Dengan demikian tutur kata yang
baik kepada objek dakwah harus didasarkan atas etika da’i adil dan berprasangka
baik sebagai pancaran hikmah. Demikian juga sesuatu (diskusi) yang lebih
baikharus dilakukan dengan adil dan prasangka baik termasuk dalam menyusun dab
memilih materi ,metode dan sistematika dakwah serta penggunaan sarana dan
media.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan:
- Hikmah menjadi hakikat atau prinsip dasar dari metode dan semua perangkat dakwah .
- Semua perangkat dakwah harus di jiwai dan diacukan kepda prinsip prinsip dasar atau hakikat (hikmah ) tersebut agar dakwah sukses,hikmah harus menjadi dasar dalam pemilihan metode,teknik dan model dakwah,begitu juga dengan hikmah dalam pengenalan kondisi dan profil objek ,pemilihan materi, waktu, media dan sarana serta tutur kata.
- Dengan demikian hikmah dalam dakwah dapat diartikan sebagai “seperangkat kemampuan yang di miliki dai yang diperoleh dari pemahaman terhadap Al-qur’an, Al-Hadist dan sejarah dakwah ,guna memahami,memilih dan menerapkan perangkat dakwah secara tepat dan benar.
E.
Al-Quran Sebagai Sumber Inspirasi Dakwah
Pada dasarnya Al-quran itu sendiri
merupakan dakwah bagi pengembangan Islam karena Al-quran mencakup cerita
orang-orang yang terdahulu dan syariat-syariatnya serta hukum-hukumnya.
Al-quran juga mencakup antropologi dan membicarakan tentang seruan untuk
mengkaji alam semseta. Sebagian lagi, Al-quran membicarakan keimanan. Oleh
karena itu, Al-quran telah cukup untuk dakwah asalkan pandai menjelaskannya.
Jika Weda kitabnya Budha telah mampu
mengajak dan menyentuh kalbu setiap penganutnya, mengapa Al-quran tidak
menyentuh kalbu setiap orang. Al-quran lebih segalanya daripada kitab weda itu.
Para ulama memahami dan mempelajari
dasar-dasar hokum Al-quran. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika pada permulaan
islam para ulama persi telah memahami Al-quran. Banyak murid para sahabat yang
berasal dari kalangan bangsa persi yang mempelajari Al-quran, demikian
pula orang-orang selain mereka yang masuk islam pada masa sahabat dan masa-masa
berikutnya.
Sesungguhnya bacaan Al-quran yang
dilakukan para sahabat pada negeri yang mereka masukinya dapat menyentuh kalbu
pihak penduduk karena keindahan dengan Bahasa Arab, serta kemerduan bacaanya.
Maka al-quran itu sendiri bisa menjadi dai bagi islam.
Al-Quran yang secara harfiah berarti
“bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena
tiada suatu bacaan pun sejak manuia mengenal tulis lima ribu tahun yang lalu.
Yang dapat menandingi Al-quran Al-karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Al-quran sebagai inspirasi filsafat
dakwah karena al-quran sendiri mempunyai tujuan sebagai berikut:
- Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konep teologi, tetapi falsafah hidup.
- Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manuia merupakan suatu umat yang seharunya dapat bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
- Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman dan rasio, kesatuan kebenaran dan kesatuan keperibadian manusia, kesatuan sosial poloitik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah suatu keesaan, yaitu keesaan Allah.
- Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerjasama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
- Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup, pemerasan manusia,dalam bidang soisal, ekonomi, politik dan juga agama.
- Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial ebagai landasan pokok kehidupan masyarakat manusia.
- Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dan falsafah kolektif skemunkaran.
- Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan Nur Ilahi.
F.
Alasan Al-Qur’an menjadi sumber insfirasi dalam Filsafat Dakwah
Ada beberapa alas an mengapa al-Qur’an
dijadikan sumber insfirasi dalam filsafat dakwah[61], yaitu:
- Alqur’an adalah kitab dakwah yang juga merupakan pesan dakwah Allah swt, sebab Allah menerangkan kemaujudan-Nya melalui dakwah. Al-Qur’an menjelaskan secara eksflisit adanya aktivitas dakwah sebagai sesuatu yang diperintahkan, yang diantara modelnya adalah hikmah.
- Al-Qur’an menjelaskan salah satu identitas kediriannya sebagai “kitab hikmah” dan “al-Qur’anul karim”, yaitu buku dan bacaan hikmah yang berarti kearifan, ilmu dan kebijaksanaan yang sepadan dengan arti filsafat, yaitu cinta ilmu dan kebijaksanaan.
- Terdapat ayat-ayat yang menerangkan tentang hikmah, seperti menyatakan bahwa Allah telah memberikan “Hikmah” kepada Lukman dan lain sebagainya.
- Intinya, al-Qur’an telah mengisyaratkan keberadaan filsafat dalam al-Qur’an dengan kalimat “hikmah”. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa filsafat dakwah adalah filsafat al-Qur’an dan filsafat al-Qur’an adalah filsafat dakwah.
–oo0()0oo–
DAFTAR PUSTAKA
Alwisral, Iman Zaidallah, Drs. 2005. Strategi
Dakwah. Jakarta: Kalam Mulia
Al-Qahthani, Said Bin Ali. 1994. Da’wah
Islam Da’wah Bijak. Jakarta: Insani Press.
Amrullah, Ahmad.1985. Dakwah Islam dan
Perubahan Sosial. Yogyakarta: PLP2M.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu,
Filsafat, dan Agama. Bandung: PT Bina Ilmu.
Arifin, HM. 2004. Psikologi Dakwah.
Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin, Isep Zaenal. 2009. Bimbingan
Penyuluhan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Azis, Moh. Ali. 2004. Ilmu Dakwah.
Jakarta. Kencana.
Enjang dan Aliyudin. 2009. Dasar-dasar
Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Effendi, Utsman. 1993. Pengantar
Psikologi. Bandung: Angkasa.
Faizah dan Lalu Muchsin Efendi. 2006. Psikologi
Dakwah. Jakarta: Prenada Media.
Hafidhuddin, Didin. 1998. Dakwah
Aktual. Jakarta: PT Gema Insani Press.
Kusnawan, Aep. 2004. ILMU DAKWAH
(Kajian Berbagai Aspek), Jakarta: Pustaka Bani Qur’ani.
Machfoeld, Musa. A. 2004. Filsafat
Dakwah Ilmu Dakwah dan Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhtadi, Asep Saeful . 2007. Pedoman
Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal. Bandung: Pemerintah Provinsi
Jawa Barat.
Muhyidin, Asep dan Safei Agus Ahmad.
2002. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.
Munir, M. 2009. Metode Dakwah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nasution, Harun. Prof. Dr.. 1982. Akal
dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-PRESS.
Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID.
Sambas, Sukriyadi. 2009. H. Drs. M.Si., Mantik
(Kaidah Berpikir Islami). Bandung: Rosda.
________________, 2004. Pohon Ilmu
Dakwah Islam. Bandung: KP HADID.
________________, 2004. Dasar-Dasar
Bimbingan (Irsyad) dalam Dakwah Islam. Bandung: KP HADID.
Siti Muriah,Dra.2000. Metodologi
Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra
Suparta, Munzier. 2009. Metode Dakwah.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Surjadi, A. 1989. Dakwah Islam dengan
Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju.
Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-dasar
Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas
Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum.
Bandung: Rosda karya Pustaka.
Tasmara, Toto.1998. Komunikasi Dakwah.
Jakarta: Gaya Media.
Zahrah, Abu. 1994. Dakwah Islamiah.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
–oo0()0oo–
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat#Etimologi.
Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:25
[2] Anshari, Endang Saifuddin.
1979. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Bandung: PT Bina Ilmu. Hal. 80
[3] http://lets-belajar.blogspot.com/2007/09/apengertian-filsafat.
Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:55
[4] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah.
Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:59
[5] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah.
Tgl.03 November 2010 pkl. 21:14
[6] Machfoeld, Ki Musa A. 2004. Filsafat
Dakwah. Jakarta: PT Bulan Bintang. Hal. xv
[7] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 7
[8] http://firdausbinmusa.blogspot.com/2009/05/filsafat-dakwah.
Tgl. 03 November 2010 Pkl. 21:53
[9] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah.
Tgl. 03 November 2010 pkl. 20:59
[10] http://msibki3.blogspot.com/2010/03/pengertian-dakwah.
Tgl.03 November 2010 pkl. 21:14
[11] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hlm 41
[12] http://susipurwati.blogspot.com/2010/10/perkembangan-aspek-spiritual-remaja.
Tgl 05 November 2010 pkl. 19:27
[13] http://rson-r-son.blogspot.com/2009/07/tingkat-tingkat-kebutuhan-manusia.
tgl. 05 November 2010 pkl. 20:00
[14] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 11
[15] Nurrohman. 2009. Laporan
Penelitian Psikologi Agama. Hal. 27
[16] Nurrohman. 2009. Laporan
Penelitian Psikologi Agama. Hal. 29
[17] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 14
[18] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 15
[19] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 16
[20] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 19
[21] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 20
[22] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 23
[23] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 27
[24] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 31
[25] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 34
[26] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 35
[27] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 36
[28] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 38
[29] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 55
[30] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 41
[31] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 44
[32] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 56
[33] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 57
[34] Shihab, Quraisy., Dr. M.
M.A. 1998. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. Hal 319
[35] Sirojudin, Drs. 2003.
Ensiklopedi Islam 5. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi. Hal.129
[36] Sambas, Sukriyadi., H. Drs.
M.Si. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID.
Hal 41
[37] Sambas, Sukriyadi., H. Drs.
M.Si. 1999. Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal
41
[38] http://www.scribd.com/Pengertian-Ummat/d/2911007.
Tgl 09 november pkl. 16:15
[39] Kusnawan, Aep, M. Ag.,
2004. Ilmu Dakwah (Kajian Berbagai Aspek). Bandung: Pustaka Bani
Quraisy. Hal 45
[40] Suparta, Munzier., Drs. H.
M.A. Hefni Harjani, H. Lc. M. A. 2006. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Hal. 105
[41] Enjang, AS, Drs. M.Ag.
M.Si., Aliyudin, S.Ag. M.Ag., 2009. Dasar- Dasar Ilmu Dakwah. Bandung:
Widya Padjajaran
[42] Suparta, Munzier., Drs. H.
M.A. Hefni Harjani, H. Lc. M. A. 2006. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Hal. 107-108
[43] Shihab, Quraisy., Dr. M.
M.A. 1998. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. Hal. 320
[44] Faizah., M.A. H. Effendi
Muchsin, Lc., M.A. 2006. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. Hal 70-74
[45] Q.S Al-Fajr ayat 27-28
[46] Q.S Yusuf ayat 53
[47] Q.S Al-Qiyamah ayat 2
[48] Ki Moesa A. Machfoeld, FILSAFAT
DAKWAH ilmu dakwah dan penerapannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004. Cet
ke-2), hlm. 51
[49] Drs. H. Isep Zaenal Arifi,
M.Ag, Bimbingan Penyuluhan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2008) hlm. 240
[50]Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1996,
Cet. Ke-7), hlm. 965
[51] Drs. Enjang AS, M.Ag.,
M.Si., Aliyudin, M.Ag, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah (Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009), hlm. 46
[52] Drs. H. Syukriyadi
Sambas,op. Cit., hlm.67
[53] Prof. Dr. Moh. Ali Aziz,
M.Ag, Op. Cit, hlm. 122
[54] Abdul Mujib, handout
matakuliah dasar-dasar Bimbingan dan Penyuluhan Islam, (bandung:2009)
[55]M. Munir, S.Ag, MA, dkk,
Metode Dakwah, (Jakarta: kencana, 2003, Cet. Ke-3), Hlm. 257
[56] Ibid.
[57] Drs. Enjang AS, M.Ag.,
M.Si., Aliyudin, M.Ag, Op. Cit. Hlm. 59
[58] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran , (Bandung: Mizan, 1996) Hlm. 326
[59] Drs. H. Isep Zaenal Arifi,
M.Ag, Op. Cit. Hlm. 143
[60] Drs. H. Syukriyadi
Sambas,op. Cit., hlm .74
[61] Sambas, Syukriadi. 1999. Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah. Bandung: KP HADID. Hal. 2-3
0 komentar:
Posting Komentar